Download App

Chapter 3: Nekad Naksir

Sri menahan tangannya yang asyik menyusun modul jadwal mata kuliah hari ini dalam ransel. Ketukan pintu yang lantang tak bisa diabaikan begitu saja. Berulang kali bunyi bel rumah ditekan. Namun Sri tak menghiraukan. Sang tamu semakin brutal menggedor pintu kayu di tengah-tengan bel rumah yang belum berhenti mengalun.

Sri membanting ranselnya kesal. Gadis itu segera meninggalkan kamar dan menghampiri pintu depan. Jantungnya seperti dipalu ketika menyaksikan pemandangan di balik daun pintu yang terbuka.

Tiga pria dewasa bertubuh tinggi besar berkacak pinggang kesal. Seorang menyematkan rantai pada ikat pinggangnya. Seorang mengumbar otot lengannya yang bergambar binatang. Seorang lagi menggenggam setumpuk berkas.

Lutut Sri bergetar ringan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Sri takut.

"Dimana Pak Jimin dan Bu Jinten?" tanya si pembawa map tanpa basa basi.

"Orang tua saya ikut program transmigrasi. Pak. Bapak ada pesan? Nanti saya sampaikan."

Si pembawa map melempar benda dalam tangannya. Tekanan darahnya meninggi. "Jangan menyembunyikan mereka!"

Sri menggeleng cepat. "Saya berkata benar, Pak!"

"Apa hubunganmu dengan mereka?"

"Saya anak kandung, Pak!" jujur Sri.

Si lengan kekar tampak berpikir sejenak. "Jadi nama kamu Jasmine Sri Puspasari seperti yang tertera pada kartu keluarga Pak Jimin?"

Sri menelan ludah kelu dalam bungkamnya.

Si pemegang map tertawa meledek. "Jadi kamu juga harus menanggung hutang bapak kamu pada bos kami."

Sri menelan ludah kedua kalinya. "Hutang lagi? Kali ini dari bank mana, Pak?"

"Kami bukan dari bank. Ayahmu meminjam uang dari bos kami yang konglomerat, Pak Juan Monarch. Hutangnya sebesar tiga ratus!" papar suara berat si pemilik rantai sembari menunjukkan tiga jari kanannya yang serupa pisang ambon super.

Sri mengangguk mengerti. Jemarinya menjelahi saku rok panjangnya. "Kalau tiga ratus ribu saja saya bisa bayar sekarang, Pak!"

"Bukan ribu tapi juta. J-U-T-A!" koreksinya dengan penuh penekanan pada intonasinya.

Sri menahan napas. Kejutan sial apa lagi yang akan menerpa bahu mungilnya. Beban bertahan hidup tanpa tempat tinggal dan pekerjaan itu berat. Apalagi ditambah dengan masalah memalukan dikejar dosa hutang piutang.

"Sanggup?" tanya si lengan berotot memastikan.

Sri menggeleng lemah. "Kalau begitu akan saya angsur bulanan saja. Per bulan berapa, Pak?"

Si lengan berotot menjulurkan tangan kanannya yang terbuka. "Lima juta!" gertaknya.

Sri terdiam. Kelopak matanya turun menyorot ujung sepatu datar yang membungkus kakinya. Sejenak benaknya menjelajah alam khayalan. Berandai-andai mencari strategi agar bisa lepas dari para penagih yang serupa preman.

"Bagaimana?" desak mereka tak sabar.

Sri menghela napas panjang. "Begini, Pak ... Karena saya baru mengetahui masalah ini saya belum persiapan. Jadi saya minta waktu sampai besok siang untuk mencari uangnya."

Si lengan berotot mengangguk terpaksa. "Oke, kami akan kembali besok siang. Jika meleset dari kesepakatan, kamu harus ikut kami menghadap Bos Juan untuk mempertanggungjawabkan. "

Sri begidik ngeri. Bulu romanya menegak sempurna. Namun kepalanya tak ada pilihan lagi selain mengangguk.

***

Sri melempar kasar bokongnya pada kursi meja kantin. Leo yang tengah asyik melahap paha ayam penyet tersedak kecil. Sri yang terkejut segera menghajar punggung Leo dengan kekuatan penuh hingga cowok tinggi itu menyemburkan kembali nasi yang menghambat tenggorokan.

Leo melotot galak. "Mau bunuh orang?"

Sri menggeleng tegas. "Maaf, aku tidak sengaja," sesalnya.

Bunyi langkah dua pasang tungkai jenjang menghampiri keduanya. Mereka rekan satu angkatan tapi berbeda pilihan jurusan. Seorang gadis berambut sutera sepanjang pinggang seorang lagi berambut gelombang sebatas dada.

Si rambut sutra menyeletuk. "Wah, si anak jalanan lagi pacaran sama OKB."

Leo yang enggan menanggapi kembali melahap makanannya.

Sri menaikkan sebelah alisnya. "Orang Kaya Baru?"

Kedua gadis itu terkikik meremehkan. "Orang Kere Baru!"

Tawa kedua gadis cantik itu tidak langgeng lama ketika Leopard sekali lagi menyemburkan nasi yang telah dikunyahnya ke mana-mana. Gadis-gadis itu hanya mampu meratapi nasib dress mahal mereka yang telah dimodifikasi dengan aroma terasi. Kini giliran Leo yang terbahak kencang menyerupai orang gila. Dia begitu menikmati drama komedi asli tanpa sekenario basi.

Dua gadis itu segera berlalu dengan mata memerah menahan tangis.

Sri memukul bahu Leo. "Kasihan anak perawan orang. Kalau jahat jangan keterlaluan, dong!"

Leo bersusah payah menahan tawanya. "Aku tidak menertawakan meraka. Aku itu menertawakan kamu, Orang Kere Baru! Tapi apesnya mereka kena serangan nasi sambal. Jadi menang banyak, kan?"

Sri melempar keresek hitam mengenai paras Leo, "Dasar calon penghuni neraka!"

Leo meraih kresek hitam yang menampar kegantengannya. "Belum ada keputusan final siapa yang masuk neraka duluan. Siapa tahu kamu urutan terdepan?"

Sri mengibaskan tangannya. "Sudah ga usah diperpanjang. Mending kamu bantu aku ngurus barang itu!"

Leo mendelik menyaksikan penampakan kantung plastik gelap dekil yang biasa digunakan membuang sampah. Jemarinya menyeret benda yang menghuninya dengan jijik. Tampak sebuah jas gelap yang elegan dan berkelas. Dia memeriksa merek pada punggung jas paling atas dengan teliti. Hidung panjangnya mengendus aroma maskulin yang menguar dari serat bahan jas.

Leo meremas ringan bahan di genggamannya. Dahinya tampak mengernyit kuat seperti sedang mencerna suatu hal.

Leo melempar tatapannya pada Sri. "Gila, habis maling dari mana?"

Sri menoyor kening Leo. "Jangan finah! Jas itu milik Arch. Kenalan Pak Kyai Rahman yang tadi pagi habis berkunjung. Aku tidak sengaja mengguyurnya dengan selang tanaman."

Leo menggeleng-geleng heran. "Entah siapa itu Arch yang jelas dia golongan sultan. Jas ini lebih mahal dari biaya makanmu selama satu tahun."

Kepala Sri menggelangsar pada permukaan meja. "Maka dari itu aku bingung! Mau dimasukkan laundry profesional aku ga punya uang. Mau aku cuci pakai papan penggilasan, bisa-bisa aku dipenjarakan."

Leo memukul ringan bahu Sri. "Gampang itu. Kamu rendam menggunakan pelembut pakaian selama lima menit kemudian jemur jangan langsung pada sengatan sinar matahari. Di teras mungkin lebih baik."

Retina Sri berbinar penuh pengharapan. "Baiklah, terima kasih!"

Leo tersenyum cuek. "Setelah kering biar aku bantu cari pemiliknya."

Sri mengangguk berkali-kali mirip burung pelatuk.

"Kira-kira ciri-ciri pemilik jas ini bagaimana?"

Mata Sri berotasi ke atas seolah memanggil kembali ingatan tentang si om-om tampan.

Tangan Sri seolah berhitung sesuai kriteria yang disebutkan. "Ganteng, tampan, menawan, rupawan dan...."

Leo menarik pelan daun telinga Sri. "Tidak ada yang ingin mendengar curhatmu."

"Aku tidak curhat! Memang orangnya seperti itu!" sangkal Sri kesakitan merasakan telinganya memar.

Leo menampar dahinya sendiri. "Maksudku ciri-ciri khusus pada wajah dan tubuhnya. Tahi lalat, bagaimana warna matanya dan bagaimana jenis rambutnya?"

Sri tercenung sejenak. Sorot matanya jatuh pada penampakan sahabat baiknya. Tiba-tiba ada hal yang mengganggu benak Sri.

Bibir Sri bergetar. "Namanya Arch. Bentuk hidungnya sempurna seperti hidungmu. Rambutnya bergelombang seperti rambutmu. Jenis kulitnya sama sepertimu hanya saja dia lebih gelap. Tapi dia memiliki warna mata cerah. Seperi ungu keabu-abuan."

Leo membisu sejenak. Tak ubahnya Sri. Leo juga merasakan kejanggalan dalam benaknya

"Leo, apa kamu pernah melihat orang seperti itu?"

Leo menggeleng pelan. "Kenapa kita harus pusing? Bagaimana kalau sebaiknya kamu tunggu saja sampai dia mengunjungi Kyai Rahman lagi."

Sri menaikkan bahunya.

Paras Leo tiba-tiba meneliti penampilan Sri mulai dari ujung rambut hingga sepatunya. "Aku salut sama kamu. Kamu masih sama saat kamu menjadi anak sultan atau sekarang menjadi gembel."

"Maksudmu masih sama cantik seperti anak sultan?"

"Bukan. Sama aja modelan gembel!"

Sri melindas sepatu Leo sekuat tenaga.

***

Sri menelusuri bahu jalan raya selepas jadwal kuliah. Segala cara ditempuh untuk dapat berhemat. Irit versi Sri adalah mengeluarkan anggaran sekecil-kecilnya. Jika memungkinkan tidak usah mengeluarkan uang. Salah satu upayanya menutup kebocoran dana dengan pulang pergi ke kampus menjejakkan kaki.

Sepeda motor matic kesayangan yang telah berusia dua kali ganti plat nomor, terpaksa diuangkan untuk mengangsur renterneir siang ini. Sri hanya akan menikmati dua juta setelah dikurangi pembayaran hutang.

Sri menahan langkah di tepian jalan. Perutnya telah memainkan orkes dangdut keliling. Pandangannya mengembara sejauh kemampuan lensa matanya. Dia mendapati sebuah depot nasi sederhana yang berdesakan pembelinya.

Sri harus berusaha sedikit keras melewati pembeli yang memadati hingga menemui sang penjual yang tampak kerepotan melayani antrian.

"Bu, apa ada pekerjaan di sini? Apa saja saya mau, Bu. Saya butuh untuk makan. Saya sendirian di kota ini dan tinggal di gudang masjid agung." papar Sri memelas.

Ibu depot menoleh sejenak pada gadis muda berpenampilan sederhana. "Boleh! Kamu bantu saya mencuci piring di belakang depot, ya! Suamiku sedang tidak enak badan jadi tidak bisa membantu."

Sri mengangguk semangat. "Baik, Buk! Saya akan segera ke belakang."

Ibu depot menjulurkan ibu jarinya sebelum kembali melayani pesanan pelanggan.

Sri menyelusuri lorong pendek menuju bagian belakang depot yang langsung bersinggungan dengan tanah lapang. Dia melihat berkeliling mencari tumpukan tugas menggunung yang harus dituntaskan. Setelah menemukan barisan piring, gelas, panci, kukusan dan wajan di bawah keran, tangannya mengusap cairan pencuci piring dengan gesit.

Tiga puluh menit kemudian pekerjaannya telah membuahkan hasil. Peralatan makan yang telah bersih disusun rapi pada permukaan dipan bambu.

Langkah beberapa pasang alas kaki menggesek rerumputan mengusik hati Sri yang tengah merapikan tempat cuci piring dan menyingkirkan sisa-sisa makanan dalam wadah tertentu.

Sri bergeming sejenak. Perlahan tubuhnya berbalik ke belakang punggung. Sri terkejut luar biasa tapi sekuat tenaga dia memgendalikan mimik. Tiga preman penagih hutang anak buah bos renterneir telah berdiri garang melingkarinya.

"Nona Jasmine, putri Pak Jimin dan Bu Jinten, anda berniat kabur dan menipu kami?" tuduh salah satu di antara mereka.

Sri menggeleng. "Kalian jangan salah paham, Pak!"

Si lengan berotot mengambil satu langkah ke depan. "Salah paham bagaiamana jika kami baru saja dari rumahmu dan pihak bank telah menyegelnya. Kamu hanya berpesan pada karyawan bank yang ada di sana untuk membawa perabotan yang ada di ruang tamu dan ruang keluarga."

Sri menyinggungkan kedua belah telapak tangannya. "Saya hanya berjaga-jaga, Pak. Jika uang yang saya dapat kurang."

Si lengan berotot bertolak pinggang. "Buat apa barang-barang itu. Kami hanya menerima uang!"

Sri menjulurkan tangan yang masih membawa wadah cairan pencuci piring. "Sabar, Pak. Saya sudah mendapatkan uangnya."

Tangan berotot menyodorkan telapaknya. "Cepat, serahkan!"

Sri meraba saku kemeja polkadot gelapnya dengan tangan kiri. Kemudian satu ikat uang berwarna merah muncurl dari balik penutup saku kemeja.

"Saya minta tanda terima, Pak!" tegas Sri.

Si pemegang segala administrasi mengangguk semangat. "Sudah saya siapkan, Nona Jasmine!"

Si preman pintar pembukuan menghampiri Sri dengan santun. Tangannya mengulurkan kuitansi resmi senilai pembayaran lima juta rupiah. Sri segera menukarnya dengan uang tunai dalam jumlah yang sama.

Preman pembukuan memeriksa total uang yang diterimanya. "Terima kasih. Uangnya pas, Nona Jasmine!"

Sri mengangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi!"

Si preman bercelana rantai meraih lengan Sri. "Tunggu, dulu!"

Sri berusaha meluruhkan cengkeraman tangan hitam kekar itu. "Apalagi ini?"

"Kami harus memperbaruhi data anda. Agar anda tidak kabur lagi!"

Sri menahan napas. Sekuat tenaga menghentakkan alas kakinya tepat pada kaki yang hanya berselimut sandal karet. Si preman asesoris rantai mengaduh. Saat cengkeraman terlepas, tungkai Sri melesat cepat.

Sri mengambil seribu langkah acak melintasi celah-celah sempit antara deretan warung dan depot yang berdekatan hingga haluan langkahnya menemui jalan raya.

Sri menambah kecepatan ayunan tungkainya. Dia berlari pontang panting melindas susnan rapi paving trotoar. Tiga premen berfisik besar sedikit menguras energi memburu Sri. Mereka kepayahan melewati celah sempit. Hingga beberapa kali harus terjerembab karena terhalang jemuran yang bergelantungan.

Sri konsentrasi pada kecepatan kaki. Dia tak menghiraukan keadaan sekitar. Bahkan ketika pria dewasa yang telah menuruni sedan menapakkan kaki pada trotoar. Sri yang kalut mengabaikan cara berhenti. Tubuh mungilnya berakhir menindih tubuh tinggi orang asing. Wadah pencuci piring yang masih digenggamnya memancarkan cairan kehijauan. Naasnya cairan aroma lemon itu menerpa mereka berdua.

Sri melempar wadah sembarangan setelah beranjak dari tubuh pria asing.

Si pria berkemeja biru kalem bangkit dengan menahan amarah. "Jas mahalku belum kamu kembalikan. Sekarang kamu lagi-lagi merusak penampilanku!"

Sri membelalak. "Om Arch?"

Pria dewasa tampan, Arch, menekan kening Sri. "Siapa suruh seenaknya memanggil namaku?"

Paras Sri berpaling ke balik punggung. Langkah tiga preman semakin mengikis jarak mereka.

"Maafkan saya, Om! Tapi saya harus pergi. Saya akan bertanggung jawab. Kita ketemu di masjid!"

Sri kembali melesat cepat tanpa mengacuhkan teriakan Arch yang memanggilnya. Pria itu hanya mampu memandang Sri sambil mengurut pangkal hidungnya yang berat. Gadis itu terlihat mengikuti jalan menikung yang memasuki sebuah kampung.

Belum tuntas kekesalan Arch pada tindak tanduk Sri yang menghancurkan penampilannya, tiga preman kekar tiba-tiba menerjangnya tanpa penyesalan. Ketiganya berlalu tanpa dosa setelah hampir menyebabkan Arch terjerembap.

Arch meremas kepalan tangannya geram.

Sementara Sri yang kelelahan segera melempar tubuhnya pada lahan kosong antara dua rumah besar. Dia menyusup pada lebatnya rumput dan ilalang. Tubuh mungilnya bagai lenyap ditelan tingginya tanaman liar yang menutupi permukaan tanah. Entah reptil buas apa yang mengintai di dalamnya.

Tiga preman melintasi daerah persembunyian Sri tanpa pernah menerka. Beberapa saat kemudian keberadaan mereka lenyap dan enggan menginjakkan kaki kembali.

Sri bernapas lega. Perlahan-lahan tubuhnya beranjak dari rebahan. Namun sebuah jemari kekar mencekal lengannya dan mendekap bibirnya.

"Diam!" bisik pria itu.

Sang pria mengurai jemarinya. Kedua tangannya beralih menelusuri satu per satu kancing kemeja kerjanya. Dia menanggalkan kemejanya setelah kaitan kancing terlepas.

Sri merangkak mundur. Wajahnya ketakutan.

Si pria mencampakkan kemejanya pada ubun-ubun Sri. Dada Sri berdentum bagai meriam abad pertengahan. Meluncur dan meledak di awang-awang.

"Cuci!" satu kata tegas.

Sri tepaku. Dia menelan ludah kelu. Bagaimana mungkin Pria dewasa itu membuang kemejanya dan hanya menyisakan kaos dalam tipis membungkus ototnya. Dada kekar, bahu gagah, kulit eksotis bercahaya, perut maskulin dan lengan perkasa tampak begitu nyata. Bagai lambaian keindahan yang merayu.

Jas mahal yang masih bertengger pada gudang tempat Sri tinggal mampu menyulut gundah gulana. Bunga tidur Sri berantakan karena kemunculan yang mendebarkan. Bagaimana Sri bisa mengenyahkan bayang-bayang jika kemeja itu akan menghuni kamarnya juga. Kenapa tidak sekalian celana bahan Arch yang dia bawa pulang?

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login