Download App

Chapter 2: Berbohong

Bab 2 - Berbohong

Akhirnya hari yang ditunggu oleh Mama dan Papa pun tiba. Sejak pagi aku sudah didandani layaknya putri raja di dalam kamarku.

"Senyum dong, Mbak. Jangan cemberut terus. Sayang, lho, make-upnya. Saya pilih yang bagus ini, lho!" bujuk penata rias pengantin yang tak mau kupanggil Mas. 

Padahal benjolan di lehernya itu jelas terlihat kalau dia seorang pria. Suaranya juga sengaja dibuat lembut, tapi malah terdengar seperti suara tikus kejepit pintu.

"Mas, eh, maaf. Mbak udah pernah dipaksa nikah belum? Kalau belum mending diam, deh. Aku gak butuh nasihat!" sahutku galak.

"Idih, galak amat, Mbak. Kalau gak mau kenapa gak menolak saja. Atau bisa juga kabur, seperti di sinetron-sinetron itu?"

"Ih, udah dibilang mendingan diam. Kamu gak tahu apa-apa! Sudahlah, berhenti saja. Aku gak mau dirias lagi!" ucapku semakin kesal. 

Aku berdiri hendak pergi ke luar dari kamar. Namun, penata rias itu menarik tanganku agar aku tak bisa pergi darinya.

"Ups! Maaf, Mbak. Jangan marah, saya hanya mencoba menghibur saja. Maaf, ya! Sini, alisnya jadi miring, tuh!" bujuknya lagi.

Sambil menarik napas kesal aku pun menuruti kata-katanya. Aku kembali duduk di kursiku semula. 

"Saya minta maaf, ya, Mbak. Saya hanya ingin mengakrabkan diri saja," ucapnya sambil terus merias wajahku.

Aku hanya tersenyum saja menanggapi ucapannya. Tak lama kemudian, dia telah selesai mengerjakan tugasnya. Dengan senyum puas dia memuji kecantikan wajahku. 

Aku sendiri menatap tak percaya pada cermin yang ada di depanku. Lumayan juga hasil riasannya, batinku.

Setengah jam kemudian, rombongan keluarga Mas Azzam telah tiba di rumahku. Persiapan acara akad nikah pun dilakukan oleh keluargaku. 

Sementara aku hanya disuruh menunggu di dalam kamar sampai tiba waktunya keluar nanti. 

Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Azzam mengucapkannya dengan tegas yang disambut ucapan sah dari saksi dan keluargaku. 

Aku hanya bisa menunduk sedih, sekarang aku telah menjadi istri dari Mas Azzam. Entah bagaimana rumah tangga yang akan kujalani nanti, hanya waktu saja yang bisa menjawabnya.

 

"Ayo, Mbak. Kita ke depan, semuanya sudah gak sabar menunggu Mbak keluar," ajak penata riasku dengan senyum lebarnya. 

Aku pun mengikuti langkahnya menuju ke ruang depan di mana acara akad nikah tadi berlangsung. Bagaikan robot aku mengikuti semua acara yang sudah dirancang oleh orang tuaku.

Wajah bahagia dan senyum ramah harus kutunjukkan selama acara berlangsung. Hingga waktu menunjukkan pukul enam sore, barulah aku bisa melepaskan semua topeng kepura-puraan yang membuat dadaku terasa sesak sejak siang tadi. 

Satu per satu kulepas hiasan yang menempel di tubuhku. Mas Azzam tak tampak sejak masuk ke kamar tadi. Mungkin dia masih bersama keluarganya atau teman-temannya di ruang depan. Entahlah, aku tak peduli dia mau ada di mana. 

Selesai mandi dan berganti pakaian aku keluar dari kamar. Perutku terasa lapar sebab sejak siang tadi tak ada sebutir nasi pun yang masuk ke perutku.

Suasana di luar kamar masih ramai oleh saudara dan keluarga yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku berjalan perlahan menuju ke dapur. 

"Clara, kamu mau ke mana?" tanya salah seorang sepupuku. 

"Ke Mal," jawabku singkat. 

Mendengar jawabanku tadi, dia hendak mengajukan protes. Namun, aku segera meninggalkannya, cacing di perutku sudah berteriak minta diberi makanan.

"Bik, aku lapar," ucapku pada si Bibi yang sedang sibuk menyusun peralatan makan di dapur. 

"Oala, pengantinnya lapar. Sebentar ya, Non," sahut si Bibi. 

Dalam sekejap, sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sahurnya telah tersedia di hadapanku. 

"Terima kasih, Bi," ucapku langsung melahap makanan yang terhidang di depanku. 

"Lho, Clara! Kamu ngapain di sini?" tanya mamaku yang baru muncul dari kamarnya. 

"Main golf, Ma," sahutku. 

Mama yang baru saja duduk di sampingku memukul lenganku pelan.

"Kamu itu kalau ditanya suka jawab seenaknya saja, Clara. Gak boleh begitu, nanti orang kesal mendengar jawaban kamu!" nasihat Mama.

"Habis Mama aneh, sudah tahu aku sedang makan malah nanya lagi ngapain," sahutku.

Piringku telah kosong, aku menyudahi makan siang yang digabung dengan makan malamku.

"Bukan begitu, maksud Mama kamu kok makan sendirian. Suami kamu mana, kenapa gak diajak makan juga?" 

"Aku gak tau, Ma. Sejak tadi dia gak kelihatan, pulang ke rumah orang tuanya kali," jawabku asal.

"Hush, kamu itu lho. Mulai sekarang jangan suka ngomong asal, Nak! Ingat! Kamu itu sudah menjadi istri orang. Minggu depan, kamu sudah diboyong ke Medan. Di sana harus bisa jaga sikap, jangan sampai orang sakit hati karena tingkah laku kamu!" 

Hatiku mendadak sedih mengingat kenyataan kalau Minggu depan aku harus mengikuti Mas Azzam ke kota Medan. Berarti aku harus berpisah dengan Mama dan papaku juga Cleo.

"Apa aku gak bisa tinggal di sini saja, Ma? Mas Azzam saja yang pulang ke rumahnya di Medan sana."

Mama tertawa lalu menggeleng mendengar pertanyaanku.

"Sudah, cari suami kamu sana! Mama mau ngobrol sama Tante dan Om kamu di depan," suruh Mama. 

Sepeninggal Mama aku malah pergi ke kamar untuk tidur. Biar saja Mas Azzam dengan kesibukannya sendiri. Nanti kalau sudah ngantuk juga masuk sendiri ke kamar.

-----

Aku terbangun karena merasa ada tangan yang menyentuh tubuhku. Sejenak aku merasa linglung, lalu saat kesadarannya telah kembali aku pun langsung menepis tanganku itu sambil mengambil posisi duduk. 

Aku terkejut saat melihat Mas Azzam yang berbaring di sampingku. Dia tersenyum sambil menarikku untuk berbaring lagi di sampingnya.

"Mau ngapain, Mas?" tanyaku bingung.

Kulihat jam yang menempel di dinding kamar. Masih jam dua pagi, mataku juga masih mengantuk. 

"Kok malah nanya, Ra. Ini malam pertama kita, kan? Ayo kita rayakan!" jawab Mas Azzam dengan senyum lebar.

Malam pertama? Maksudnya aku harus melayani dia? Oh, tidak! Aku harus cepat memutar otak mencari alasan sekarang.

"Ehm, maaf beribu maaf, Mas. Aku ... sedang datang bulan," jawabku.

Aku merasa senang bisa berpikir dengan cepat untuk mencari alasan. Aku belum siap menjadi istri Mas Azzam seutuhnya. 

"Masa, sih. Kenapa baru bilang sekarang?" tanya Mas Azzam lagi. 

Wajahnya tak secerah tadi, kasihan juga melihatnya. Namun, aku belum siap dan  juga belum rela jika harus melayaninya. 

"Mas baru nanya sekarang," jawabku pura-pura lugu. 

Dia mendesah kecewa, aku tersenyum tipis lalu permisi ke kamar mandi. Sebelumnya aku menyambar tas kecil yang selalu kubawa jika ke luar rumah. 

Sampai di kamar mandi, kuambil pembalut yang ada di dalam tas kecilku lalu kupakai. Bahaya, kalau sampai Mas Azzam memeriksanya saat aku tidur nanti. 

Setelah beres, aku kembali lagi ke tempat tidur. Mas Azzam sudah kembali tidur dengan pulas. Pelan-pelan aku membaringkan diri di sampingnya, mencoba untuk tidur kembali. 

Tiba-tiba Mas Azzam memiringkan tubuhnya lalu memelukku dengan erat. Rupanya dia hanya pura-pura tidur.  Tangannya hendak bergerak ke bawah yang langsung kutepis. 

"Jangan macam-macam, ya, Mas!" sentakku. 

"Ma-maaf, Mas cuma ...." jawabnya tergagap dan langsung kupotong dengan marah.

"Tidur, sebentar lagi Subuh!" 

Mas Azzam pun memejamkan matanya dengan patuh. Aku tertawa tanpa suara lalu ikut memejamkan mata kembali. 

Bersambung.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login