Download App

Chapter 129: ●Gelombang Hitam (6) : Milind dan Para Nistalit

Jaladri banna Jaladhi naik pitam.

Kemarahan membutakan nalar.

Pasukan Akasha Jaladhi dan Pasyu Mina porak poranda. Tepian lautan terluar –gerbang Jaladhi – tempat pertemuan agung para pembesar wangsa saat pertukaran penjaga setiap tiga purnama; luluh lantak. Akasha, makhluk yang terbuat dari api keramat dan cahaya suci, mendapatkan anugerah usia ribuan tahun dari Penguasa Langit. Apakah semesta telah mengingkari janji dan mengirimkan Mandhakarma untuk memusnahkan seluruh wangsa Akasha dan Pasyu?

Jaladri, mengeluarkan tombak trisula, menunggang gelombang laut. Mengucapkan mantra pamungkas yang akan digunakannya untuk menggempur Mandhakarma.

Sebelum ia mengerahkan kekuatan paling dahsyat yang dimiliki, barisan putih cemerlang bagai berlapis-lapis selendang keperakan terlihat menyongsong. Bersama deretan hijau yang mengiringi, warna biru laut seakan tergantikan.

"Paduka Raja Jaladri banna Jaladhi!" teriakan lantang dan jernih membelah angin. "Biarkan kami maju!"

Pasukan Aswa Turangga, dengan Akasha Wanawa di atas punggung mereka, bergerak bagai gelombang pasang di tepian lautan.

"Baginda!" Milind berseru memberi hormat, menunggang angin, mendekati Jaladri. "Salam dari Raja Vanantara banna Wanawa dan Raja Shunka hal Aswa!"

"Panglima Milind?"

"Bantu kami dengan mantra Jaladhi sebagai jalan bagi para Turangga!"

Terbelalak, terkejut atas kehadiran sekutu tak terduga, kegembiraan dan harapan menyala seketika. Jaladri memberikan jalan bagi Pasyu Aswa pasukan Turangga dan Akasha Wanawa untuk begerak menyerang. Mantra Jaladri mengubah lautan menjadi pijakan kokoh bagi kaki-kaki Aswa.

Kembali menunggangi Turangga, Milind berkata kepada Jagra.

"Kau terjang dari daratan," perintah Milind, "aku dan pasukanku akan naik menyerang."

"Hati-hati, Wanawa!" teriak Jaladri.

Mandhakarma telah menerobos wilayah Jaladhi dan Gangika. Gelombangnya belum memasuki Wanawa, tapi siapapun was-was, sebentar lagi seluruh wangsa akan mengalami kerusakan yang sama.

"Janur, Jagra! Kalian serang Mandhakarma seperti rencana semula. Aku akan bergerak cepat mengelilinginya – atau mengitarinya, atau apapun untuk melihat apa dan siapa si keparat ini!"

Janur menunggang angin, membawa prajurit Wanawa. Jagra dan pasukannya membelah, sebagian tetap berujud Turangga sebagai tunggangan Aswa A-Pasyu yang akan menyerang. Milind menjauh dari pasukannya, mencoba naik setinggi mungkin. Mengukur berapa besar dan kuat Mandhakarma yang belum diketahui.

"Lebih tinggi dari benteng-benteng Aswa," pikir Milind. "Pasukanku dapat menunggang angin untuk mencapainya. Tapi apakah kekuatan kami tetap sama? Kulihat pertempuran Aswa tak menguntungkan. "

Milind bergerak cepat mengukur dari ujung satu ke ujung lain.

Selebar kekuasaan Jaladhi dan Gangika. Setinggi keberadaan Aswa. Sepanjang entah apa! Mandhakarma pasti punya kelemahan, tapi di mana?

Aaaarrrrrhhhh.

Eeeeaaarrrhhhkkk.

Raaaaangggt.

Raaangt.

Milind melihat pasukan Wanawa dan Aswa Turangga bertempur mati-matian. Seluruh medan wangsa berubah menjadi lahan pertarungan tak seimbang. Di angkasa, Aswa Sembrani berguguran. Di Gangika, pasukan Nadisu dan Kavra berjatuhan. Di lautan, pasukan Jaladri bertumbangan. Disusul pasukan Wanawa dan Aswa Turangga berjuang menahan laju Mandhakarma.

Barisan pertama pasukan Akasha Wanawa melempar tombak yang mampu membelah batu. Ribuan tombak meluncur deras ke arah Mandhakarma, tombak yang menunggang angin dengan kecepatan tinggi dan terselubung mantra kuat hingga kedahsyatannya berlipat ganda.

Sama seperti yang terjadi pada pasukan Akasha Jaladhi, Akasha Gangika dan Aswa Turangga. Seluruh serangan bagai cubitan kecil seorang anak yang merengek! Kehebatan pasukan wangsa yang selama ini menjadi buah bibir penghuni dunia, luluh lantak di depan Mandhakarma. Tak perlu waktu lama, nyanyian kematian menggantikan senandung para pemusik Wanawa di dahan-dahan pohon.

"Panglima Milind! Pasukan penombak banyak yang tewas!" Janur melaporkan dengan kepanikan dan ketegangan teramat sangat. "Tombak bukan hanya dihancurkan. Tapi juga dilontarkan kembali!"

Milind menggertakkan rahang. Tak menyangka pukulan kematian secepat angin, bahkan sepesat kedipan mata.

"Janur! Perkuat pertahanan dan lakukan serangan berhati-hati. Bila musuh tak menyerang, jangan kau mulai!"

"Baik, Panglima!" teriak Janur, diliputi pertanyaan dan kemarahan.

Milind bergerak kembali. Mengamati Mandhakarma dan serangan yang didapatkannya. Seluruh bagian tubuh serasa mendidih oleh amarah dan ledakan rasa ketakberdayaan. Apa yang dapat dilakukannya agar korban tak semakin berjatuhan dan Gelombang Hitam semakin berkuasa?

"Demi Penguasa Langit! Aku harus berpikir dan dapatkan jawaban!" Milind sesak bagai terhimpit dinding-dinding tak tampak. Isi pikirannya bagai membeku tak mampu bekerja.

Ia menarik napas berat. Meraba rambut panjangnya yang terikat, terasa lembut wangi cempaka terselip di sana. Satu, dua, sepuluh, seratus dan terus; pasukan-pasukan Akasha serta Pasyu bergerak gagah berani. Mencoba menahan laju. Melawan serangan musuh. Gelombang Hitam itu kadang mengkerut, lalu membuih memangsa. Membesar dan melahap. Ia, Mandhakarma, melumat senjata yang dilemparkan lalu melontarkan kembali.

Melontarkan kembali.

Melontarkan kembali.

"Janur!" Milind berteriak. "Jangan lagi lemparkan senjata!"

Janur terkesiap.

Milind mendekatinya.

"Aku melihat dia – atau mereka – melontarkan kembali senjata-senjata kita. Itu yang menyebabkan kematian begitu banyak! Tahan senjatamu, aku akan mengatakannya pada Jagra!"

"Bagaimana kita melumpuhkannya bila tidak menyerang dengan senjata?"

"Itu yang sedang kupikirkan!" Milind melesat menuju Jagra.

Berikutnya, ia harus secepat kilat memberitahukan Jaladri, Gosha dan Kavra agar tak melempar senjata demi menghambat serangan balik.

❄️💫❄️

"Kau lihat?"

"Ya, aku lihat, Nami!"

"Mereka menyerang prajurit Gangika yang tampak mabuk dan sempoyongan. Ada apa dengan pasukan Panglima Kavra?!"

"Lihat! Mereka kewalahan!"

"Kita harus membantu prajurit Gangika!" teriak Nami.

"Kau gila? Kita hanya Nistalit!"

"Apa kau mau mati? Mereka juga bisa membunuh kita!" bentak Nami. "Lagipula, tak ada salahnya membalas budi atas kebaikan Gangika!"

Benar-benar tak masuk akal.

Para Nistalit mendengar legenda kehebatan Akasha dan Pasyu. Apakah kehebatan itu menguap seiring waktu, hingga musuh dalam pakaian serba hitam leluasa menaklukan? Apakah usia Akasha dan Pasyu mendekati titik akhir hingga mereka tampak seperti laron-laron di sumber cahaya yang terhempas tiupan angin?

Tubuh-tubuh prajurit Gangika terhempas.

Lebih parah dari cambukan Kuncup Bunga.

"Mereka mulai memasuki Gangika di sungai maupun tepiannya. Mengapa Panglima Kavra dan Hulubalang Sin tak mampu?" Nami berpikir tegang.

Pasukan Hitam menggulung wilayah sungai dan tepian. Nistalit tak memiliki kemampuan bergerak di atas sungai. Namun di daratan tepian, bukan hal yang mustahil.

Eaaaargggh.

Aaaaarrrrgh.

Prajurit Gangika kewalahan menghadapi Pasukan Hitam yang menyerang tanpa ampun, bahkan menggunakan senjata lawan untuk menyerang balik.

"Nistalitttt!" teriak Sin. "Larilah kalian! Selamatkan diri!"

Hulubalang Sin terluka parah.

Nami berlari tergopoh, mendekatinya.

"Hulubalang??"

Sin mendekap luka-luka di tubuhnya yang berasap.

"Larilah!" terengah suara Sin.

"Aku akan menyelamatkanmu!"

"Kubilang larilah!"

Nami mendengar langkah-langkah kuat menghampiri. Ia mencoba meraih tubuh Sin dan menariknya.

"Demi Jagad Gangika! Larilah…!"

Suara teriakan-teriakan kesakitan. Gumaman kemenangan. Langkah yang makin mendekat. Nami menengadahkan kepala. Wajah-wajah menyeringai. Tangan-tangan yang terulur ke arah Sin untuk melumatnya.

"Hentikan!" Nami membentak.

Sin berteriak hebat. Matanya membelalak, menahan sakit tak terkira.

Clap.

Clap.

Clap.

Kapak bertali Nami menembus tubuh Pasukan Hitam.

Teriakan asing yang mengiris gendang telinga terlepas.

Trap. Trap.

Nami melemparkan tombak.

Kiiiierrrrkhhh.

Eeeeiiikh.

"Soma! Dupa! Suta!" teriak Nami geram dan senang. "Kau lihat?!"

"Ya!" sahut Dupa.

"Ayo, kita hadapi mereka!" seru Nami.

"Setelah Vasuki dan Giriya?" Dupa tersenyum lebar. "Aku rasa, kita akan mampu menghadapi yang ini!"

Nistalit, di bawah perintah Nami bergerak membantu pasukan Gangika.

Satu demi satu Pasukan Hitam tumbang. Cairan kehitaman meleleh dari luka-luka yang disebabkan lemparan senjata. Prajurit Gangika yang melihat ternganga tak percaya.

Bagaimana mungkin, Nistalit, kaum budak paling lemah di atas muka bumi mampu membunuh sosok atau sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh prajurit Akasha dan Pasyu?

❄️💫❄️


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C129
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login