Download App

Chapter 201: ●Jalan Kematian

Pasti ada jalan keluar, pikir Jagra tegang dan harap. Seberapapun parahnya masalah, pasti mempunyai celah. Seberapapun hebatnya musuh, pasti punya titik lemah.

Apa yang harus dilakukan?

Pasukan Wanawa tertembus kristal Aswa. Pasukan Turangga Aswa terluka oleh panah dan tombak Wanawa. Dampak kerusakan tubuh lebih parah dibandingkan jika Aswa terlempar kembali oleh kristalnya sendiri. Akasha memiliki kesaktian dan kekuatan untuk menyembuhkan, tapi bila kematian menghampiri, tak ada yang dapat menolak.

"Turanggaaa! Bertahaaannnn!!!" teriak Jagra.

Pasukan Turangga, sebagian berbentuk kuda pelari cepat dan sebagian berbentuk prajurit Apasyu, berusaha menepis serangan-serangan Mandhakarma dengan mengayunkan senjata serta perisai logam. Pada padang terbuka Girimba, gelombang putih berjuang keras menolak serangan. Kekuatan dan kecepatan Turangga Aswa yang mumpuni, mampu menghalau senjata-senjata Wanawa yang dikirimkan balik. Beruntung bagi Jagra dan pasukannya, senjata Wanawa sepertinya tak dilumuri racun. Dalam serangan sebelumnya, Mandhakarma telah menyimpan banyak senjata Aswa dari pasukan Saguna. Kesempatan yang dipergunakan untuk membasuh ujung-ujung kristal Aswa dengan racun Mandhakarma. Sangat mematikan ketika kristal beracun mengenai tubuh-tubuh prajurit Wanawa.

Melihat pasukannya bertumbangan, Janur murka.

Ia mengerahkan penunggang angin tercepat, bergerak lincah menghindari lemparan musuh, memainkan perisai dan pedang dengan sangat baik. Pasukan Wanawa yang sempat tunggang langgang, bersatu kembali di belakang punggung Janur, melihat sang hulubalang gagah berani di medan laga.

"Lindungi Turangga dari angkasa!" perintah Janur.

Hal yang sebaliknya juga diperintahkan Jagra.

"Bertahan dan lindungi Wanawa di daratan!"

Keadaan yang semula tampak tak menguntungkan, segera dapat dikuasai Jagra dan Janur. Walau ribuan gugur, mereka mampu menahan laju Gelombang Hitam Mandhakarma.

Peperangan berlangsung sengit dan dahsyat. Tak terlihat korban jatuh dari pihak Mandhakarma, sebab senjata-senjata Aswa dan Wanawa terlihat hanya menembus buih-buih gelombang berwarna hitam pekat. Senjata-senjata itu termakan dalam kegelapan, tak ketahuan apakah musuh mengalami korban jiwa. Seharusnya, jika mereka bisa mati, tidakkah mayat-mayat pasukan hitam meluncur ke permukaan bumi? Mengapa tak terlihat satupun pasukan hitam tewas? Sebaliknya, nyaris tak terhitung banyaknya pasukan Turangga dan Wanawa berguguran dari pemanah dan penombak.

Keteguhan dan ketangguhan Jagra serta Janur, setidaknya mampu menjadi dinding penahan kokoh bagi wilayah Akasha untuk tak terlibas lebih jauh oleh Gelombang Hitam.

"Mereka akan memasuki gerbang Giriwana!" teriak Janur.

"Buat mereka berhenti di Girimba, Janur!" teriak Jagra.

Wanawa Girimba dan Wanawa Giriwana, terpisah oleh wilayah sungai Gangika yang luas. Apakah Gangika akan membantu Wanawa kali ini, atau mereka tetap bersekongkol dengan Vasuki dan enggan menolong sekutu Akashanya sendiri?

"Panglima Jagra!" seru Janur. "Mereka tampaknya mereda sesaat. Senjata-senjata kristal mungkin habis di tangan mereka. Aku akan naik ke atas, ke gerbang Mandhakarma!"

"Hati-hati, Janur!"

Di sisi kanan Janur naik pula barisan pasukan penombak beserta perisai mereka. Di sisi kiri naik bersama pasukan pemanah beserta perisai. Tunggangan angin bergerak cepat, mengangkat tuan-tuan mereka menuju titik gerbang Mandhakarma.

"Kita akan masuk ke gerbangnya!" teriak Janur.

Berada di tempat terdepan, Janur membungkukkan badannya sedikit di balik perisai besar, berjaga terhadap serangan tiba-tiba.

"Penombak! Maju!" teriak Janur.

Tunggangan angin yang diperkuat mantra melaju cepat, menembus gerbang Mandhakarma yang seolah tampak kosong. Tombak Wanawa, senjata sepanjang lima hasta dengan ujung runcing yang diberkati mantra para pandhita, terbuat dari kayu-kayu jati. Ujung runcing diasah tipis dengan ukiran berbentuk daun yang mematikan bila menembus tubuh musuh.

Mendapati gerbang tampak kosong, Janur terhenyak sesaat.

Walau pandangannya tak menangkap gerakan, batinnya seolah merasa ratusan bahkan ribuan pasang mata mengawasi. Di mana sosok-sosok yang melemparkan senjata-senjata Aswa dan Wanawa?

"Mereka bukan musuh yang biasa, Janur," nasihat Milind. "Semakin mendekati Mandhakarma, semakin kau rasakan kekuatan kegelapan yang menyulut ketakutanmu. Menumbangkan keberanianmu. Jaga mata hatimu."

Janur menahan napas.

Perisai yang dimilikinya, bukan lempengan biasa. Bersama Milind, ia menempanya dalam semedi dan puasa. Berdua mereka mengucapkan mantra sembari mengukir permukaannya. Sekali lagi, Janur mengusap permukaan perisai dengan mantra Wanawa.

"Varkamaya!" *

Perisai itu memberikan bias cahaya terang.

Gerbang Mandhakarma masih tetap pekat, namun terlihat bagai kabut tersibak menampakkan berpasang mata mengintai yang siap dengan senjata.

"Lempar ke arah mereka!" teriak Janur.

Pasukan penombak bergerak cepat menunggang angin sembari melemparkan senjata yang bersinggungan langsung dengan senjata-senjata pasukan hitam.

Heaaaaaaahhh!

Pertempuran yang tampaknya berubah menjadi lebih kasat mata, lumayan menguntungkan pasukan Wanawa. Perisai Janur memberikan jalan bagi pasukan di belakangnya untuk bergerak tepat, menghincar, menyerang. Mereka terus bergerak maju, menembus ke dalam. Namun menembus pertahanan Mandhakarma tak semudah yang dibayangkan. Penombak berhasil menyapu bagian depan gerbang, jumlah yang gugur tetap banyak meski tak sedahsyat pertempuran sebelumnya.

Kematian Pasukan Hitam membuat harapan Janur dan pasukannya menyala.

Dinding hitam yang menghadang mereka tampak lebih gelap dan berlapis. Perisai Janur hanya lemah menerangi.

"Varkamaya adanu!" * Janur mengulang mantra, lebih kuat dari sebelumnya.

Kabut tersibak lebih terbuka.

"Penombak dan pemanah!" teriak Janur. "Majuuu!"

Dua gelombang pasukan Wanawa berjuang tangguh menghancurkan moncong lebih dalam gerbang Mandhakarma. Pertarungan lebih sengit. Wanawa dan Mandhakarma mengalami kehancuran yang sama. Lapis gerbang dalam hampir saja rusak oleh pasukan Janur, ketika satu sosok muncul mengejutkan.

Janur terkesiap.

Terkejut bukan kepalang.

Pasukannya sibuk bertarung, begitupun Janur. Namun kehadiran sosok tegap dengan mata tajam yang menyerangnya dengan telak, memiliki kekuatan dahsyat. Bukan hanya kekuatannya, raut muka dan bentuk tubuhnya membuat Janur kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Kelengahan sejenak yang membuat Janur kehilangan ketajaman mata dan keteguhan hati. Sosok itu ringan mengayunkan lengan, merebut tombak dan menancapkannya ke arah musuh dengan buas. Ia menambahkan mantra hitam yang membuat tombak itu menancap lebih menyakitkan di tubuh Janur.

Dengan kekuatan angin Mandhakarma, sosok asing itu melontarkan Janur dan pasukannya ke luar.

Janur terbelalak.

Tubuhnya ringan melewati gerbang Mandhakarma yang porak poranda. Sudut mata menatap pasukannya yang berjuang mati-matian. Rasa sakit menyulam dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ikatan rambut Janur terlepas, rambut panjangnya melambai halus di angkasa. Teriakan para prajurit yang meneriakkan namanya, mengingatkan sang hulubalang pada kedudukannya sebagai sosok terhormat dalam barisan pasukan Wanawa.

❄️💫❄️

Jagra memeluk Janur dengan hati remuk.

Ia, mengubah diri menjadi Aswa bersayap, yang menangkap tubuh sang hulubalang sebelum terhempas. Walau sayap-sayapnya terbakar sebagian oleh lemparan senjata Mandhakarma, rasanya tak begitu menyakitkan dibanding memeluk seorang sahabat yang sekarat.

Milind, menatap Janur dan Jagra dengan pandangan menyala bersama kepedihan yang dalam. Perisai Janur direbutnya.

Ia mengucapkan mantra, menunggang angin, berubah ke dalam wujud lebih besar. Gelombang laut di Kawah Gambiralaya dapat tunduk pada dirinya. Perairan Gangika yang memisahkan Girimba dan Giriwana pun akan bersatu di bawah perintahnya. Permukaan sungai seolah berhenti mengalir. Mengental. Memadat. Mengeras, membentuk sebuah bentuk segitiga runcing yang panjang bergerigi. Dengan tangan sebelah kanan, Milind menggenggam senjata itu.

"Kau telah melukai salah satu prajurit terbaikku!" teriak Milind. "Apapun wujudmu, kau akan berakhir hari ini!"

Tubuh besar Milind menghadang gerakan Mandhakarma.

"Varkamaya adanu!" * ucap Milind, membuat perisai bersinar.

Hatinya pedih mengingat betapa Janur demikian penuh semangat menempa, memahat dan mengukir perisai ini bersamanya. Lorong Mandhakarma bagai kabut tersibak. Pasukan Wanawa semakin bersatu di bawah kendali Milind. Sang panglima, melembarkan tombak raksasa runcing yang berasal dari aliran Gangika. Senjata itu bukan hanya tajam, bersar dan bergerigi. Di bawah mantra dan tangan sakti Milind, buih-buih Mandhakarma yang tampak bagai gulungan panjang belalai; terbelah sebagian. Sisi depannya seolah terpotong, memisah dari bagian induk.

Bagian yang terpisah itu meluncur cepat menuju daerah Girimba, Gangika dan Giriwana. Kemarahan Milind telah membuatnya menghukum tanpa ampun musuh di hadapan. Entah apa wujudnya, belum dapat dipastikan. Janur dan sebagian pasukan telah melihat, Pasukan Hitam sosok yang memiliki sepasang mata. Mirip seperti ketiga wangsa yang telah hadir di dunia selama ribuan tahun.

❄️💫❄️

__________

Varkamaya (bhs. Akasha) : bersinarlah

Adanu (bhs. Akasha) : cahaya


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C201
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login