Download App
33.33% Detak Jantung

Chapter 2: BAB 2 : Kanaya

Dua puluh tujuh kali sudah Gideon membaca jajaran huruf dan angka yang sedang dia pegang bahkan lelaki 29 tahun ini sedang berencana untuk kembali membacanya. Sayangnya berapa kali pun dia membaca tak ada satu satupun kalimat yang tersangkut dalam otaknya. Jika begini terus akan percuma saja dia datang untuk berkerja saat isi kepalanya itu tak mau di ajak bekerja sama.

Ini semua salah gadis itu. Gadis yang tak bisa dia keluarkan dari otaknya sejak kali pertama dia melihatnya di pameran foto kemarin. Bukan karena gadis itu memiliki kecantikan layaknya Dewi Aphrodite ... bukan. Gideon pernah bertemu dengan gadis yang lebih cantik dari gadis foto itu. Jelas ada hal istimewa dalam diri gadis itu hingga Gideon yang begitu tak acuh pada perempuan memberikan sebagian besar ruang otaknya untuk memikirkan gadis yang belum ia ketahui namanya.

"Arrrgh," erangnya sembari mempertemukan punggungnya dengan sandaran kursi kemudian melempar laporan ke mejanya dengan kasar.

Kelopak mata Gideon dipaksa menutup sejenak berharap dengan begitu bayangan gadis di foto itu hilang begitu saja. Namun, bukannya menghilang bayangan itu semakin jelas. Surai coklat yang berkibar akibat sentuhan angin pantai, hidung mancung, pipi gembul yang begitu menggoda untuk disentuh lalu mata yang menyipit sempurna karena senyuman bahagia. Semuanya kembali berputar di otak Gideon.

"Siapa sih kamu?" tanyanya entah pada siapa karena di ruangan itu hanya ada dirinya.

Ketukan pada pintu kaca ruangan disusul kemunculan Aji dari balik pintu disambut tatapan tajam dari Gideon yang hari ini tak ingin diganggu oleh siapa pun termasuk Aji. Bekerja bertahun-tahun dengan Gideon membuat Aji paham suasana hati Gideon dan tak ingin memperparah suasana hati Gideon yang kadang berujung pemotongan bonus, Aji memilih undur diri dan kembali lagi nanti ketika si singa tak segalak ini.

"Saya akan kembali lagi nanti." Aji pamit hendak undur diri, tapi amplop coklat di tangan Aji menarik perhatian Gideon.

"Apa yang ada di tanganmu?" Dagu Gideon menunjuk tangan Aji.

"Oh ini hanya laporan penyelidikan tentang Mbak Kanaya, Pak. Saya akan melaporkannya nanti." Alis Gideon menukik tajam sejalan dengan otaknya yang bekerja keras mencari tahu siapa Kanaya.

"Kanaya? Klien baru?"

"Dia gadis di foto kemarin yang Bapak minta untuk selidiki." Gideon menegakkan badannya menunjukkan bahwa lelaki itu sedang tertarik pada berita yang dibawa oleh Aji.

"Bawa kemari." Aji melangkah mendekat ke arah Gideon dan segera menyerahkan amplop cokelat itu berharap dengan begitu api dalam diri Gideon bisa segera mereda.

Sedikit tergesa-gesa Gideon membuka amplop itu dan foto Kanaya dengan latar kota Melbourne menyapanya lebih dulu. Dari foto itu Gideon yakin bahwa Kanaya bukan gadis sembarangan, dia mungkin berasal dari keluarha kaya yang menghabiskan uang dengan berjalan-jalan.

Puas dengan foto-foto Kanaya, Gideon mulai mengambil kumpulan kertas yang berisi penyelidikan tentang Kanaya. "Kanaya Shilenea Roseanne."

Satu persatu kata di sana Gideon cermati mulai dari setiap jenjang pendidikan yang diambil Kanaya siapa tahu gadis itu masih satu almamater dengannya mengingat Gideon memiliki perasaan familiar saat melihat Kanaya. Sayangnya, hal itu tak ditemukan sama sekali. Keduanya bersekolah di tempat yang berbeda sekalipun keduanya bersekolah di tempat elit.

Beralih dari riwayat pendidikan Gideon menuju asal usul keluarganya. Ada satu nama yang dia kenal, tapi Gideon yakin bahwa dia belum pernah berinteraksi dan hanya bertemu sekilas saja. Jadi, bisa dikatakan Gideon dan Kanaya tak memiliki koneksi hingga Gideon bisa memiliki perasaan familiar bahkan jantung berdetak begitu kencang karena Kanaya.

"Mengenai foto itu, apa yang kamu dapat?" tanya Gideon.

"Berdasarkan penyelidikan fotografer tak mau membuka mulut sekalipun saya menawarkan sejumlah uang padanya."

"Itu artinya uang yang kamu tawarkan sedikit!" Gideon dan tempramennya.

Sebagai sekretaris Aji harus bisa membuat bosnya tak melanjutkan amarahnya. "Maaf Pak. Saya akan menemui fotografernya dan menawari uang dengan jumlah yang lebih besar."

"Tak perlu." Jawaban Gideon yang seperti ini membuat jantung Aji berpacu kencang, dalam pikirannya sekarang Gideon pasti sedang marah besar.

"Siapkan satu tiket ke Ausie untuk penerbangan siang ini. Saya tidak peduli jenis pesawat apa yang jelas siang ini saya harus ke Ausie. Saya akan bertanya sendiri padanya."

"Enam jam yang lalu Ibu Kanaya sudah dalam perjalanan ke Indonesia. Kemungkinan satu jam lagi akan sampai di Bandara Soekarno-Hatta kemudian transit menuju Bandara Husein Bandung." Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Gideon baru saja berpikir menyusul Kanaya dan sekarang gadis itu yang datang sendiri.

"Bagus. Kosongkan jadwal saya siang ini. Saya perlu bertemu dengan Kanaya."

"Maaf?" Aji merasa ragu apa yang didengarkan oleh telinganya benar pasalnya tak sekalipun si gila kerja macam Gideon membatalkan jadwal hanya untuk seorang gadis yang tak dikenal Gideon sebelumnya.

"Kamu nggak salah dengar. I said what I said."

"Baik Pak."

***

Udara kota Bandung menyusup ke dalam pori-pori kulit Kanaya yang hampir 4 tahun melupakan bagaimana segarnya udara kota kembang ini. Namun, alih-alih merasakan kesegaran, Kanaya seolah menghirup karbonmonoksida, menyesakkan untuk sekedar bernapas. Rasa sakitnya mengembang di dalam organ yang terkungkung tulang rusuk. Rasanya menyakitkan saat tahu bahwa dia kembali ke sana tanpa ada sang kekasih yang akan menyambutnya dengan pelukan hanggat guna melepas gunungan rindu. Kini dia hanya berdiri terpaku menatap kosong ke arah di mana biasanya sang kekasihnya datang dengan segala spanduk berisi tulisan gila.

"KANAYA!" Berhenti memandang ruang kosong yang Menjadi akses lalu lalang orang, manik Kanaya bergerak liar mencari asal teriakan yang dia yakini adalah Oney yang memang tak butuh megaphone untuk membuat semua orang mendengar suaranya.

"KANAYA! ARAH JAM SEMBILAN!" Kanaya mengalihkan pandangannya ke kanan dan mendapati dua gadis melambai heboh dan yang satunya lagi melambai dengan anggun. Sungguh perbedaan karakter yang terlihat jelas sekali.

"Mereka sama sekali nggak berubah."

Senyum Kanaya terkembang, mungkin karena dia menyadari Bandung masih bisa membuatnya tersenyum karena keberadaan tiga gadis itu. Tungkainya bergerak memberikan ketukan mantap dari ujung hak stilio merahnya yang bertemu dengan lantai sementara tangannya sibuk menyeret koper besar yang dia bawa.

"Kangen!" Oney menerjang Kanaya terlebih dahulu kemudian diikuti Indie dan tentu saja Hanum sang tuang putri akan bersabar menunggu giliran memeluk sahabat mereka.

"Aku kangen," ucap Hanum begitu dia mendapat giliran untuk mendekap Kanaya.

"Aku juga." Bukan sekedar basa-basi semata, Kanaya memang merindukan Hanum.

"Gimana kabar kamu? Udah nggak apa-apa?" tanya Hanum dan senyum diplomatis yang keluar dari bibir Kanaya membuat Hanum yakin bahwa kata baik-baik saya belum pantas untuk Kanaya sandang.

"It's okay to not be okay. Ada kami." Kanaya mengangguk, benar di antara jutaan penduduk Bandung mungkin kepercayaan Kanaya hanya bisa diberikan kepada empat orang—tunggu ada satu orang yang hilang.

"Haris?" tanya Kanaya dengan mata yang mencari-cari keberadaan Haris.

"Dia sibuk ngurusin semua permintaan kamu." Kanaya hanya memberikan senyum pada Indie yang pasti kesal karena gebetannya tak memiliki waktu akibat segala permintaan Kanaya.

"Sorry—"

"No! You don't have to apologize. Kamu lebih penting dibanding Haris."

"Kalo Haris tau dia pasti sedih banget," goda Kanaya.

"Nggak bakal. Udah ah ayo ke mobil, kamu pasti capek."

"Iya, capek banget," keluh Kanaya yang mengalami pegal-pegal akibat duduk di pesawat hampir seharian.

"Ulu-ulu, sini aku bawain kopernya." Indie mengambil alih koper di tangan Kanaya kemudian memimpin jalan menuju parkiran dimana mobil Hanum berada.

Di parkiran manik Hanum melihat satu mobil yang pernah dia ikuti bersama Indie, Oney dan Haris. Dia yakin bahwa mobil Merci hitam itu adalah salah satu mobil Gideon. Untuk mengkonfirmasi hal itu dia menyenggol Oney dan berbisik, "Itu mobil Gideon apa bukan?" Tepat setelah itu Oney dan Kanaya menoleh ke arah yang ditunjuk Hanum dengan dagunya. Sebuah kebetulan karena kaca jendela mobil itu turun.

"Iyon!" pekik Oney begitu matanya bertemu sosok Gideon, sementara Indie membekam mulutnya kaget melihat lelaki yang duduk di dalam kursi penumpang mobil merci.

"Dia beneran dateng," gumam Kanaya.

"Jangan diliatin," bisik Hanum pada teman-temannya dan kini mereka menyibukkan diri dengan obrolan random hanya agar tak terlihat membicarakan Gideon.

Seorang laki-laki keluar dari kursi pengemudi mobil Gideon. Tak perlu bertanya siapa karena Kanaya sudah mengenalnya. Batraji Djatmiko, sekretaris kepercayaan Gideon.

"Mbak Kanaya?" Kanaya dan teman-temannya yang awalnya pura-pura sibuk kini menoleh dramatis pada Aji.

"Maaf, apa kita saling mengenal?" tanya Kanaya diiringi senyum yang jika dikategorikan tidak termasuk dalam senyum ramah karena mata Kanaya memberikan tatapan tajam pada mereka.

"Perkenalkan saya Batraji Djatmiko," katanya memperkenalkan diri sambil memberikan kartu nama miliknya.

"Sekretratis direktur utama PT. Bright Future Corp?" Indie bertingkah seolah-olah dia tak mengenal Aji sebelumnya.

"Benar."

"Maaf, tapi ada urusan apa sektretaris direktur memanggil saya?" tanya Kanaya.

"Bapak Gideon, direktur utama PT. Bright Future ingin bertemu dengan Anda." Kanaya tersenyum dalam hati, ini lebih cepat dari dugaannya.

"Ada agenda apa? Saya yakin saya tak memiliki urusan dengan direktur Anda."

"Untuk masalah itu saya tidak tau."

"Kalau begitu maaf, saya tidak bisa bertemu dengan atasan Anda." Aji ingin membuka mulut, tapi kemudian tertutup kembali karena dia tak menemukan satu pun kata yang tepat untuk membalas Kanaya.

"Begini Mbak—"

"Maaf, tapi saya sekarang cukup lelah dan tak punya tenaga untuk membuang-buang waktu. Permisi." Tak cukup dengan pergi begitu saja, Kanaya membuang kartu nama Aji seolah dia tak pernah membutuhkannya lagi.

"Dia beneran nyamperin kamu," kata Indie yang masih terus melihat ke arah mobil Gideon.

"Pasti gara-gara foto itu." Kanaya tersenyum kecil, rencananya meminta pacar Oney untuk mengikutsertakan foto prewed-nya ternyata memberikan hasil.

"Kata cowokku sekretarisnya Gideon sampai nawarin 70 juta, asal dia mau ngasih info tentang kamu, Nay." Itu masih jumlah yang sedikit dibandingkan seluruh uang Gideon.

"Tapi, tenang aja, dia nggak mau." Tentu saja pacar Oney tak mau, jika sampai lelaki itu mau mungkin statusnya bukan lagi pacar melainkan mantan pacar Oney.

"Kamu berhasil bikin Gideon nyari kamu. Dan terus abis dia nyari dan ketemu kamu, kenapa kamu malah nggak mau ketemu dia?" tanya Hanum setelah sekian lama bergelut dengan pertanyaan ini di otaknya.

"Ini baru pemanasan, jadi belum saatnya dia ketemu aku. Untuk saat ini aku cuma mau bikin isi otaknya cuma aku."

***


CREATORS' THOUGHTS
Morning_star Morning_star

Halo semua, selamat bergabung dengan dunia fantasi morningstar. Kami akan mengajak kalian berkelana dengan imajinasi sambil berharap semoga impian-impian kita tercapai.

Untuk kali ini kami membawa karya eksklusif dan debut pertama di web novel. Selamat membaca dan menyelam dalam cerita Kanaya dan Gideon.

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login