Download App

Chapter 125: ●Gelombang Hitam (2) : Vanantara dan Milind

Raja Vanantara banna Wanawa menyambut Milind di balairung Kanana, tempat pertemuan utama kerajaan. Para pejabat dan petinggi hadir di sana, wajah-wajah tegang nan muram tampak. Seluruhnya mengenakan pakaian sewarna dedaunan, rambut digulung ke atas tanda pertemuan resmi. Ikat kepala dengan berbagai simbol yang menunjukkan tingkat kepandaian serta kedudukan. Setiap yang hadir mengenakan jubah hijau bersulam, menandakan peristiwa penting sedang dihelat.

Sang raja, mengenakan mahkota zamrud bersimbol daun. Jubah hijau tuanya bersulam lambang pohon istimewa Jati Kalingga Lima, pohon perkasa dan kuat dengan lima cabang yang menunjukkan luasnya kekuasaan Vanantara. Milind, tak menyangka akan mendapatkan sambutan seperti itu ketika kunjungan singkatnya hanyalah berisi izin berpamitan.

"Selalu bangga setiap melihatmu, Milind banna Wanawa," Vanantara berucap, menepuk bahu panglimanya yang setia.

Milind memberikan salam kepada seluruh hadirin, mengawali dan menutupnya dengan hormat tertinggi bagi Vanantara.

"Kami akan mengantarkanmu dengan segenap mantra yang kami punya," Vanantara berkata, "tapi ada yang akan kusampaikan kepadamu. Berdua saja."

❄️💫❄️

Tepi luar aula Kanana, selasar luas dan panjang yang dibangun dari jalinan dahan-dahan pohon yang saling terangkai membentuk lantai indah kecoklatan. Di bawah mereka, air terjun jernih mengalir. Suara tetesan, deras laju aliran, dentuman air menumbuk batu, percik dan riak permukaan kolam; adalah irama syahdu yang membelai pendengaran menyatu bersama kenangan.

Berseberangan dengan aula Kanana, bilik Ratu Varesha terlihat. Dua tempat inilah yang menjadi denyut kehidupan Vanantara, selain kesibukannya mengunjungi rakyat dan melakukan pertemuan dengan para pejabat istana. Vanantara mengucapkan mantra, dinding yang membatasi dirinya dan Milind dengan dunia luar.

"Ada banyak rahasia yang kusimpan sebagai raja, Milind," ujarnya jernih, walau berat diiringi tarikan napas panjang. "Banyak yang ingin kubagikan kepadamu, tapi tak semua bisa kuceritakan."

Milind menatap rajanya dengan pandangan iba.

"Kau pasti beranggapan aku raja yang lemah, bukan?" Vanantara berujar tersenyum, menatap ke arah Milind.

Milind menaikkan alis, membungkukkan badan, menyatukan dua tangan di depan kepala dan dada.

"Terkutuklah hamba bila berpikir demikian, Paduka," Milind menolak anggapan itu.

"Ya," Vanantara menggumam, menatap sekeliling kerajaannya yang hijau. "Seringkali aku berpikir, panglima hebat sepertimu seharusnya memiliki raja seperti Tala hal Vasuki. Kalian pasti akan menjadi pasangan raja dan panglima yang luarbiasa hebat."

Milind semakin menundukkan tubuhnya, memberi hormat yang makin dalam, saat ia tak mengerti dengan jalan pikiran Vanantara.

"Tak usah sungkan padaku," Vanantara berkata, "bukan salahmu atas perkataanku tadi. Setiap kali menatapmu, aku selalu merasa lemah dan bersalah."

"Paduka!" Milind semakin merasa tak nyaman. "Kami bangga memiliki raja seperti Paduka. Raja Vanantara yang bijak dan selalu ada untuk rakyatnya."

"Begitu, ya," Vanantara mengangguk. "Apakah menurutmu, aku raja pemberani ketika memindahkan putri-putriku ke Girimba?"

"Itu keputusan wajar ketika kerajaan terancam bahaya," Milind menegaskan. "Paduka ingin melindungi para putri dan…"

"Atau aku tak bisa melindungi putri-putriku," potong Vanantara, "…juga kerajaanku."

Milind menarik napas panjang.

Vanantara menyembunyikan kedua tangan di belakang jubahnya. Ia menatap langit, awan, burung-burung. Mendengarkan suara angin dan gemericik air di kejauhan. Berjalan menjauhi sang panglima. Walau kakinya melangkah ke luar selasar aula Kanana, mantra kerajaan membentuk jalan setapak yang menjadi alas pijak Vanantara.

"Aku menambahi beban pikiranmu saja," tutur Vanantara pada akhirnya.

Milind hanya menarik napas, tak menjawab. Tampak jelas, Vanantara tengah resah dan gundah menghadapi masa depan kerajaannya atas ancaman Mandhakarma. Mungkin, sang raja ingin berbagi perasaan yang berat dipikul sendirian. Apalagi, kedua putrinya telah menjauh ke Girimba. Walau mereka masih dapat bertemu sesering mungkin dengan menunggang angin, Giriwana dan Girimba jelas dipisahkan oleh kerajaan Akasha Giriya yang saat ini tidak bersahabat dengan Wanawa.

"Milind," panggil Vanantara.

"Hamba, Paduka."

"Kau pernah bermimpi?"

Milind mengangkat wajah, menatap Vanantara sejenak sebelum tersenyum simpul.

"Hamba tentu malu menceritakan mimpi-mimpi hamba pada Paduka," pelan suara Milind terdengar.

"Mulai sekarang, jangan abaikan mimpi-mimpimu," pesan Vanantara. "Itu yang kusesalkan terhadap Ratu Varesha, dulu. Bagi seorang pemimpin sepertimu dan aku, setiap kejadian selalu punya makna besar. Mimpi-mimpimu boleh jadi bukan sekedar bunga tidur, tapi juga Isyarat Langit."

Milind mengangguk, mencermati setiap kata Vanantara.

Ia pernah bermimpi beberapa hal yang mengganggu, tapi apa maknanya, entahlah.

"Apa …kau akan menceritakan satu saja hal yang pernah ada dalam mimpimu?" pancing Vanantara.

Milind menarik napas panjang dan berat. Memejamkan mata sejenak. Bayangan hitam, hijau, cahaya dan gelap bertumpang tindih. Pohon, daun, matahari, awan, sosok-sosok yang tak dikenal.

"Hamba…beberapa kali bermimpi tentang pohon-pohon di Girimba. Sepasang Kapuk Randu yang menjadi gerbang," Miling bersuara pelan.

Wajah Vanantara terlihat pasi sesaat. Urat pelipisnya menegang, sebelum akhirnya ia mampu menenangkan diri. Vanantara mendekati Milind.

"Aku akan menceritakan sebuah rahasia penting Akasha Wanawa padamu, Milind," ia berkata tajam. "Begitu aku berbagi rahasia ini, maka wujud aslimu akan segera terlihat."

"Wujud…asli?" Milind tak mengerti.

"Ya," Vanantara tersenyum rahasia, "wujud aslimu sebagai sosokmu sendiri. Juga sebagai panglima Wanawa."

Milind beradu pandang dengan Vanantara, seolah ingin membelah kegelapan terselubung di sana.

"Kau siap, Panglima Wanawa?"

"Hamba masih tak mengerti," Milind bercakap jujur.

Vanantara melempar pandangan menelisik ke arah Milind, "akan terlihat sesudah ini, apakah kau berhati mulia atau sebetulnya, di balik keluhuran tersembunyi kekejaman yang terselimuti."

Milind menahan napas. Merasa tersudut, tertikam oleh kata-kata Vanantara. Sesuatu sering mengganggu benak kala hanya berteman kesendian dan kecamuk pikirannya sendiri. Apakah ia memang berhati tulus, berjiwa lapang dan luhur bersikap? Atau sesungguhnya…ia sangat berhati-hati menyembunyikan dendam dan kebencian?

Bagaimana mengungkapkannya pada Vanantara, bahwa terkadang, iapun takut pada dirinya sendiri? Milind tak sempat mengungkapkan perasaannya yang terdalam, bersamaan aliran kata-kata Vanantara yang berbagi rahasia Wanawa untuk mereka kunci berdua.

❄️💫❄️

"Milind, kalau kau melihatku lemah, sesungguhnya aku sedang bertarung dan menaklukan diriku sendiri. Semakin banyak yang kuketahui, semakin resah diriku. Semakin sadar betapa berkuasanya aku, semakin takut diriku akan masa depanku sendiri. Kekuatan Wanawa tidak hanya terbatas pada yang telah kau ketahui. Perisai sulur yang mahir dilakukan para hulubalang seperti Jawar dan Janur, sangat mudah pula kau lakukan. Kau, mampu membuat perisai yang lebih kuat dan lebih besar. Kau, mampu mengubah dirimu menjadi sebesar apapun musuhmu. Tapi tahukah kau, Milind? Lebih dari itu, Wanawa memegang kunci-kunci rahasia dunia Akasha dan Pasyu.

Selalu ada, satu pihak yang memegang banyak rahasia, seperti aku dan Tala. Kami adalah orang-orang yang resah, Milind. Tapi Tala melampiaskan ketakutannya dengan merusak. Aku? Aku lebih banyak merusak diriku sendiri dan orang-orang terdekatku, termasuk putri-putriku dan tentunya engkau, Panglimaku.

Milind, Wanawa mampu menciptakan mantra yang membangun perisai gabungan. Batu, sungai dan laut, juga hutan tentunya; berada di bawah kendalimu. Jangan lupa, Pasyu pun bisa kau taklukan dengan mantra dan perisai gabungan. Apakah kau sadar, betapa berkuasanya dirimu ketika kau mampu membuat perisai dahan dan batang, sekaligus menggabungkan racun Paksi dan Vasuki, lalu menggunakannya menggunakan kekuatan aliran Jaladhi dan Gangika?"

Milind menatap Vanantara.

Keduanya berpandangan dalam diam.

Vanantara memandang iba, penuh kasih dan rasa bersalah ke arah panglimanya. Ia telah berbagi beban di pundak. Sesuatu terasa sedikit ringan bagi Vanantara. Sesuatu yang mahadahsyat tampak membayang di wajah Milind.

❄️💫❄️


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C125
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login