Download App
100% 1001 Luka

Chapter 2: 1. Egois

***

"Shana cantik."

"Makasih, Fian."

***

"Fian, aku butuh kamu."

"Maaf, Shana. Elen juga butuh aku."

***

"Fian, aku mau cerita. Kamu ada waktu?"

"Maaf, Shana. Elen lagi sakit gak ada yang ngurus. Lain kali, ya?"

"Lebih penting dia ternyata."

***

"Aku kecewa sama kamu, Fian."

"Aku minta maaf, Shana."

~~0~~

"Kasih papa uang." Seorang gadis menoleh ke arah meja makan di ruangan petak, rumah sederhana yang tak besar tak juga kecil kala suara berat menyapa telinganya yang baru pulang bekerja.

Shana Gretta Patricia atau kerap disapa Shana, gadis berusia 16 tahun yang sedang duduk di bangku kelas 11 SMA. Gadis cantik berambut gelombang sepinggang, dengan senyum manis, serta mata monolid, tubuh kecil, dengan kulit putih pucat menjadi ciri khas seorang Shana.

Gadis itu tinggal bersama ayahnya yang pengangguran, pemabuk. Sementara ia sudah tidak memiliki ibu lagi karena kecelakaan pesawat yang dialami sang ibu tepat di hari ulang tahunnya yang ke 12.

Ayahnya dulu hanya pekerja serabutan, namun ketika kehilangan sosok istri ia seperti tak terurus. Bukan karena kemauan Shana, gadis itu tidak peduli karena pria itu hanya menjadi luka untuk Shana.

"Shana gak punya uang," balasnya datar. Berjalan melewati sang ayah yang langsung dicekal.

Pria tua itu menarik tas sekolah milik gadis itu, menatapnya dengan mata belonya. "Kamu, 'kan kerja, Shana."

Soni menatap Shana yang masih enggan memberinya uang. Shana tak keberatan jika harus membiayai hidup sang ayah meski ia harus rela bekerja paruh waktu sebagai pelayan di sebuah restoran. Namun, ia tidak bisa terima jika ayahnya yang pengangguran meminta uang kepadanya hanya untuk membeli minuman keras. Jelas gadis itu tidak bisa terima. Ia bekerja bukan untuk membiayai botol bir yang dibeli ayahnya. Bukan! Dia bekerja untuk membiayai sekolahnya, hidupnya.

"Pah, Shana kerja bukan untuk biayain papa kayak gini. Seharusnya papa sadar diri dong, putri papa masih SMA, papa gak malu minta uang terus sama Shana untuk beli alkohol saka main judi?"

Plak!

Shana terkejut bukan main saat tangan kekar sang ayah mendarat dengan mulus di pipinya hingga kepalanya tertoleh ke samping. Matanya mulai memanas dan berkaca-kaca. Ia muak dengan sikap ayahnya yang selalu main tangan kepadanya.

"Mentang-mentang kamu kerja, kamu nganggap remeh papa!" bentak Soni tak terima dengan pernyataan sang anak sebelumnya. Bagaimanapun juga dia ini ayahnya Shana. Shana harus hormat kepadanya.

Dada gadis itu bergemuruh. Api amarah mulai memenuhi dirinya. Gelap menyapu matanya. "Shana gak ngeremehin papa yang cuman makan, tidur, tapi kan itu memang fakta."

Lagi-lagi Soni menamparnya. Pria itu tak sabar lagi, ia mulai menarik ransel Shana hingga adegan tarik-menarik terjadi.

"Cepat, kasih papa uang!"

"Gak mau, Pa. Lepas." Shana berusaha mempertahankan tasnya agar uangnya tak diambil.

Namun, seribu sayang. Soni berhasil mengambil alih tas Shana, mengambil amplop putih di dalam sana yang ia yakini itu adalah uang, kemudian membuang tas Shana sembarangan hingga barang-barangnya berserakan.

Shana membulatkan mata, ia berusaha mengambil amplop yang merupakan gajinya untuk bulan ini. "Pah, kembaliin uang Shana." Gadis itu terus meraih tangan sang ayah untuk merebut kembali miliknya. Tetapi, Soni sudah gelap mata. Ia dibutakan oleh uang. Pria itu lantas mendorong kuat tubuh Shana hingga terjatuh dan membentur tembok.

Pria tua itu berlalu pergi dari rumah, menyisakan Shana yang berteriak meminta uangnya.

"Pa! Kembaliin uang Shana!"

Soni mendadak tuli, jika sudah melihat uang, Soni tak akan peduli dengan sekitar. Pria itu akan langsung tancap gas pergi bersenang-senang, membeli alkohol, dan berjudi dengan teman-temannya.

Gadis itu menangis menatap Soni yang menghilang dari pintu. Uang hasil kerja kerasnya direbut paksa oleh sang ayah.

Gadis itu mencoba berdiri, menghapus air matanya dengan kasar. Dia tak tahan lagi tinggal bersama sang ayah. Bisa-bisa dia akan gila jika terus begini.

Di rumahnya yang sederhana, terlihat Shana merapikan rumah yang berantakan dan bau. Ia mencoba mengikhlaskan uangnya. Lagipula, amplop yang diambil oleh Soni tadi hanyalah sedikit dari gajinya. Gadis itu sudah tahu akan terjadi seperti ini, dengan cepat dia sudah menyelipkan sisa gajinya di kotak pensil sebelum pulang ke rumah.

Shana mulai kelaparan, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam kurang.

Kebetulan pekerjaannya juga sudah selesai, gadis itu segera berjalan ke arah dapur, dan mulai memasak apa yang boleh dimasak di rumah sederhananya ini.

***

"Kamu gak boleh egois, Shana. Elen itu sahabatku." Suara lembut seorang pria terlihat tengah membujuk Shana yang nampaknya sedang marah.

Alfian Fais Rafasya kerap disapa Vian dan merupakan kekasih Shana dalam 2 tahun.

"Tapi, Fian, aku ini pacar kamu," balas Shana dengan nada sedikit kesal. Pertengkaran mereka terjadi karena Elen-sahabat Fian.

Elen dan Fian sudah bersahabat dari kecil katanya. Namun, mereka terpisah enam tahun yang lalu karena Fian pindah provinsi, dan kembali bertemu lima bulan yang lalu.

Kehadiran Elen di tengah-tengah mereka mampu memberi jarak antara Fian dan Shana. Alfian yang dulunya sangat peka, perhatian, dan selalu ada waktu untuknya menjadi Alfian yang jika dihubungi selalu sibuk.

Contohnya seperti saat ini. Alfian semalam berjanji akan menjemputnya. Shana yang senang sudah menunggu-nunggu Alfian hampir dua puluh menit lamanya, namun pemuda itu tak kunjung datang. Karena Shana yang tak ingin telat ke sekolah, jadinya dia pergi naik angkutan umum saja. Dan, saat tiba di sekolah matanya langsung melihat Elen yang memeluk pinggang Alfian dari belakang memasuki parkiran sekolah.

"Aku bukannya mempermasalahkan naik angkotnya. Tapi, yang aku permasalahkan di sini kamu gak nepati janji kamu." Gadis itu kembali bergumam, menghela nafas sebelum membuang muka enggan minat Alfian.

Alfian meletakkan kedua tangannya di pundak Shana, menatap Shana dengan teduh. "Ya udah. Aku minta maaf, hm?"

Shana menatap Alfian niat tidak niat, lalu menepis tangan pemuda itu. "Udahlah, muak aku," katanya memilih pergi.

Shana lagi-lagi menghela nafas. Diikuti oleh bel sekolah yang kembali berbunyi pertanda jam ketiga.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login