Download App
3.33% ASING

Chapter 3: Katanya Sahabat Airin

Ada dua kemungkinan tongkrongan kantin jadi terasa seperti tempat bertawuran, pertama ribut untuk makan, kedua makan untuk ribut. Hanya perkara kekurangan sendok saja, mereka dorong-dorongan buat berjalan tiga meter ke tempat Teh Nia melayani. Hasan minta gunting batu kertas saja, meski Elsa mau sukarela mengambilkan, tapi keadilan hanya didapat dari hasil suit. Padahal akhirnya tetap Elsa yang kalah dan dia juga yang jalan mengambil sendok tadi.

"Elsa?" Najwan menyadarkannya, bersama beberapa sepasang mata yang juga tengah ikut-ikutan mengawasi. "Gue bisa lu cuekkin, tapi mie ayam jangan. Keberadaannya terancam kalo gak habis dimakan." Sambil melihat ke arah Hasan dan Airin yang terlihat seperti pemangsanya.

"Pembunuhan tidak lebih kejam dari fitnah," ujar Hasan.

"Jadi lu milih bunuh Najwan?" Airin tanya.

Hasan memicingkan mata. "Ck, fitnah lebih kejam dari pembunuhan! Lu ah, gak ngerti apa omongan Najwan?" tanyanya balik.

"Ngerti. Orang gue tau lu yang bakal nyerbu makanan Elsa kalo dia enggak habis, kayak kemaren," tuduh Airin yang membuat Jendra diam-diam menahan tawa. "Elsa kamu emang makan sedikit? Atau kamu emang makan dengan cara menikmatinya secara khidmat?"

"Enggak terlalu selera hari ini," jawab Elsa.

"Makanannya enak aja, 'kan? Dari kemarin lho kayak enggak niat makan di kantin," kata Najwan.

"TEH NIA KATA NAJWAN MAKANAN TETEH ...."

"Heh! heh! Jiannccuk lu!" Hasan kena tempeleng karena duduknya pas bersebelahan dengan Najwan.

Di saat yang lain tertawa untuk hiburan singkat itu, Elsa seperti 'tak hidup. Padahal meja makan yang ditempatinya adalah wadah biang keributan. Mau makan saja tidak tenang alias mereka terlalu heboh meski itu perkara pangsit. Bahkan, garpu dan sendok melayang-layang begitu rawan, sedikit-dikit angkat garpu, mainnya ke depan wajah lagi, itu kalau tertusuk sungguhan bagaimana ya?

Belum lagi semua pesanan tambahan Najwan jadi bahan rebutan paling populer detik ini, pun tentu Hasan paling laju melebihi truk hingga Elsa bisa mengenal laki-laki yang satu ini terlebih dahulu dibandingkan lainnya. Hasan orang yang ribut, mulutnya tidak bisa diam meski sedang makan, dia bercerita ini dan itu hingga sesekali gelak tawa muncul dari pendengarnya termasuk Elsa sendiri.

"Kenapa pindah sekolah, El?" Jendra yang duduk tepat di seberangnya mengajak bicara normal, ia tidak bisa membiarkan suasana keributan ini sebagai awal yang kurang baik dalam menerima Elsa di kelompok mereka. Meski tidak heran semisal besok dia akan bersikap seperti orang yang tampak jera.

"Orang tua," jawab Elsa.

"Menurut lu sekolah ini bagus gak?" tanya Najwan.

"Bagus, hehe."

"Canggung amat lu semua," celoteh Hasan, "Jujur ya El, kita-kita biasanya ngomong kasar, jadi kalo lu dikasarin gak masalah, 'kan? Maksud gue, ya ... kasar dalam batas wajar."

Elsa terlihat bingung, tapi ia masih bisa menangkap intinya. "Santai aja, kalian seru," ujarnya.

"Kalo mereka terlalu kasar, ngomong aja sama gue, El." Najwan merayunya lagi, meski mereka berkata laki-laki ini memang terbilang selalu begitu, tidak heran Elsa mendadak seperti telah memiliki pacar di hari kedua sekolah. "Kalo lu juga suka sama gue, ngomong aja juga ...."

"Yeu, ngarep lu mah, jangan mau, El. Najwan rawan orangnya, horor kalo nemu tikungan," potong Hasan. "Ai, pentol ...."

"Sisain Reffan ngapa, lu dari tadi nyucuk mulu dah!" tegur Airin menyodorkan ujung garpu tepat di depan wajah Hasan. "Kamu mau, El?" tawarnya.

Elsa menggeleng, sebenarnya ia termasuk orang yang tidak terlalu suka makan. Hal itu terlihat jelas dari kondisi tubuh yang tidak begitu berisi, namun bisa disebut ideal juga untuk tubuh anak remaja. "Reffan ke mana emang?" tanyanya.

"Ketua OSIS suka sibuk, gak usah terlalu dicariin, nanti juga bisa nongol sendiri," jawab Hasan.

"Kalian temen akrabnya ketos?" tanya Elsa sedikit kaget.

Siapa tidak? Bayangkan saja orang-orang di sini bisa disebut setara dengan orang gila, suka berteriak tidak jelas, melakukan hal konyol yang lawak, dan yang pasti, mereka tidak tahu malu meski kelakukan memang malu-maluin. Wajar Elsa sangat terkejut saat mengetahui seorang ketua OSIS bertemannya dengan mereka.

"Mau gak terima sama ucapan Elsa, tapi kadang kita juga suka sadar diri," ujar Jendra.

"M-maaf, bukan maksud bilang kalo Reffan gak cocok temenan sama kalian. Maksud aku ... dia, ah bener-bener gak pilih-pilih soal berteman, Reffan orang baik," ujar Elsa.

Airin menatap teman barunya itu dan mengulum senyum yang begitu lebar agar tidak tergelak. "Suka Reffan ya?" tanyanya.

"E-eh? Enggak, ahaha. Cuman maksud aku ...."

"Jangan, El. Lu sama gue aja." Najwan terlihat bercanda tapi punya sisi serius saat menatap matanya.

"Eung ... aku lagi di fase 'love myself' nih."

"Terdengar seperti penolakan," ejek Jendra diiringi ledakan tawa yang begitu heboh dari Hasan dan Airin.

Najwan terlihat tenang, lalu ia mengangkat tangan untuk minta teman-temannya diam. "Gue serius, Elsa." Dia bicara. "Tapi kalo lu nyaman sama situasi mencintai diri lu sendiri, enggak apa-apa," ujarnya.

Elsa mengangguk saja, sekalian menunggu kalimat apa yang mau Najwan sampaikan lagi. "Karena itu tandanya kita mencintai satu orang yang sama."

"Anjay, musik!" Airin memandu, lalu Hasan dan Jendra menggendang meja dan membuat dentingan kecil antar alat makan juga. "Pandangan pertama awal aku berjumpa!"

"Asek!"

Masih menggendang.

"Pandangan pertama awal aku berjumpa!"

"Asek!"

Gendangannya semakin heboh.

"SEOLAH-OLAH ...."

"Ssstttt!" Najwan menghentikan mereka, padahal tadi penghuni kantin tampak terhibur untuk melihat konser dadakan dengan suara fals Airin. "Gini El, kalo sama Reffan hidup lu 'tak berwarna." Najwan mulai lagi. "Jadi jangan sama Reffan ya, nanti lu merasa ada yang kurang," katanya.

"Ibarat bakso gak pake pentol, El," sambung Hasan.

"Ibarat teh tanpa gula," lanjut Najwan lagi. "Lanjut, Jen!"

Jendra yang merasa terpanggil langsung bicara tanpa pikir. "Ibarat matematika tanpa angka," katanya.

"Lanjut, Ai!"

Airin spontan menyahut, "Ibarat Reffan tanpa wajah tampan."

"Eaaa!"

"Ibarat Reffan tanpa Bapak Yanto."

"Eaaa!"

"Ibarat Reffan tanpa kita-kita!"

"Eaaa!"

"Ibarat BAB tanpa tai."

"HASAANNN!" Ketiga temannya kompak menahan tekanan gempa yang menerpa isi perut, Hasan kalau bicara suka bawa bencana alam, kadang Airin bisa muntah saat asyik mengunyah hanya gara-gara bobot omongannya begitu.

Lagi masa heboh-hebohnya ingin menghajar Hasan dengan mengurangi porsi makannya, seseorang datang tepat ambil duduk di sebelah Elsa. Laki-laki yang juga baru saja mereka bicarakan tadi, dan ia juga tidak heran lagi dengan kondisi teman-temannya yang mungkin sedang memberi Hasan pelajaran akan ulahnya.

"Kenapa baru datang?" tanya Elsa.

Semua orang termasuk Reffan mendadak diam mendengar hal itu, keusilan Hasan terlupakan, dan ruginya akan ada perbincangan beda tema setelah ini. Khusus itu pada Elsa, atapun pada Reffan juga.

"Aciee nungguin Reffan!" Baru saja dilupakan kesalahannya saat bicara, justru Hasan membuka mulut lagi. "Kalo suka Reffan bilang aja, El. Gak usah perduliin Najwan, dia banyak aja pawangnya."

Elsa menyanggah dengan melambai kecil di depan dada. "Enggak gitu, aku mau tanya soal Aica," katanya.

Mendengar nama Aica, mungkin hanya Airin satu-satunya orang di meja itu yang menanggapinya berlebih. Dia sampai terbatuk dan beringus-ingus, hingga Hasan lebih dulu menyodorkan minuman apa saja yang bisa diraih tanpa pikir kalau itu adalah milik Najwan, padahal, Reffan juga ingin bergerak melakukan hal sedemikian tadi. Hingga akhirnya, Reffan hanya memberi tisu pada gadis itu.

"Emang kenapa dengan Aica?" tanya Jendra.

"Dia mirip sahabat aku, persis, seratus persen dan gak ada beda sedikit pun. Mukanya, badannya, suaranya, semuanya," jawab Elsa, "Namanya Naura."

Hanya Reffan yang tidak merasa heran, jadi sisa daripada dirinyalah yang terlihat bingung dengan ucapan itu. "Aica punya kembaran, Ai?" Dan Reffan langsung 'to the point' menanyakan hal itu pada gadis yang sibuk menyiapkan mangkuk miliknya.

"Kenapa Airin?" tanya Elsa yang tidak mengerti.

"Aica sahabatnya Airin," jawab Hasan, "Dulu." Disenggolnya gadis tersebut hingga Airin mengangguk.

"Kok dulu?" tanya Elsa.

Semua terdiam. Kehadiran Elsa seperti penggali kuburan yang mencari uang dan harta seseorang, sebagai pihak keluarga yang merasa salah satu pemakaman itu telah digali, Airin menghela napas tanpa menjawab.

"Kalian bisa ngomong berdua setelah kita selesai makan," ujar Reffan menarik mangkuknya yang sedang diurus oleh Airin dan melanjutkan kegiatan gadis itu yang sepenuhnya belum selesai, pria itu harus menambahkan kecap, saos dan cuka seorang diri. Keburu lapar juga.

tbc;


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login