Download App

Chapter 13: Penasaran

Bab 13 - Penasaran

Aku masih terdiam mendengar pertanyaan Mama mertua. Apa yang harus aku katakan? 

"Clara, kenapa kamu diam saja? Benarkan apa yang mama tanyakan tadi? Azzam dan Winda sudah menikah. Mama ingat pernah melihat fotonya yang dikirimkan Azzam sewaktu meminta izin akan menikah beberapa waktu lalu." 

Mama mertuaku terus bertanya membuatku semakin bingung harus menjawab apa. 

"Maaf, Tante, Om. Diminum dulu ini tehnya, mumpung masih hangat."

Kak Neti ke luar sambil membawa tiga gelas teh manis, lalu diletakkannya di atas meja. Sambil menyusun gelas di atas meja Kak Neti melirikku sambil tersenyum. 

Aku tak paham apa maksudnya, jadi aku hanya membalasnya dengan senyum juga walau aku yakin senyumku tak ada indah-indahnya.

"Terima kasih, lho, Neti. Tante jadi gak enak sudah merepotkan kamu," ucap Mama mertua.

"Ah, tak apa, Tante. Aku gak keberatan, kok. Malah aku senang," jawab Kak Neti dengan logat yang berbeda. 

Ternyata baik Kak Neti ataupun Kak Winda bisa mengubah cara bicara mereka jika diperlukan. 

"Clara, kenapa kamu belum menjawab juga? Apa kamu juga ikut berbohong seperti Azzam dan Winda?" tanya Mama mertuaku lagi.

"Tidak, Ma. Aku hanya ...." 

"Maaf sebelumnya, bukan aku ingin ikut campur Tante. Namun, karena aku warga lama di sini jadi aku lebih mengetahui masalah ini dari pada Clara. Memang benar Azzam dan Winda telah menikah, tapi cerita yang sebenarnya adalah ...." 

Kak Neti memotong ucapanku, lalu dia menceritakan kembali kejadian dan penyebab sampai Kak Winda dan Mas Azzam bisa menikah. 

Aku pikir mereka tahu dari saksi langsung itu lebih baik dari pada aku yang bercerita. Sebagai sesama menantu, aku harus netral. Agar Mama dan Papa mertua mengetahui sendiri kelakuan anak mereka. 

Mama dan Papa mertuaku kelihatan sangat syok mendengarnya. Mereka tentu tak menduga jika Mas Azzam sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka. 

Mama mertua yang pingin kaget mendengar cerita yang sebenarnya. Karena dia selalu menganggap Mas Azzam itu sebagai anak yang baik dan tak pernah berkunjung uat macam-macam selama ini.

"Azzam, tega sekali kamu. Mama malu sama kami, Ra. Juga sama orang tua kamu. Mau disembunyikan di mana wajah Mama ini," rintihan Mama mertuaku sambil menangis. 

Aku memeluknya dan mencoba menenangkannya. Semua memang sudah terjadi, bagaimana akhirnya nanti aku pun tak tahu. 

Sekarang semuanya seperti makan buah simalakama. Jika aku berterus terang pada orang tuaku, aku takut penyakit Mama kambuh. Jika diteruskan, sepertinya juga tidak mungkin. 

 "Clara, maafkan Mama, ya!" pinta Mama mertua sambil menangis. 

"Iya, Ma. Aku juga minta maaf sudah ikut membohongi Mama," jawabku. 

"Tidak, kamu tidak bersalah. Ini semua salah Azzam yang tak mau jujur pada kami, orang tuanya. Jika dia jujur berkata sudah menikah, pasti Mama tidak akan memaksanya untuk menikahimu."

"Aku hanya takut kesehatan mamaku terganggu jika mengetahui masalah ini, Ma," beritahuku.

"Iya, kamu benar. 

Mama mertua kelihatan sedang berpikir apa jalan yang terbaik yang harus kami tempuh.

"Pa, bagaimana. Mama jadi bingung ini!"

Mama mertua akhirnya pasrah dan mengadu pada suaminya. Papa mertua yang sejak tadi hanya mendengarkan saja juga berkata kalau dia bingung. 

"Sebaiknya, kita tunggu mas Azzam pulang saja, Ma. Kita tanya mau dia gimana sekarang. Kalau dia mau melanjutkan pernikahan dengan Winda, biarlah jika itu itu membuat dia bahagia," Akhirnya Papa membeeikan pendapatnya. 

Mama mertua melihat padaku kalau menggeleng. 

"Mama maunya hanya Clara yang jadi menantu Mama!" 

Aku tersenyum mendengar ucapan Mama mertua. Namun, senyumku langsung menghilang saat melihat kedatangan Kak Winda. 

Aku merasa heran, kenapa Kak Winda seperti punya CCTV di mana-mana. Dia tahu saja kalau dirinya sedang jadi bahan perbincangan lalu langsung hadir dengan wajah tanpa dosanya.

"Assalamualaikum," salamnya lalu menyalami kedua mertuaku. Sopan sekali kamu, Kak. Bukan karakter Kak Winda sehari-hari. 

Bagiku sih itu pencitraan.

"Waalaikumsalam," jawab kedua mertuaku kompak. Namun raut wajah mereka kelihatan tak kompak. 

Jika Papa mertua tersenyum menyambut uluran tangan Kak Winda, berbeda dengan Mama mertua yang menyambut salamnya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Kebetulan kamu datang, silakan duduk. Ada hal yang ingin kami tanyakan pada kamu, Winda," kata Papa mertua dengan santai. 

Kak Winda melirikku lalu memilih duduk di sebelah Kak Neti.  

"Ada apa, Om?" tanya Kak Winda. 

Mama mertua menatapnya dengan tajam. Kali ini raut wajah tak suka ditunjukkan oleh Mama mertua. 

"Ehm, ada hubungan apa kamu dengan Azzam? Aku pernah melihat wajahmu di foto yang dikirim oleh Azzam."

Papa mertua memulai pertanyaannya pada Kak Winda yang tampak terkejut. 

Wajahnya langsung memucat dengan mata melotot tak percaya. Kemudian, dia melihat padaku. Pandangan matanya seolah menuduh kalau aku yang sudah membocorkan  rahasia mereka. 

"Bukan Clara yang memberitahu, kami sendiri yang menyadarinya karena pernah melihat fotomu. Jadi kamu dan Azzam sudah menikah bukan?" sela Mama mertua.

"I-iya, Tante," sahut Kak Winda sambil mengelus perutnya.

"Apa anak yang kamu kandung itu, anaknya Azzam?" tanya 

Kak Winda menarik napas lega, kemudian mengangguk secara tersenyum. Aku tahu kalau hal inilah yang diharapkannya. 

Kak Winda pasti berpikir jika kedua mertuaku tahu hubungannya dengan Mas Azzam yang sebenarnya, maka dia akan diterima sebagai menantu di keluarga Mas Azzam.

Lagi pula sekarang dia sedang hamil keturunan keluarga Mas Azzam. 

"Aku minta maaf, Ma. Bukan gak mau ngasih tahu, tapi Mas Azzam yang belum kasih izin," ucap Kak Winda masih dengan senyum mengembang.

Aku mendengkus geli melihatnya, baru kali ini aku melihat orang meminta maaf dengan senyum mengembang seperti itu.

"Ma, aku mau lihat Mama dulu di rumah. Kalian lanjutkan saja obrolannya, ya," pamitku.

Malas rasanya melihat Kak Winda yang sedang merasa diatas angin seperti ini. Sejak tadi pandangannya serasa melecehkan diriku. 

"Nanti saja, Ra. Mama masih mau ...."

"Bukan apa-apa, Ma. Takutnya mereka mencari kita nanti," potongku.

Aku langsung berdiri dan pamit pada Kak Neti. Dia menemaniku sampai ke tepi jalan. 

"Kok, kau tinggal mereka di sini, Dek. Bahaya nanti kalau mereka dihasut sama si Winda itu!" sesal Kak Neti. 

"Biar sajalah, Kak. Itu lebih baik. Agar aku bisa lepas dari Mas Azzam," sahutku.

"Kok kek gitu kau ngomongnya, apa kau tak cinta sama si Azzam?" 

Aku menggeleng, kenyataannya aku memang masih belum tahu perasaan seperti apa yang aku rasakan saat ini.

"Aku pulang dulu, Kak. Aku khawatir Mama mencariku," kataku. 

"Iyalah, pulanglah dulu. Nanti Kakak kasih tahu apa yang dibicarakan si Winda sama mertua kau itu."

Kak Neti memang bisa di andalkan. Terima kasih, ya, Kak. Aku pun bergegas pulang menemui mamaku.

Bersambung.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C13
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login