Download App

Chapter 4: Tak Bisa Jujur

Bab 4 - Tak Bisa Jujur

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya papaku saat melihat dokter keluar dari ruang ICU.

"Alhamdulillah, beliau hanya kecapekan saja sehingga tekanan darahnya naik. Jika sudah sadar nanti kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut," jawab dokter dengan ramah.

Aku bersyukur dalam hati mendengar jawaban dokter tersebut. Namun, aku juga merasa bingung melihat keadaan Mama. Bagaimana aku bisa mengatakan yang sebenarnya tentang status Mas Azzam. 

Belum mengetahui yang sebenarnya saja, Mama sudah pingsan karena kecapekan. Bagaimana kalau sampai Mama tahu aku akan meminta cerai dari Mas Azzam karena ternyata dia sudah memiliki istri di Medan sana. 

"Kamu kenapa, Clara. Ohya, bukankah tadi pagi kamu bilang ada yang mau dibicarakan dengan Papa. Sekarang, bicaralah!" Papa menatapku dengan matanya yang memerah. Bukan karena marah, tapi aku tahu kalau beliau diam-diam menangis saat di mobil tadi.

"Ehm, itu sebenarnya aku mau ngomong soal ...." 

"Clara, Mas lapar. Kamu sama Papa juga belum sarapan. Kita cari makan di bawah, yuk!"Mas Azzam memotong ucapanku, lalu langsung menarik tanganku dengan paksa untuk menjauh dari Papa.

Aku menoleh pada Papa yang memandang kepergian kami dengan wajah bingung. Setelah agak jauh, aku melepaskan diri dari cengkraman Mas Azzam. 

"Apaan, sih, Mas. Kamu sengaja menjauhkan aku dari Papa. Maksudmu apa, Mas?" tanyaku dengan marah.

"Ssst, pelankan suara kamu, Ra. Aku memang sengaja membawa kamu jauh dari Papa. Kamu mau kalau Papa ikutan sakit juga kayak Mama?" bentak Mas Azzam. 

Sekarang malah dia yang bersuara dengan keras. Tadi aja melarang aku bicara dengan kencang. Dasar, pria gak jelas. 

Tentu saja dia aku juluki sebagai pria gak jelas. Kalau dia pria sejati, pasti akan mempertahankan istri yang sedang mengandung anaknya. Bukannya malah setuju dijodohkan dengan diriku. 

"Maksud kamu apa, Mas?"

"Kalau sampai kamu ceritakan semuanya pada Papa, dia pasti terkejut.

Kalau jantung Papa kamu juga sakit seperti Mama bagaimana. Kamu mau kedua orang tua kamu sakit semua?" 

Aku terdiam mendengar alasan Mas Azzam. Ada benarnya juga perkataannya, Mama sedang sakit dan Papa pasti sangat risau dibuatnya. Pikirannya pasti sedang kacau dan jika ditambah lagi dengan masalah yang kuhadapi, entah apa yang akan terjadi pada Papa. 

Bodoh sekali, aku tak berpikir sejauh itu. Aku menarik napas kesal, sepertinya aku harus menutupi kebusukan Mas Azzam untuk sementara waktu.

Semuanya akan kuungkap jika waktunya tepat. Sepertinya itu yang terbaik saat ini. 

-----

Seminggu kemudian, aku dan Mas Azzam akan pergi ke Medan dengan menumpang pesawat udara. Sekarang, aku dan Mas Azzam sudah  d berada di dalam pesawat. Kesehatan Mama sudah agak membaik, sebenarnya aku punya alasan untuk tetap tinggal di rumah Mama. Namun, Mama memaksa aku harus ikut Mas Azzam kemanapun dia pergi.

Mama meyakinkan aku kalau dirinya sudah sehat. Lagi pula masih ada Cleo yang akan menjaga Mama dan Papa sekarang. 

Akhirnya, dengan berat hati aku pun mengikuti Mas Azzam kembali ke perantauannya di kota Medan. 

Sebelum berangkat, malam tadi aku sudah membuat perjanjian dengan Mas Azzam. Kami berdua membuat komitmen kalau pernikahan kami ini hanyalah settingan belaka. 

Selama di Medan nanti, aku harus mengaku sebagai adiknya Mas Azzam pada tetangga di sana. Aku sih, setuju saja dengan rencana Mas Azzam. Namun, aku juga memberi syarat, kalau dia tak boleh menyentuhku sampai kapanpun. 

Mulanya dia keberatan, tetapi aku mengancam akan mengatakan pada tetangganya di sana kalau aku ini istri Mas Azzam. 

Dia ketakutan dengan ancaman ku, sehingga mau tak mau dia harus setuju dengan syarat dariku. 

Pemberitahuan dari pramugari kalau pesawat kami akan segera berangkat membuatku tersadar dari lamunanku. 

Sebentar lagi aku akan bertemu dengan istri Mas Azzam. Bagaimana aku harus bersikap nanti?

---

"Eh, Mas Azzam sudah pulang. Bagaimana keadaan orang tuanya. Apa sudah sembuh. Ohya, ini siapa yang Mas bawa, kok cantik kali?" Seorang ibu bertubuh subur menyapa kami.

Aku dan Mas Azzam baru saja turun dari taksi yang membawa kami dari Bandara Kuala Namu tadi. 

Aku sempat heran dengan pertanyaan ibu bertubuh subur tadi. Namun, aku segera paham kalau Mas Azzam dan istrinya pasti beralasan kepulangan Mas Azzam kemarin untuk melihat orang tuanya yang sakit.

Ternyata rumah Mas Azzam di sini tidaklah terlalu besar. Letaknya juga di tengah pemukiman yang padat penduduk. Bukanny di komplek perumahan yang mewah seperti bayanganku.

"Kalau ini aku bakalan tawuran setiap hari dengan tetangga kayaknya," keluhku pelan. Aku melihat pada para tetangga yang menatap kami dengan rasa ingin tahu yang besar.

Mas Azzam melirikku lalu mengajak aku masuk ke dalam rumah. Seorang wanita berparas cantik tersenyum menyambut kedatangan kami. Dia menyalamiku lalu memeluk Mas Azzam dengan mesranya.

Kemudian, wanita itu menangis tersedu di pelukan Mas Azzam. 

"Kamu harus sabar, Sayang. Clara sudah setuju, kok, kalau dia akan mengaku sebagai adik Mas selama di sini. Pokoknya orang-orang di sini tidak ada yang akan tahu!" bujuk Mas Azzam.

"Enak kali Mas bilang kayak gitu, yang gak tahunya Mas sama mulut emak-emak di sini. Mana mungkin orang itu percaya gitu aja, pokoknya binik kau yang baru ini jangan pernah keluar rumah!" omel istrinya Mas Azzam.

Waduh! Ternyata Mbak Winda tak seperti perkiraanku. Kupikir, dia seorang wanita yang lemah lembut. Namun, ternyata sikapnya sangat bar-bar dan kasar.

"Maaf, Mbak. Aku gak mungkin di rumah selamanya. Memangnya aku tahanan rumah atau kalau tidak, begini saja. Aku tinggal di rumah lain saja, yang jauh dari kalian!" usulku. 

"Heh, jangan kau panggil aku Mbak. Panggil aku Kakak. Tau kau! Ko pikirnya aku mbak-mbak jamu yang lewat tiap pagi itu?!" sanggah Mbak, eh, Kak Winda. 

Aku melirik Mas Azzam yang sedang duduk terpekur di kursinya. 

"Tidak, Ra. Mas gak sanggup kalau harus mengontrak rumah satu lagi. Kamu harus tinggal di sini, sampai Mas bisa menemukan jalan keluar yang tepat," ujar Mas Azzam. 

Aku mengerucutkan bibir, sepertinya aku harus bertahan di sini. Mudah-mudahan Kak Winda hanya mulutnya saja yang cerewet. 

"Kau dengar itu, jadi selama kau tinggal di sini. Bantu-bantu aku mengurus rumah! Memasak, mencuci, membersihkan rumah juga. Kau tahu kan kalau aku sedang hamil? Jadi gak boleh kerja terlalu capek," ucap Kak Winda dengan santai. 

Wah, gak bisa dibiarkan ini. Dia mulai semena-mena denganku. Kulirik kembali Mas Azzam, dia hanya diam saja tak menanggapi perkataan Kak Winda tadi.

"Maaf-maaf, nih, Kak! Aku dibawa Mas Azzam ke sini sebagai istri, bukan pembantu di rumah ini. Lagi pula sebelum aku datang, siapa yang mengurus rumah. Kakak sendiri, kan? Kulihat Kakak baik-baik saja," jawabku dengan menahan kesal.

Enak saja dia mau membuatku jadi pembantu. Datang ke sini juga bukan mauku, dia tak bisa berbuat seenaknya padaku!

"Mas, tengoklah istri baru kau itu. Mau jadi Nyonya dia di rumah ini!" teriak Kak Winda. 

"Sudah-sudah! Hentikan perdebatan kalian! Aku pusing, Clara, kamu bisa, kan, bantu-bantu Winda. Dia ...." 

"Tidak Ferguso, aku tak sudi. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Ini rumah kalian, jadi kalian saja yang mengurusnya. Mana kamarku? Aku capek, mau istirahat!" tolakku. 

Mas Azzam dan Kak Winda tampak terkejut melihatku. Bodo amat, pikirku. Belum tahu mereka siapa Clara sebenarnya.

Bersambung.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login