Download App

Chapter 121: Kesalahan Silva (6)

"Kita ke mana?"

"Kamu mau apa?"

Pertanyaan dan perhatian semu itu hanya menyenangkan pada awalnya. Semakin terasa kepalsuan yang bertumpuk dari hari ke hari, semakin melelahkan. Tak ada yang dapat dilakukan untuk menghibur rasa bersalah. Berjalan-jalan, menelusuri kota, menghabiskan uang. Melakukan hal-hal tak masuk akal yang sebetulnya berbahaya bila bertemu orang-orang yang tengah punya masalah.

Tapi cewek kadang tak peduli saat  menghamburkan uang. Tak menyadari berpasang mata menatap aneh, penuh pertanyaan. Kemungkinan iri, atau ingin merampas.

Belanja. Belanja. Belanja.

Baju. Pakaian dalam. Sepatu. Asesoris. Kosmetik. Pernak pernik.

Gesek. Gesek. Gesek. Tinggal gesek lagi.

Bertas-tas barang belanjaan tak penting bertumpuk di kursi belakang mobil. Semakin belanja, semakin menggesek, rasa kemenangan tumbuh. Rasa berkuasa mengembang. Rasa telah mengalahkan sesuatu. Rasa menyembunyikan ketakutan, ingin menutupi kecemasan, melipat perasaan bersalah dan pikiran-pikiran tak menentu.

Silva belanja hingga kartu geseknya menjerit.

Maaf, ada kesalahan.

Maaf, ada kesalahan.

Rendra menguntitnya ke manapun. Membawakan barang belanjaan. Memenuhi keinginannya.

"Kita ke mana?" Rendra bertanya.

Pertanyaan seragam, entah kali ke berapa, ketika mereka telah duduk kembali di dalam mobil.

Silva tersenyum lebar, namun matanya dipenuhi sungai. Rendra tampak menyayanginya. Rendra ada di sini, bersamanya. Tak terlempar suara bentakan, teriakan atau cacian. Namun, kebersamaan ini seperti permukaan imitasi yang siap merekah sewaktu-waktu. Apa yang akan terjadi jika Rendra tetiba sadar?

"Kita ke mana?" Rendra seperti robot AI –artificial intelligence,  dengan tombol rusak.

Silva menatapnya penuh kemarahan terpendam. Di ujung matanya, barang-barang berkilau bertumpuk di kursi belakang. Hanya butuh tiga jam untuk membelanjakan uang tak karuan. Tapi bukan itu yang menjadi sumber kebahagiaannya.

"Kita…"

"Casablanca!" teriak Silva marah.

Rendra terdiam.

"Kita ke Casablanca!!!" teriak Silva lebih keras, penuh amarah dan tangisan.

Menyedihkan sekali, ejek benak Silva pada dirinya sendiri. Di dunia selua sini, ia hanya punya dua tempat untuk disebutkan : Javadiva dan Casablanca.

 

🔅🔆🔅

Prangggg.

Kraaaaanng.

Kreeeek.

Suara retak spion dan kaca mobil.

Silva menjerit. Rendra menyumpah.

Kaca mobil pecah berantakan. Orang-orang bertubuh kekar di luar menghunus balok kayu.

"Dia yang punya proyek?"

"Ya. Dia. Rendra namanya! Aku sudah kuntit beberapa hari ini!"

"Kamu gak salah orang?"

"Gak! Aku kenal banget! Ya…ya! Itu orangnya!"

"Tarik! Tarik ke luar!"

"Ada cewek di sampingnya!"

"Tarik aja semua! Hajar!"

"Ha! Mereka habis belanja. Hahaha…liat? Barang belanjaan di belakang mobilnya??"

"Bwah! Habis berapa ini? Buat bayar kita gak ada!"

Pintu dirusak, dibongkar paksa.

Beberapa tubuh menarik paksa Silva dan Rendra ke luar. Gadis itu menjerit-jerit.

"Heeeh? Kamu Pak Rendra? Dari perusahaan properti Golden Stones? Ingat gak...janji mau bayar karyawan tanggal berapa?! "

"Bagian admin bilang, kalian kehabisan duit. Gaji karyawan-karyawan gak dibayar. Kami ini buruh! Makan dari uang harian! Anak istri kami gak makan, tahu!"

Rendra terdiam. Berdiri mematung.

"Heh, jangan diam aja! Jawab! Seperti kalau kamu ngumbar janji-janji!"

Orang bertubuh kekar, yang paling senior, berusaha menguasai keadaan.

"Pak Rendra! Kami nggak akan berbuat kekerasan kalau Bapak gak ingkar janji! Kami gak nuntut apa-apa selain gaji!"

"Udah, Pak Gatot! Orang kayak gitu sesekali harus dihajar! Dia kelamaan hidup di luar negeri! Gak ngerti susahnya kerja di negeri sendiri!!"

"Bisa-bisanya belanja banyak barang! Tapi gaji buruh gak dibayar!"

Bukk.

Bukk.

Buukkk.

"Mas Rendraaa!!" Silva berteriak ketakutan.

Seseorang mencengkram bahunya.

"Kamu siapa, heh? Adiknya? Atau pacarnya???" bentak seseorang yang dipanggil Gatot.

Silva bergetar hebat, "…saya…adiknya! Pak! Jangan pukul saya!"

Gatot menahan diri. Ia menarik napas dengan gusar.

"Saya bukan orang jahat!" bentaknya.

"Jangan…jangan pukul…Mas Rendra…," Silva memohon.

Bukk.

Bukk.

Bukk.

Dugg.

Silva memburu Rednra.

Beberapa satpan terlihat ingin melerai. Gatot dan rombongan menghadang, mengatakan bahwa tak perlu ada pihak berwajib turut campur. Peristiwa itu hanya murni perseteruan buruh dan majikan yang bersumber dari gaji yang lama tak dibayar.

"Mas Rendra…bangun…Mas kenapa diem aja? Mas bisa ngelawan kan…," Silva berbisik. Panik. Ketakutan. Tak percaya pada kejadian tetiba yang menyerang mereka.

Terbayang di benak Silva.

Rendra mampu menghadapi Vlad dan Cristoph. Mengapa berhadapan dengan buruh yang hanya mengandalkan otot dan kemampuan menyumpah, Rendra sama sekali bergeming? Apakah ia benar-benar tak mampu memutuskan sesuatu?

Bukk.

 Duuggg.

Rendra jatuh, berlutut. Mulutnya berdarah. Lubang hidungnya mengeluarkan cairan kemerahan. Bagai kantong pasir yang menjadi sasaran, ia hanya berdiam membisu mendapatkan pukulan dan tendangan.

Silva mencoba menerobos. Menangis. Berteriak. Tapi hanya mendapatkan kekerasan yang sama dari orang yang sudah membabi buta kelaparan. Ia mencoba meraba cincin peraknya. Mengapa tak bisa selincah seperti ketika berhadapan dengan Vlad dan Cristoph? Mengapa kekuatan perak seperti yang diucapkan Salaka dan Candina, sekarang seperti hanya omong kosong belaka? Ia tak bisa membela Rendra, atau dirinya sendiri!

Silva mencoba memeluk Rendra.

Berpikir.

Berpikir.

Berpikir!

Wajah Vlad terlintas.

Artefak perak. Perjanjian mereka.

Silva memeluk Rendra kuat-kuat. Tubuhnya ikut sakit menerima pukulan.

"Sudah! Sudah!" sebuah suara menghentikan. "Kalau dia terluka, malah kita gak akan dapat gaji!"

Silva menangis. Rasa sakit dan kebingungan tak dapat diuraikan.

Berpikir, Silva! Teriak kepalanya. Atau kau mau mati bersama Rendra di sini?

Vlad.

Vlad.

Artefak perak, perjanjian mereka.

Silva memejamkan mata. Digigitnya bibir kuat-kuat.

Beberapa orang masih melancarkan pukulan dan tendangan putus asa.

Ya, mungkin mereka marah karena Rendra menghilang tiba-tiba. Tak pernah ada kabar. Tak pernah ada kejelasan. Sementara proyek terus berjalan dan investor pun menagih kejelasan. Rendra menghilang sekian lama sejak pertarungan dengan para pangeran Eropa. Rendra menghilang selama entah berapa hari, menguntit Silva. Rendra menghilang selam tinggal di Casablanca. Silva mencoba mengurai, mengapa orang-orang penuh kemarahan itu muncul begitu saja dari perut bumi. O, mungkin mereka yang bekerja pada Rendra dan keadaan tak dapat berjalan mulus ketika Rendra menghilang.

Vlad.

Artefak perak. Perjanjian antara Silva dan sang pangeran Eropa.

Sebutir air jauh di ujung mata.

Sudah waktunya mengakhiri peristiwa palsu yang penuh kebahagiaan. Toh, ia cukup menikmati hari-hari yang menentramkan bersama Rendra. Silva memeluk Rendra. Mengangkat jemari yang tersemat cincin perak di sana, menyentuh wajah Rendra dan mengusapkan tiga kali.

Hal terakhir yang diingat Silva adalah, ia merasakan tangan Rendra membalas pelukannya untuk beberapa saat.

 

🔅🔆🔅

 

 


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C121
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login