Download App

Chapter 123: Kesalahan Silva (8)

Silva ingat kisah nabi Yusuf, saat Rendra mengantarkannya ke Javadiva untuk bertemu bu Santi dan melewati sekian banyak gadis-gadis. Sebagian tersandung, sebagian tersedak saat menikmati minuman. Sebagian berhenti berbicara saat tengah bergosip. Yang pasti, berpasang mata menguntit. Berapa banyak makhluk di muka bumi ini yang memiliki paras rupawan dan memberikan kesan memikat bagi yang memandang? Selain Salaka, harus diakui Rendra memang punya daya tarik yang mampu membungkam orang, hanya dengan bertatapan saja; pikir Silva murung. Bila Rendra berseberangan dengan dirinya, habislah ia.

Bu Santi, tak kalah gugupnya menerima Rendra.

Padahal dulu mereka pernah berjumpa, pikir Silva. Tapi saat itu, Rendra dipenuhi kemarahan. Apakah ketika ia lebih tenang seperti ini, aura pesona lebih terpancar? Di ruang bu Santi, Rendra menyampaikan maksud kedatangan. Silva teronggok di sebelahnya, bagai terdakwa menunggu masa potong tahanan.

"Sekarang, saya yang bertanggung jawab sepenuhnya atas Silva," Rendra berkata.

Bu Santi memperbaiki poni. Pulpen di genggamannya terjatuh.

Rendra memungutnya, memberikannya kembali. Poni di wajah bu Santi, kembali dibenahi. Jelas wanita itu terlihat makin gugup.

"Ya...terimakasih atas kedatangan Mas…ohya, maaf, Pak siapa?" bu Santi tergeragap.

Rendra mengucapkan nama.

"Silva ketinggalan banyak pelajaran," bu Santi melempar senyum manis ke arah Silva. "Tapi saya rasa masih bisa dikejar. Lagipula, sekolah ini memang tak mematok angka akademis. Kami menekankan pada proyek-proyek siswa."

Rendra mengangguk.

Bu Santi menjelaskan tentang pameran seni literasi yang sedang berjalan di Javadiva, bekerja sama dengan berbagai penerbit dan studio animasi. Beberapa siswa bekerja sama antar mereka sendiri untuk membuka galeri dan menawarkan karya.

"Sonna membuat 'storyboard'," bu Santi melirik ke arah Silva, "Bhumi dan Rasi membuat komiknya."

Silva menelan ludah. Berapa lama sudah ia mengabaikan studinya di Javadiva?

"Salaka dan Candina juga membuat karya gabungan," bu Santi menatap lurus ke arah Silva. "Kamu pasti kenal mereka kan, Silva?"

Silva menelan ludah.

Percakapan antar Rendra dan bu Santi berjalan lancar. Kadang diselingi tawa kecil, kadang basa basi yang terdengar memerahkan telinga Silva. Apakah keadaan berbalik lebih baik baginya? Atau sebetulnya, masa yang lebih suram tengah menunggu antrian untuk mengambil haknya atas Silva?

Rendra menutup kunjungan itu dengan pesan.

"Kalau bu Santi ada yang ingin disampaikan terkait Silva, tak perlu mengontak bu Candra, ibu saya," Rendra terdengar sangat bermurah hati. "Sampaikan langsung kepada saya. Saya walinya, akan merespon segera."

Bu Santi membelalakkan mata, mengiyakan serta merta.

Terlihat girang saat mencatat nomer telepon Rendra.

Di pintu ke luar, Rendra berbalik. Berhadapan langsung dengan Silva.

"Baik-baik sekolah, Silva," ujarnya jelas. Tangannya terlihat penuh kasih sayang –entah jujur atau kamuflase– mengusap kepala gadis itu, "…jangan bikin masalah. Atau kamu bakal menyesal nanti."

Rendra tersenyum.

Senyum paling dingin yang pernah dilihat Silva.

🔅🔆🔅

Udara licin oleh gerimis yang turun sejak malam.

Pagi dingin tanpa matahari.

Burung-burung tampak bergegas menjemput pembagian rezeki, namun hanya setengah jalan, mereka kembali pulang menuju dahan-dahan. Cuaca seperti ini melucuti semangat untuk bersegera. Kasur memiliki magnet kuat untuk tak ditinggalkan walau jarum jam sudah menunjuk angka tujuh.

Silva terbangun dengan kepala berat.

Sonna telah rapi dengan bajunya dan perlengkapan pameran. Wajahnya terlihat cemas.

"Kamu tadi bangun jam lima terus tidur lagi," gumam Sonna, memandang sejenak ke arah Silva.

Sonna berdiri tegak di sisi jendela yang berembun.

Dari dalam kamar, Javadiva menampakkan pemandangan elok. Sekolah yang berdiri di atas lahan perbukitan itu selalu diliputi kabut pagi hari. Pemandangan menakjubkan menyambut para siswa untuk lebih jernih berpikir. Pagi ini, tidak seperti biasa.

Kelabu.

Makin tebal.

Pekat.

Makin menggelap.

Sebagian nuansa biru dan putih yang biasa mewarnai langit, beralih rupa sepenuhnya menuju legam yang mencemaskan. Permukaan gulungan demi gulungan di angkasa tidaklah rata. Di beberapa titik, seperti membentuk sirkuit tebal berlapis, tampak kusam dan getir oleh pancaroba. Hari seharusnya cerah, warna keruh langit seperti meredupkan apapun yang bernama hidup di permukaan bumi.

"Dari kemarin sore hujan gak berhenti," keluh Sonna. "Acara kita hari ini bisa gagal."

Silva terdiam. Matanya tertumbuk pada panorama alam yang mengitari Javadiva.

Langit tampak penuh beban, bagai perempuan tua memikul bakul* di punggung, penuh berisi arang. Sesekali gemerlap lampu raksasa berpijar, memberi kabar di antara gumpalan awan. Cahaya matahari tertelan jelaga cuaca yang menolak berbagi kekuasaan.

Gelap.

Semakin gelap.

Bertambah gelap.

Silva memutuskan mandi segera, sebelum udara dingin membuatnya semakin enggan bersentuhan dengan air.

"Udah sarapan?" Silva bertanya, usai mandi cepat dan berpakaian.

"Cateringmu sudah dingin," Sonna menyahut, tak menjawab tepat.

Belum sempat suapan kedua masuk, pintu kamar mereka digedor kencang. Candina berdiri di sana, pucat dan panik. Matanya terbelalak memandang Silva dan beralih ke Sonna.

"Kita ke Dahayu," Candina berujar.

Silva meletakkan sendoknya. Ia menutup boks makanan dengan segera.

"Sekarang?" tanya Silva.

Candina menahan napas, menatap Silva penuh beban.

"Sekarang," jawab Candina, ke arah Sonna.

Sonna mengangguk. Silva meraih cardigan-nya.

"Silva," Candina berkata pelan, "…aku hanya mengajak Sonna."

Langkah Silva tertahan. Telinga dan isi kepalanya tak cepat berkolaborasi. Melihat Sonna dan Candina bergegas, ia pun bersegera mengikuti.

Candina menggeleng kuat.

"Kamu tidak ikut, Silva," Candina menegaskan.

Candina dan Sonna berdiri di depan pintu, seolah memberikan penghalang pada Silva untuk bergerak lebih lanjut.

"Maksudmu…apa?" Silva tak mengerti.

"Kamu tidak harus ke Dahayu," Sonna memberikan pendapat, berusaha lebih menjelaskan.

"Tapi aku mau bergabung dan membantu apa yang aku bisa," Silva menyahut.

Sonna menatap Candina, memohon agar segalanya dapat dijelaskan jernih.

"Salaka tidak mengizinkanmu ikut kali ini," Candina menggaris bawahi perkataannya. "Kamu bukan lagi bagian dari prajurit perak. Kamu sudah berkhianat."

Mulut Silva membuka.

Alis matanya naik.

"K-kamu bilang apa, Candina?" Silva masih ragu dengan kesimpulan benaknya sendiri. Jadi, apakah ia telah ditendang keluar dari lingkaran Salaka? Apakah Candina dan Sonna punya kesepakatan yang tak diketahuinya? Seluruh kulit Silva bagai dibalur butiran salju.

Silva, menyentuh lengan Sonna.

Sonna tersenyum samar, penuh paksaan. Jemarinya meremas telapak tangan Silva, berusaha memberikan penguatan.

"Sonna…kenapa dia ikut ke…Dahayu?" suara Silva melengking lirih.

"Sonna menggantikanmu, Silva. Dia prajurit perak yang berikutnya," Candina menutup perbincangan.

Menarik cepat Sonna pergi, melaju kencang menuju Dahayu. Meninggalkan Silva yang tenggelam dalam pertanyaan, rasa bersalah dan kekecewaan yang tak dapat dijabarkan.

Badai menggumpal di kaki langit.

Warna hitam seperti menggulung apapun sebentar lagi.

🔅🔆🔅


CREATORS' THOUGHTS
lux_aeterna2022 lux_aeterna2022

Give your support for Silva :'(

Love~

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C123
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login