Download App

Chapter 2: Bab 2 l Penyiksaan

Kurasakan bokongku linu mencium lantai. Sementara Dito berhambur memeluk Giselle penuh khawatir.

"Kamu gapapa sayang? Ada yang sakit?" tanya Dito penuh khawatir.

Dito menyeka air mata di sudut mata Gissele.

"Sini pisaunya, bahaya nanti kamu terluka," ujar Dito dengan penuh kasih.

Nada bicaranya jelas berbeda saat berbicara denganku.

"Lu mau bunuh bini gua?" pekiknya lantas mencengkeram kerah seragam sekolahku. Sedikit miris mengingat semua siswi seangkatanku memakai kebaya dan memakai riasan tebal.

Seragam lecekku langsung robek dan kancingnya terlepas saat Dito menariknya dengan kasar.

"Kenapa? Dia juga bunuh Malta! Nyawa harus dibayar nyawa kan?" tantangku sembari memajukan wajah.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipiku. Sontang telingaku berdenging dibuatnya. Darah mengucur dari hidung dan sudut bibirku yang tanpa sengaja tergigit.

"Anak sial! gini kalo gak dididik nih! Mulutlu berani ngebusa seenak jidat! Lu berani mau bunuh orang? Dasar anak cewek gila!" hardiknya sembari menunjuk-nunjuk wajahku.

"Udahlah yang. Jangan teriak-teriak malu sama tetangga. Biar aku aja yang pukul. Kalo sama kamu nanti berbekas," tawar Gissele sembari menendang kaki belakangku hingga aku tersungkur.

Dug!

Nyut!

Lututku berdebam dengan lantai, sontak aku meringis.

"Heh! Kurang baik apa bini gua? Lu gak tau diri berani bilang mau bunuh dia? Cuma gara-gara kucing sialan yang berak sembarangan dimana-mana? Punya otak gak sih lu?" Maki Dito sambil menoyor kepalaku.

Rasanya aku mual mendengar segala makian yang sudah seperti konsumsi harian ku itu.

Tanpa menjawab aku memutar badan, bangkit dengan susah payah dan berjalan menuju Malta. Dalam hati aku berniat untuk memandikannya lalu menguburnya. Namun belum sampai tanganku meraih Malta, lagi-lagi tubuhku terhuyung ditarik paksa oleh Dito.

"Lu cuekin gua? Heh! Anak sial! Lu denger gak gua bilang apa! Dasar gak ada otak! Minta maaf sama bini gua sialan! Liat rambutnya rontok dijambak sama lu!" bentaknya sambil menarik rambutku dan mendorong kepalaku untuk melihat beberapa helai rambut yang ada di lantai.

Dengan acuh aku kembali menuju Malta yang bahkan sebagian bulunya gundul mungkin diguntingi oleh dua sejoli sialan itu.

"Ih kalo aku gak sanggup dah hidup seatap sama anak bego dan budeg kayak gitu Dit," ujar Gissele sambil bergidik memeluk diri menatap jijik ke arahku.

Mengabaikan mereka, aku hendak meraih kembali tubuh Malta. Namun ... Duagh! Sekali tendangan di bokongku aku pun terpental hingga kepalaku terbentur sudut tembok.

"Nggh ...." Mengerang pelan, kuraba dahiku yang basah. Darah mengalir dari pelipisku.

Belum sempat aku mengaduh, Dito menjambak rambutku lagi dan menendangi perutku.

Mataku terpejam sementara air mata mengalir dari sela-selanya. Mulutku terkatup rapat, sambil kupeluk erat Malta agar tak lagi terkena tendangan dari Dito. Melihatku mempertahankan pelukanku, Gissele seolah geram melihatnya. Segera ia menarik lenganku dan menjewer kuping Malta, mengangkatnya lalu melempar dan menendanginya.

"Sial-sial! Kucing pembawa sial! Cuma gara-gara kucing jadi heboh banget! Kucing jorok disayang-sayang! Dasar gak normal!" gerutu Gissele disela aktivitasnya menendangi dan menginjak-injak tubuh Malta.

Melihat hal itu, hatiku sakit, sangat sakit sekali. Kuseret tubuhku, meraih Malta. Kujulurkan tangan hendak menggapainya. Namun Dito menginjak lenganku hingga terdengar bunyi krek!

"Argh!" Aku berteriak sekeras mungkin, merasakan sakit yang tak terkira.

"Berisik!" ucap Dito lalu menyumpal mulutku dengan lap yang penuh darah, mungkin bekas mengelap sebagian darah Malta di lantai.

"Hmmp! Hhhuhuhu!" Tak dapat melakukan apa pun, aku hanya menangis menerima pukulan, tendangan, disertai hardikan dan makian dari Dito dan Gissele.

Mungkin satu jam berlalu, aku sudah terkapar tak berdaya dengan sedikit nafas yang lambat. Sementara Dito dan Gissele, kelelahan memukuli dan memakiku. Mereka juga terkapar di atas sofa.

"Haus yang! Ambilin minuman soda gih di kulkas!" titah Gissele pada Dito.

Mendengarnya, aku pun rasanya ingin juga meneguk minuman dingin itu lantaran kerongkonganku terasa kering, haus sekali.

"Kamu lagi hamil. Jangan minum soda. Jus aja ya," ucap Dito lalu beranjak menuju dapur melangkahi tubuhku.

"CK! Pindah Sono kamar lu, halangin jalan aja," dengusnya.

"Udahlah kita aja yang ke kamar. Biar nanti dia suruh beresin lantainya yang. Aku ke kamar duluan ngantuk!" ucap Gissele lalu bangkit beranjak menuju kamar Dito.

Aku dan Malta yang sudah tak bernyawa, tergeletak tanpa daksa di atas lantai yang dipenuhi darah yang sudah lengket dan menghitam.

Aku haru pergi. Aku harus kabur dari rumah ini, pikirku. Pokoknya aku harus pergi meninggalkan mereka sejauh mungkin. Tapi kemana?

Bantuan? Ya aku perlu bantuan. Siapa yang bisa kumintai bantuan? Benakku berputar memikirkan kemana aku harus mencari bantuan. Saat aku mencoba berdiri dan meraih gagang pintu, seketika aku teringat pada seseorang. 'Aldera!' batinku berseru. Ya, aku harus pergi menemui Aldera. Pacarku yang sudah menemani keseharianku selama setahun terakhir. Dia pria yang sangat kucintai sejak masuk SMA. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya.

Segera kuraih gawaiku lalu kutelpon Aldera. Namun berkali kutelpon tak kunjung diangkat olehnya. Tanpa pikir panjang, aku mengiriminya pesan.

[Al, aku butuh kamu. Aku tunggu kamu di tempat biasa kita bertemu] tulisku lalu gegas kukirim dengan harapan ia segera datang. Lalu kulangkahkan kaki dengan pasti, menuju taman biasa kita bertemu. Hari sudah mulai petang. Mentari terbenam sempurna, cahaya pun meredup. Lampu-lampu di jalanan kompleks, menyala satu persatu.

Kupeluk diri menahan hawa dingin yang membuatku menggigil.

Sementara kakiku terus melangkah, sedikit rasa takut menguasai hatiku. Apa yang akan kulakukan dan kukatakan jika Aldera datang? Apa ia akan membantuku? Pikirku. Namun segera kugelengkan kepala. Aldera sangat baik padaku, bahkan ia selalu datang meski kupinta ia untuk datang saat tengah malam. Pacarku itu akan datang dan masuk lewat jendela kamarku. Sayangnya aku selalu menolak setiap ia ajak untuk pergi. Rasanya aku agak menyesal, pikirku saat itu.

Namun tak kusangka saat aku tiba di dekat pohon sekitar taman, Aldera sudah berada di sana. Senyum pun tersungging di bibirku. Gegas kupercepat langkah hendak mengejutkannya. Namun langkahku langsung terhenti saat mendapati seorang gadis berhambur ke pelukannya. Kuurungkan niat menghampirinya, lalu bersembunyi di balik semak di antara pepohonan.

'Siapa itu?' batinku.

Betapa tercengangnya aku saat kulihat perempuan itu adalah seseorang yang kukenal. Kukenal dengan baik.

"Lilian," desisku.

Jalang itulah yang menyebabkanku seperti ingin. Dia yang membuatku menerima segala macam diskriminasi di sekolah. Dadaku naik turun dengan nafas memburu menahan gejolak emosi di hati. Kutekan langkah lantas menghampiri mereka.

"Aldera!" bentakku, lalu sekali tarikan ku hempaskan tubuh Lilian ke atas aspal.

Sontak Lilian mengaduh dan merintih. Bibirnya yang baru saja tengah bercumbu dengan Aldera mencium aspal kasar hingga berdarah tergerus pasir dan krikil kecil.

"Azalea?" gumam Aldera antara heran dan ingin marah. Namun kulihat ia menatapku bingung, seperti sedang meyakinkan diri bahwa yang ia lihat adalah benar aku.

"Apa yang kamu lakukan dengan dia!" bentakku pada Al untuk pertama kalinya.

Aku tak habis pikir, kenapa dia bisa Setega itu melakukan hal ini padaku. Dan lagi, kenapa harus dia? Kenapa Lilian?

"Apalagi? Orang pacaran, ya pacaran lah!" seru Lilian tepat di belakangku.

Kutautkan alis mencoba memahami situasi, lalu kutatap nanar wajah Aldera penuh harap jawab dan penjelasan darinya.

"Al?" tanyaku lirih.

"Apa? Apa lu gak sadar kalo gua cuma pura-pura mau jadi pacar lu? Jujur sekilas gua iba liat lu. Tapi kebegoan lu bikin gua ilfeel sampe males buat lanjutin drama ini tau gak?" jelas Aldera dengan nada dingin, namun bagiku terdengar seperti Guntur yang menggelegar hingga kupingku sakit mendengarnya.

"Apa? Apa maksudnya ini?" tanyaku pada diri sendiri. Aku terhuyung seketika, rasanya pijakan yang kuinjak terasa seperti jelly.

Brukh!


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login