Download App

Chapter 113: ●Langkah Nami (10)

"Nami namanya," Gosha melaporkan.

Milind, yang tampak sibuk berperang dengan kecamuk benaknya sendiri tak menanggapi. Apa yang harus dilakukannya ketika keadaan saling bersilangan, berhadap-hadapan, masing-masing punya kepentingan?

"Kau tak akan menyerahkan Nami dan kelompoknya, bukan?" Gosha bertanya. "Maksudku, menyerahkan mereka pada Vasuki dan Giriya."

Milind menarik napas panjang dengan berat.

"Kalau menyerahkan Nistalit mendapatkan imbalan mantra pembuka pusaka; kita sudah tahu jawabannya, Gosha," tegas Milind.

Gosha menatap Milind tajam.

"Siapa yang menjanjikanmu itu?" tanya Gosha penuh selidik. "Giriya? Vasuki?"

Milind terdiam.

"Demi Kebaikan Abadi, Milind! Jangan pernah tertipu Vasuki!"

Milind menatap Gosha tajam.

"Kau boleh tak suka pada Nami dan Nistalit yang bersamanya," saran Gosha. "Tapi, menukar Nistalit dengan Vasuki kali ini, aku rasa kurang tepat. Seperti katamu tempo hari, kita mungkin butuh pasukan tambahan."

Walau Milind memiliki pemikiran berbeda, ia tak ingin perpecahan mewarnai hubungannya dengan Gosha.

"Bicaralah dengan Nami," saran Gosha, sesaat sebelum ia undur kembali ke Aswa. "Aku akan segera mengirimkan pesan kepadamu setelah mengetahui pergerakan terkini Gelombang Hitam."

❄💫❄

Nami.

Jadi gadis Nistalit itu bernama Nami. Gadis kurang ajar yang menyobek jubahnya, melemparinya dengan gigi batu, mencaci makinya pula! Gadis yang sudah membuat Milind dan Gosha berbeda pendapat.

Milind dapat melihat kilatan di mata Gosha. Kehadiran para Nistalit dan Nami, tentu, membakar gairah dendam Gosha yang sempat kehilangan muka di hadapan para prajurit Akasha dan Pasyu. Bahkan hingga kini, Raja Shunka masih beranggapan bahwa Gosha menanggung sebagian kesalahan akan keputusan Ratu Laira. Setiap kali melihat Milind dan Akasha Wanawa, menatap keseluruhan Aswa yang terancam kacau ; pastilah ingatan Gosha tertuju pada Vasuki, terutama Raja Tala. Kehadiran Nami melepaskan sedikit beban kebencian Gosha.

Malam hari, ketika senandung para penyanyi dan petikan pemain musik mengalun di dahan-dahan pohon, Milind tak dapat memicingkan mata. Ingatannya pada Wanawa, Aswa, keseluruhan Akasha dan Pasyu membebani pikiran. Perkataan Gosha menambah jumlah hal-hal yang harus dipertimbangkan. Belum lagi kehadiran gerombolan Nistalit di Girimba.

Nami?

Kepala mendadak pusing. Telinga berdenging. Satu nama itu membuatnya menegakkan badan. Bangkit dari peraduan dan langkah kaki seolah menuju ke satu titik sesuai arahan Gosha.

"Bicaralah pada Nami."

Milind menarik napas panjang.

Ia perlu menenangkan diri dan pikiran, sesaat sebelum tiba di penjara ujung, tempat khusus tawanan berbahaya. Para prajurit bersiaga penuh, memberi hormat dan memberikan jalan ketika Milind tiba.

Nami tengah menyandarkan tubuh.

Tak jauh dari tempatnya, Dupa tertidur. Tubuhnya meringkuk. Sesekali, Nami menepuk-nepuk lembut punggungnya ketika pemuda itu mengigau akibat demam tinggi.

Nnnnggggg. Mmmmmmmhhh.

Erangan panjang Dupa dalam igauannya yang kacau.

"Ssssh, tenanglah. Aku di sini, menjagamu," bisik lembut suara Nami.

"Berikan dia selimut," Milind memerintahkan.

Sepasang selimut tersedia, hanya dengan mantra si prajurit penjaga. Cepat Nami mengambilnya. Dua selimut yang langsung ia gunakan seluruhnya untuk melindungi tubuh Dupa.

"Dia sudah membaik?" Milind bertanya.

"Ya," ujar Nami. "Panglima Gosha memberikan kami kristal Aswa."

Nami memberikan penekanan pada kata 'panglima'.

Hening.

Hanya dengkuran halus dan igauan Dupa terdengar. Sesekali Nami menepuk punggungnya, menyeka keringat di dahi.

"Apa yang kau lakukan di Girimba?" tanya Milind kembali.

Nami terdiam.

Menarik napas.

Seolah tak menanggapi.

"Jawab, Nami!"

Tersentak.

Mengangkat wajah. Bersirobok pandang. Nami seketika menunduk sembari menggigit bibir. Apakah akan ia katakan yang sebenarnya? Atau lebih baik berbohong? Apakah Milind akan membantunya seperti Gosha?

"Baik," Milind berkata tenang. "Kalau kau tak mau berterus terang, esok pasukanku akan mengantarkan kalian ke tepi Girimba. Berbatasan dengan gua kediaman para pangeran putra Ratu Gayi."

Milind membalikkan badan.

Melangkah menjauh.

"Kami tidak tahu kalau itu istana pangeran Vasuki," teriak Nami tertahan. "Hamba... tak bermaksud membunuh mereka."

Milind menghentikan langkah. Berbalik kembali.

"Kau tahu apa yang telah kau lakukan?" tandas Milind. "Nistalit membunuh Akasha atau Pasyu adalah kejahatan besar. Yang kau bunuh adalah seorang pangeran! Kau harus bersiap untuk mati."

Nami menatap Milind.

"Mati?" bisik Nami, tertawa pelan. "Kami, Nistalit, setiap hari bersiap untuk mati. Pagi kami bekerja, sadar usia mungkin tak sampai senja. Malam kami tidur sekedarnya, sadar usia pagi hari boleh jadi sudah tak ada."

Milind menatap gadis di depannya.

"Kami bisa mati oleh Pasyu Vasuki," Nami berkata. "Kami bisa mati oleh Akasha Giriya, atau oleh Akasha Wanawa."

Nami terdiam, menghela napas.

"Kau berani bicara seperti ini kepada Rakash?" Milind menyipitkan mata, setengah mengejek.

Nami menggeleng dan berkata, "tidak, Panglima. Kami terlalu takut bicara pada Panglima Rakash banna Giriya. Tapi ternyata, takut atau berani, kami sama-sama mati."

Milind menatap tajam gadis di depannya.

"Lepas dari Giriya, kami sadar. Kami mungkin mati di manapun. Tapi, siapapun yang memburu kami, atau menindas; kami akan berjuang habis-habisan," tandas Nami.

Milind menghela napas sembari berujar, "Gosha menyuruhku bicara denganmu."

Alis Nami naik.

"Kupikir, tak ada gunanya berbicara denganmu, Nistalit," Milind berkata tenang. "Esok, kau akan tahu apa keputusanku."

Milind menghentikan perbincangan. Ia membalikkan badan, sepenuhnya menjauhi penjara.

"Panglima!" Nami memukul-mukul jeruji kayu. "Panglima Milind!! Lepaskan aku saja! Biarkan semua teman-teman Nistalitku menyebrang hingga Gangika!!"

Gangika? Batin Milind, menghentikan langkah sejenak.

"Panglima!!"

❄💫❄

Milind terbangun.

Tubuhnya mengejang. Rasa sakit menyiksa ujung rambut hingga telapak kaki. Ia telah mendapat pertolongan terbaik dari Aswa dan Wanawa, tapi mengapa bekas tombak Gosha sesekali terasa demikian menyakitkan? Ratu Laira telah memberi umur panjangnya. Kubah pelindung Aswa telah mengobatinya. Apakah ia akan mati cepat seperti...Nistalit?

Tangan Milind meraba bekas lukanya yang berdenyut. Ia menarik napas panjang. Bersemedi memusatkan pikiran. Mantra Akasha berjalan menelusuri pembuluh darah. Bisikan mantra putri Yami dan putri Nisha, membantunya untuk jatuh terlena lagi.

Milind tertidur tenang, dalam buaian senandung para pemusik dan penyanyi Akasha Wanawa.

Ia terbangun dini hari.

"Panglima! Lepaskan aku ke Girimba. Biarkan teman-teman Nistalitku pergi menuju Gangika!!"

Suara itu bertalu di kepalanya.

❄💫❄


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C113
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login