Download App

Chapter 112: ●Langkah Nami (9)

Penjara Girimba yang selama ini kosong, kali ini penuh berisi para Nistalit yang kepayahan. Beruntung, Hulubalang Janur memberikan air embun jernih yang lahap diteguk hingga tubuh segar walau perut masih melilit kelaparan.

Janur memperlihatkan Nistalit yang dirantai dengan akar-akar pohon. Milind dan Gosha berkeliling, memandang para budak yang menatap dengan wajah ketakutan. Mereka berjongkok. Memeluk lutut, merapat ke dinding. Sebagian saling berpelukan. Tubuh kurus, tulang-tulang menonjol dan pakaian penuh koyakan.

Walau memiliki kedudukan lebih tinggi, baik Milind maupun Gosha merasa, tak pantas Nistalit diperlakukan seburuk itu.

Janur menahan langkah Milind dan Gosha.

"Kenapa?" Milind bertanya curiga.

"Penjara di ujung diawasi ketat," ujar Janur. "Mereka Nistalit yang membunuh pangeran Vasuki dan prajurit Giriya."

"Jadi?"

"Hamba khawatir keselamatan panglima berdua," ujar Janur.

Gosha tertawa, "kau meragukan kemampuan Milind, panglimamu sendiri? Bahkan Raja Tala pun nyaris mati di tangannya."

"Kau berlebihan," Milind merendah.

"Aku ingin melihat mereka, Janur," ujar Gosha. Matanya berkilat. "Kalau mereka mampu membunuh pangeran Vasuki, aku akan mengambil mereka menjadi pasukan khususku."

Milind menarik napas, menatap Gosha. Ucapan Gosha dan janji Ratu Gayi, bermain di benak.

Gosha menoleh ke arah Milind.

"Tidakkah kau berpikir hal yang sama, Milind?" tanya Gosha.

❄💫❄

Berdiri di sana.

Pemuda tegap dengan rambut panjang keperakan, yang diikat satu tinggi ke atas dengan belitan logam berukir. Wajah tampan dengan rahang tegas dan mata tajam, siap menerkam musuh. Di sisinya berdiri sosok langsing dan kuat dengan baju hijau. Para prajurit menyebutnya Hulubalang Janur. Sosok yang memerintahkan para Nistalit dirantai, tapi juga memberikan obat mujarab dan melimpahkan persediaan air embun.

Nami dan Dupa belum mengenal sosok si rambut perak. Namun antara rambut perak dan Hulubalang Janur, berdiri seseorang yang pernah ditemui Nami.

Tinggi, tegap, rambut hitamnya yang halus jatuh menjuntai. Sebagian diikat ke belakang. Mengenakan pakaian hijau tua sewarna daun. Sepasang matanya lembut dan tenang, walau terlihat sangat waspada. Bibirnya seolah tersenyum, atau jika tidak, tampak seperti mengejek lawan. Nami pernah berjumpa dengannya, sekali. Ketika sang panglima menyelamatkannya dari tangan ganas Hulubalang Daga, kaki tangan Panglima Rakash banna Giriya. Bukan sekali Nami pernah bertemu dengannya.

Ahya.

Dalam mimpinya.

Dalam khayalannya.

Dalam kerinduannya akan rasa damai dan tenang.

Dalam ilusi kematian yang hampir saja menjadi titik akhirnya di gua tirai air terjun.

Setiap kali hidup terasa melelahkan, mengingat raut wajahnya membangkitkan harapan.

"Dupa...?" Nami menggoyang lembut tubuh pemuda yang terkulai di pangkuannya.

Dupa menggeliat lemah. Lukanya telah dibebat dengan sobekan kain hijau yang telah berhasil menyelamatkan Nami, tapi tak cukup baik mengatasi luka Dupa.

"Minumlah," bisik Nami, membawa air embun dengan cekungan tangannya. "Kau akan selamat, Dupa."

Dupa berusaha minum, tersedak kemudian. Nami menatapnya cemas, dan beralih memandang sosok berjubah hijau yang mematung di hadapannya. Gadis itu berlutut, memohon sangat, membungkukkan badan berulang-ulang.

"Panglima Milind! Tolonglah dia," bisik Nami memohon. "Dia butuh obat lebih. Mungkin...dia butuh mantra panjang usia...?"

Gosha menaikkan alis, menatap Milind kebingungan.

"Panglima Milind! Hamba mohon...," suara Nami tertelan isaknya yang pelan.

"Kau mengenalnya, Milind?" tanya Gosha curiga.

Milind menarik napas panjang. Menatap Nami sekilas, lalu membalikkan badan.

"Tidak," jawab Milind.

Janur berlari kecil mengikuti jejak Milind, sementara Gosha masih mematung di depan ruang yang memenjarakan Nami dan Dupa. Nami mengusap wajahnya kasar, kesedihan berbalik arah bagai mata angin timur dan barat.

"Akhirnya aku bertemu Panglima Milind yang terkenal hebat!!" teriak Nami marah. "Yang selalu menolak, ketika ada yang meminta pertolongan!!"

Clap.

Clap.

Clap.

Tangan Nami, yang masih dapat terulur ke luar walau masih terikat akar pohon di gerbang jeruji kayu, melemparkan gigi-gigi batu. Tepat jatuh di antara langkah kaki Milind dan Janur.

"Heeeei!!!" teriak Gosha, mencengkram pergelangan Nami.

"Panglima Milind! Heiiii!!!" teriak Nami berang. "Kau seharusnya berterima kasih pada kami! Kami yang membasmi keparat-keparat itu dari Girimba. Belum tentu prajuritmu bisa melakukannya!!"

Gosha tertawa melihatnya.

"Kau perlu jaga mulutmu, Nistalit," ujarnya. "Kau pasti tak mau melihat Milind murka."

"Kau pun belum tentu bisa melakukan apa yang telah kami lakukan!" bentak Nami.

Gosha melepaskan cengkramannya. Ia menatap Nami, bergantian memandang punggung Milind yang makin menjauh. Nami mengelus pergelangan tangannya yang serasa dipukul kapak batu.

"Kaukah yang membunuh pangeran Vasuki?" tanya Gosha.

Nami tak menjawab.

Ia memburu Dupa yang terduduk lemah.

"Bagaimana caramu membunuhnya?" Gosha ingin tahu.

Nami mengusap wajahnya yang tetiba basah. Kemarahan, keputusasaan, kesedihan melihat penderitaan Dupa tumpang tindih menjadi satu.

Gosha membungkukkan badan.

"Nistalit? Aku bertanya padamu," ujar Gosha. "Mungkin aku bisa menolongmu."

Nami menatapnya sejenak.

"Apa yang Tuan ingin ketahui?" gadis itu bertanya lemah.

"Bagaimana caramu membunuh Vasuki," Gosha mengulang.

Nami menggosok hidungnya.

"Hanya pertempuran biasa...kami terbiasa bertahan hidup...senjata apapun yang ada pada kami...ahya, kami melumuri senjata dengan racun Kuncup Bunga. Racun lebah ara....pokoknya, racun-racun Akasha yang ada...," ucap Nami terbata.

Gosha menahan napas.

Pikirannya bekerja.

Bagaimanapun, para Nistalit yang ada di hadapannya dan terkurung dalam penjara adalah para budak tak berharga. Tapi, tanpa kesaktian Akasha dan senjata Pasyu, mereka mampu bertahan sejauh ini. Bagaimana jika mereka diberikan sedikit senjata dan keahlian? Bahkan dengan tangan terikat, perempuan Nistalit itu masih bisa melempar senjata!

"Siapa namamu, Nistalit?" tanya Gosha.

Nami melengak.

Memiringkan kepala, tak percaya. Akasha dan Pasyu tak pernah meminta nama mereka. Selama ini mereka hanya diberi panggilan Nistalit - gabungan dari nista dan alit. Hina dan kecil. Nistalit lelaki, nistalit perempuan. Di mata Akasha dan Pasyu, Nistalit tak punya sebutan lain kecuali sebagai budak.

"Kau pasti punya nama," Gosha menatap Nami lurus. "Setiap Akasha dan Pasyu pun memiliki nama."

Nami merasa asing dan kecil saat menyebutkan namanya.

"Nami?" Gosha mengangguk. "Namamu mirip putri Akasha Wanawa, Putri Yami."

Nami mencoba tersenyum.

"...dan, nama Tuan sendiri?"

"Gosha."

Nami membuka mulut, tak percaya. Sudah diduganya, sosok yang tampak sangat akrab dengan Milind pasti bukan prajurit sembarangan.

"Tuan adalah...Panglima Gosha?"

Gosha tersenyum, mengulurkan sebutir kecil kristal.

"Cobalah ini pada temanmu. Kristal Aswa kami, dikenal hebat menyembuhkan luka. Aku akan bicara dengan Milind terkait kalian," Gosha berkata sebelum beranjak pergi.

❄💫❄


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C112
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login