Download App
11.11% PANDU & NIKEN

Chapter 2: DUA

Sepi…

Kau, mungkin telah membusuk

Tapi tidak lebih busuk

dari si busuk penyamun itu

Suci cintamu

Pedih deritamu

Berat memikul dunia

Malu menyandang nama

Iblis bertopeng cinta

Maut perangkap asmara

Kau, tinggal kenangan

Pahit kekecewaan

Memberi seribu teladan

Kau, mewangi sepanjang hari

Mekar di dalam hati

"Huh?! Tetap saja tidak mengerti." keluh Pandu. Dia berhasil mencuri lihat buku mungil itu dari tas Niken. Dibacanya berulang kali. Tetap saja penuh misteri. Siapa yang dimaksud 'penyamun' itu? Siapa yang tinggal di hatinya? "Ah, benar-benar bikin penasaran cewek yang satu ini," gumamnya, sambil meletakkan kertas itu di atas meja.

Budi, teman sekelas, sekaligus teman main basketnya, menepuk pundaknya.

"Hey, Ndu! Tumben kamu enggak dikerumuni cewek hari ini? Macam James Bond saja kamu."

"Tadi aku bilang sama mereka, aku belum buat pe-er. Jadi mereka menyingkir."

"Apaan nich?" tanya Budi mengambil kertas itu dari meja.

"Eh… jangan…" cegah Pandu. Tapi terlambat. Secarik kertas itu sudah berada di tangan Budi.

"Ini tulisan tangan si Niken, kan?" Budi mengenali tulisan Niken. Pandu diam saja.

"Iya niiiih… Wah Niken bisa puitis juga, yach?" kata Budi sambil tertawa. Lalu membacanya keras-keras.

Teman-teman yang lain tertarik, lalu mulai berkerumun di situ.

Budi bak seorang penyair, berdiri atas meja Niken dan mulai membaca puisinya, berulang-ulang.

Bel tanda istirahat selesai sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, tapi anak-anak masih berkerumun di sekitar situ sambil tertawa-tawa melihat gaya Budi yang kocak.

Niken yang hendak masuk kelas cuma bisa berdiri kaku di depan pintu. Malu sekali rasanya. Dengan mata geram ditatapnya Budi lekat-lekat. Yang lain berhenti tertawa, dan bubar jalan, menyadari Niken sudah berada di situ. Budi pelan-pelan turun dari atas meja, lalu mengembalikan kertas itu pada Pandu, sambil tersenyum, "Terima kasih, kamu benar-benar ahli bikin ketawa."

Niken tidak berkata apa-apa waktu duduk. Pandu tak sanggup menatap wajahnya. Dingin sekali tatapan matanya. Tapi dia merasa harus meminta maaf. Biar bagaimana kejadian tadi gara-gara dia.

"Sorry, Niken. Aku nggak berniat…"

"Sudah puas kamu sekarang?" serobot Niken.

Percakapan mereka terhenti karena Bu Santi, guru matematika, sudah masuk ke kelas. Pandu sempat melihat setitik air mata di sudut mata Niken. Dia menyesal sekali.

Niken, di lain pihak, cuma satu kata yang ada di otaknya sekarang. "Perang!"

☆☆☆☆☆☆☆☆

Siang itu juga, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Pandu berusaha menjelaskan apa yang terjadi.

"Niken, aku serius tidak memberikan kertas itu pada Budi. Sumpah! Memang aku yang mengambil kertas itu dari tasmu, tapi itu cuma untuk memuaskan rasa ingin tahuku saja. Aku memang salah, aku seharusnya mencegah Budi membaca puisi itu. Maafin aku, ya?" kata Pandu tulus.

"Kalau tujuanmu ingin mempermalukan aku, kenapa pakai menyewa Budi sebagai aktor? Kenapa nggak kamu lakukan sendiri?" jawab Niken sinis, sambil memberesi buku-bukunya dari laci.

"Sudah kubilang, aku sama sekali nggak berniat mempermalukan kamu. Aku cuma ingin baca, terus aku kembalikan lagi. Budi datang pada saat yang salah."

"Jadi kamu menimpakan kesalahan padanya? Nol rasa tanggung jawabmu, ya? Bapakmu yang polisi pasti bangga."

Pandu menelan ludahnya. "Maafkan aku, Niken. Aku memang salah. Aku tapi sama sekali nggak bermaksud untuk bikin kamu malu. Sumpah! Lagipula, kenapa kamu mesti marah-marah begini, sih? Puisi kamu itu bagus sekali lho… Kenapa kamu mesti malu?"

"Aku nggak butuh penilaianmu. Terserah aku dong mau marah atau bangga. Sekarang ini aku malu dan marah. Kamu mau apa?"

"Ya sudah, ya sudah… Maaf dong…"

Niken merengut. "Permisi, aku musti pulang sekarang." katanya kemudian, karena Pandu masih duduk di sebelahnya, menghalangi jalan keluarnya. Pandu berdiri dan mempersilahkannya untuk lewat. Niken bergegas keluar menenteng tasnya.

Pandu mengejarnya. "Sudah dimaafin belum nich aku?" teriaknya.

Niken berlari menjauh, ke arah pintu gerbang luar. Malas meladeninya. Cowok sialan. Serasa ingin menangis kalo mengingat kejadian yang tadi. Benar-benar memalukan. Puisi tadi adalah ungkapan isi hatinya. Bagaimana dia tidak marah? Enak saja Pandu bilang kenapa mesti malu. Niken tidak pernah mengungkapkan emosinya pada orang-orang, jadi ini adalah pengalaman pertamanya. Ya gara-gara si mata jangkrik itu. "Suatu saat pasti aku balas!" janji Niken pada diri sendiri.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Untuk melakukan aksi balas dendamnya, Niken harus menggali lebih dalam tentang cowok yang dibencinya itu. Agak susah, karena dia anak baru pindahan dari luar kota, tidak banyak orang yang mengenalnya dengan dekat.

Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari anak-anak basket dan cewek-cewek yang sering mengerumuninya, Pandu yang orang Jawa asli itu tinggal di rumah kontrakan di daerah Manyaran. Jabatan ayahnya di Polri tidak begitu tinggi, jadi ibunya harus ikut menopang keluarga dengan membuka usaha jahit pakaian. Kakaknya empat orang, laki-laki semua. Tapi hanya Pandu yang masih tinggal bersama orang-tuanya. Hidupnya penuh kesederhanaan, tapi kelihatannya bahagia. Kemana-mana Pandu naik sepeda bututnya. Selain main basket, dia hobi main piano rupanya. Cuma itu keterangan yang berhasil didapatnya dalam waktu singkat. Kurang kuat untuk melancarkan aksi balas dendam. Niken harus mengetahui lebih banyak tentang pribadinya. After all, this is a personal war!

Maka dari itu, Niken mengurungkan niatnya untuk pindah tempat duduk. Dengan duduk di sebelah Pandu, semakin mudah menyusun siasat untuk balas dendam, bukan?

Tapi ke mana anak itu hari ini? Ini sudah jam tujuh kurang tiga menit. Bel pertama sudah bunyi dua menit yang lalu. 3 menit lagi pelajaran mulai. Pandu biasanya tidak pernah terlambat.

Tuh, bel sudah berbunyi lagi. Kemana dia? Mata Niken jelalatan ke luar kelas mencari sesosok Pandu.

Bu Tanti sudah masuk kelas, langsung memperingatkan murid-murid untuk menyusun buku catatannya, karena ringkasan mereka akan diperiksa. Beberapa anak panik mencari buku catatannya di dalam tas dan di laci. Beberapa lemas karena belum selesai meringkas. Yang nekad langsung antri lapor tidak membawa buku. Niken tenang-tenang saja. Ringkasannya sudah selesai dua hari yang lalu. Malah dia sudah mulai meringkas bab berikutnya.

Niken melongok ke arah luar jendela. Itu dia si mata jangkrik! Dia dihukum lari keliling lapangan tengah karena terlambat. "Hihi.. sukurin."

"Maaf Bu, saya terlambat." kata Pandu saat masuk kelas.

"Kamu anak baru, ya?"

"Betul, Bu. Saya Pandu."

"Baiklah, Pandu. Silahkan duduk. Kamu sudah selesai meringkas? Bawa kemari buku catatanmu."

"Sudah, Bu." Pandu lalu mencari-cari buku catatan biologi dari tas kumalnya, lalu diletakkan di atas tumpukan buku di meja guru.

"Kenapa kamu terlambat?" tanya Niken, iseng.

"Bukan urusanmu." jawab Pandu singkat.

"Iiih… galaknya. Ya sudah. Aku kan tanya baik-baik."

"Aku musti mengantar ibu beli kain di pasar. Biasanya juga begitu sih, tapi tadi sial, ban sepedaku kena paku di tengah jalan dari rumah kemari. Makanya lama. Kamu tumben tanya-tanya?" Pandu heran. Selama ini Niken jarang buka mulut. Paling-paling cuma bilang permisi kalau mau lewat.

"Nggak boleh tanya-tanya?"

"Boleh, tapi nanti yah. Soalnya Bu Tanti meperhatikan kamu terus tuh." bisik Pandu menunjuk ke arah depan.

Oh, baik juga dia, memperingatkan dia sebelum Bu Tanti menyemprotnya. Juga mengantar ibunya ke pasar sampai rela terlambat. Tapi itu tak cukup untuk mengurangi rasa bencinya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login