Download App

Chapter 109: ●Langkah Nami (6)

Hening yang tenang.

Senyap menggenang.

Air.

Udara.

Alam.

Sendirian.

Seperti inikah kematian?

❄💫❄

Terbatuk-batuk.

Berkeringat.

Napas tersengal satu-satu.

O, jadi seperti ini maut datang?

Tanpa teman, tanpa kawan. Hanya berdua dengan kenangan. Ayah, ibu, Jalma. Nami menyandarkan tubuh ke dinding gua. Lantai dingin dan basah. Dari tempatnya duduk, percikan deras air terjun menghunjamkan tetes-tetes air.

Matanya menangkap tubuh-tubuh bergelimpangan. Sebagian melotot ke arahnya, sebagian telungkup. Darah berceceran di mana-mana. Satu dua Nistalit meregang nyawa, menatap ke arahnya dengan pandangan penuh harap agar kehidupan masih berpihak.

Nami mencoba mendekat.

Menggenggam tangan.

"Na...mi...?"

Nami mengangguk, mengelus kulitnya.

"Anak...ku...mana?"

Oh, jadi lelaki ini membawa anaknya, pikir Nami. Bagaimana menjawabnya? Bolehkah ia memberi kabar gembira, walau tak tahu itu benar ataukah dusta?

"Dia ...baik-baik saja. Kemungkinan ...bersama Dupa atau... Suta," jawab Nami terengah.

Atau tidak bersama keduanya, batin Nami sedih.

"Temu...kan anakku..."

Nami mengangguk pelan.

Ia menyumpahi diri sendiri, mengapa menjanjikan sesuatu disaat dirinya pun tak mampu?

Aku terpaksa berjanji, batin Nami sendu. Aku menjanjikan sesuatu yang mustahil kupenuhi.

Bahkan nyawa Nami saat ini terancam bahaya. Napasnya memburu, bercampur pikiran bertahan hidup serta keinginan untuk selamat.

Lelaki itu membisu kemudian, setelah satu cegukan mengakhiri tarikan napas. Leher, dada, lengan, kaki dan nyaris seluruh tubuh lelaki itu terkoyak. Tak ada yang bisa diingat dari dirinya kecuali separuh wajah keriput memerah, hasil sentuhan cambuk Kuncup Bunga.

Ia masih cukup muda, pikir Nami. Mungkin seusia kakak Jalma, bila abangnya memiliki kakak. Anaknya pasti masih kecil.

Nami mengamati sekeliling. Sekarang semuanya benar-benar membisu. Tak ada napas lagi, kecuali miliknya.

Baiklah.

Mungkin ia menjadi peserta terakhir pesta kematian Vasuki. Gadis itu kembali merayap ke dinding gua. Menyandarkan tubuhnya yang gemetar oleh rasa sakit. Racun keparat itu seolah menyebarkan duri ke seluruh pembuluh darah. Bahkan ia dapat mencium bau busuk luka-luka yang menganga di lengannya.

"Ayah, ibu," bisik Nami.

Dua bulir air jatuh dari ujung mata.

"Jalma?" bisik Nami lagi.

Ia menghela napas panjang. Tiap tarikan, seolah pisau mengiris kerongkongan.

"Aji, Usha...maafkan," Nami berbisik. "Aku...tak dapat...melindungi kalian."

Nami mencoba tenang.

Pedih membakar. Nyeri menghunjam. Kaki-kakinya sulit bergerak. Seluruh tubuh membeku dan membusuk bersama racun.

Ia menikmati rasa sakit tapi membenci hidupnya. Mengapa harus kalah dari Vasuki? Tidak adakah cerita lain yang lebih bisa dipilih?

Mata Nami menyapu mayat-mayat Nistalit yang sedemikian cepat membusuk. Lembab gua bercampur aroma bangkai. Melihat mereka, hampa hatinya. Ada yang sama sekali tak dapat mencapai Gangika. Memakan umbi lebih banyak, mengenal buah-buahan. Masih beruntung dirinya yang sempat menikmati pesona dunia.

Nami memejamkan mata. Mencoba tersenyum pada diri sendiri.

Ia mencium gelang manik jali-jali miliknya dan milik Jalma yang senantiasa membuatnya merasa mereka selalu berdua. Gelang itu memberinya kekuatan yang dibutuhkan, sampai sekarang. Pedih dan malu, tak dapat memenuhi permintaan Jalma dengan baik. Andaikan masih berumur panjang, ia berjanji akan berjuang lebih baik lagi. Bukankah demikian keinginan bila diambang kematian?

Sebelah tangan yang masih dapat digerakkan dengan lemah, gemetar, mencoba meraba kantung tas. Mencari sesuatu yang dapat digunakan sebagai kebahagiaan terakhir.

Jemari Nami menyentuh benda lembut dan halus. Matanya berbinar sesaat.

"Indah sekali," benak Nami mulai kacau. "Aku mungkin mengenakannya di kehidupan Nirvana nanti."

Secarik kain hijau bersulam.

Bahkan wanginya masih tercium. Aroma dedaunan, buah, bebungaan mekar. Nami mengangkat helai kecil kain yang disobeknya dari jubah panglima Akasha. Ia membawa benda itu ke dekat mata, dilambaikan ke atas, ke arah matahari redup yang mulai lingsir.

Sulamannya berkilauan.

Cahaya lembut berpendar.

Demi kebahagiaan terakhirnya, Nami meletakkan carik kain itu ke atas lengannya yang terluka.

Sesaat kemudian kepalanya terkulai.

❄💫❄

"Jalma! Buatkan aku boneka jerami!"

"Aku sudah membuatkanmu kemarin. Hilang lagi?"

"Kuberikan temanku. Kasihan. Ayahnya barusan mati, dihukum Akasha Giriya."

"Oh, kasihan sekali dia. Kau mau boneka seperti apa?"

"Berambut panjang. Rambutnya dipenuhi bunga. Bisa?"

"Haha! Apa yang tak bisa dilakukan Jalma?"

"Kau abangku yang terbaik!"

Nami memeluknya.

Merasakan dekapan kokoh Jalma. Tubuh jangkung dan perkasanya selalu berusaha melindungi. Pekerjaan berat, diambil alih Jalma. Pekerjaan berbahaya, diambil alih Jalma. Jalma pula yang mengajarinya berhitung, membaca dan berbagai hal yang tak diketahuinya.

"Aku akan menjadi seperti Ogmar dan Yamar, " itu cita-cita Jalma.

Nistalit Ogya, yang berani melawan kekejaman walau mati mengenaskan.

"Nami, jangan menangis," hibur Jalma. Memeluk adiknya yang menangis sesenggukan ketika kedua orangrua mereka wafat. Nami memeluk erat boneka jeraminya.

"Nami, aku ada di sini. Aku akan selalu melindungimu. Aku lebih hebat dari Akasha manapun," janji Jalma.

Jalma selalu memeluknya erat.

Mengepang rambutnya.

Membantu menjahitkan baju.

Memetikkan bunga.

Membuat boneka jerami.

Jalma memeluknya erat.

Jalmakah itu?

Tapi, mengapa ia berjubah hijau?

❄💫❄


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C109
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login