Download App

Chapter 5: 5. Niar (1)

Selama perjalanan pulang, Haris merasa kalau dia terlalu over dan kekanakan. Dia harap Hasan tidak terlalu mengambil hati dan menjadikan suasana kerja jadi canggung mulai senin besok.

Pria itu tersenyum, setidaknya hari minggu besok dia tidak akan bertemu dulu dengan sekretarisnya itu.

...

BZzzzz! BZzz!

Ponsel Haris yang masih disetting silent, bergetar-getar di dekat bantalnya.

Dengan mata masih terpejam, pria itu menggeser layar untuk menerima panggilan.

"Iya.. halo..." Sapanya dengan suara serak.

"AYAH!!!" Teriak suara dari sebrang yang sukses membuat telinga Haris berdenging dan matanya langsung terbuka lebar.

Dia menjauhkan ponsel itu dalam jarak aman, dan mendengar suara Niar yang terus memanggilnya dengan penuh semangat.

"Ayah! Ayah! Ayah!"

Haris tertawa. "Iya, Niar sayang?"

"Aku mau ke rumah ayah!"

"Oiya?" Haris sudah terkejut lagi untuk yang kedua kalinya pagi itu. "Sama siapa? Kakek mana? Ayah mau bicara sama kakek, Nak."

Gadis kecil itu memberikan ponsel pada kakeknya.

-"Halo, Haris."

"Ayah, bagaimana kabar Ayah?"

-"Baik, Nak. Ibumu yang kurang baik. Tadi malam jatuh di kamar mandi..."

Jantung Haris seolah berhenti mendengarnya. Dia tidak berani bertanya lebih lanjut dan membiarkan ayahnya bicara sampai selesai.

-".. Tadi pagi baru dibawa ke dokter, dan katanya harus foto ronsen tulang di rumah sakit."

"Ayah sama Ibu diantar siapa?"

-"Diantar Lik Hudi. Tapi, ya, gitu, Niar jadi ndak ada yang ngerawat disini."

Haris langsung paham maksud ayahnya. "Iya, Yah. Aku siap-siap dulu buat kesana. Salam buat Ibuk. Oiya, Ayah mungkin mau dibawakan sesuatu dari sini?"

-"Ndak usah, Ris. Hati-hati aja di jalan."

"Iya, Yah."

Haris langsung mandi dan ganti baju serta menyiapkan yang akan dibawa. Hanya dompet berisi uang cash dan ponsel. Rambutnya bahkan masih basah saat dia membuka pintu depan dan mendapati Hasan sudah berdiri tepat di depannya.

Haris refleks mundur selangkah. "Ada apa?"

Hasan memiringkan kepala, dandanannya tidak jauh berbeda dibanding saat ke kantor. Hanya saja lebih kasual dengan celana jeans dan kacamata hitam.

"Saya berkali-kali telepon Pak Haris, nggak diangkat, jadi saya langsung kesini."

Haris menghela nafas panjang sambil memakai helm dan jaket. "Maaf, aku nggak ada waktu. Aku ada urusan penting."

Pria yang lebih muda itu memperhatikan bagaimana wajah Haris terlihat tegang dan gelisah. Lain dari saat menghadapi dirinya dan masalah kantor, atasannya itu juga memancarkan aura putus asa. Hasan bisa menebak apa yang terjadi.

"Mau ke Malang? Ayo saya antar," ujar Hasan sambil menghentikan Haris yang akan mengeluarkan motor.

Haris tidak ada waktu untuk berdebat. "Aku bisa sendiri."

"Saya tahu, Pak. Tapi bisa berbahaya kalau Pak Haris naik motor dalam kondisi emosi tinggi begini," bujuk Hasan. Dia lalu mengarahkan jempolnya ke jalan. "Kebetulan saya bawa mobil, kita bisa lewat tol."

Haris berhenti sejenak dan berusaha berpikir jernih. Yang dikatakan Hasan benar, kepanikannya hanya akan membawa masalah baru. Dia lalu mengangguk.

"Kamu yakin? Mungkin akan butuh seharian di sana."

Hasan mengangkat kedua bahunya. "Sekarang hari minggu, jadi saya harus ke kantor paling lambat besok senin jam 7."

Candaan garing Hasan membuat Haris bisa sedikit rileks. "Aku masukkan dulu motornya."

Haris tidak banyak berbicara setelah masuk ke dalam mobil. Sama halnya dengan Hasan yang hanya sesekali menanyakan arah atau bernyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar.

Mereka sampai di sebuah rumah sakit dua jam kemudian. Haris langsung menuju ke ruangan tempat ibunya dirawat.

"Ayah, Ibuk," panggil Haris saat melihat orang tuanya di salah satu ruangan sal.

"Haris! Kok cepet sudah sampai."

Komentar ayahnya itu membuat Haris ingat kalau dia datang bersama Hasan, yang dia tinggal begitu saja.

"Aku dianterin teman. Ibuk gimana, Buk?" Haris balik bertanya pada wanita tua yang berbaring menyamping di kasur.

"Pinggang Ibuk sakit, Nak. Ini masih nunggu labnya buka buat difoto," wanita itu menjelaskan.

"Bapak harus njaga Ibukmu di rumah sakit. Niar ikut kamu sebentar ndak apa, ya?"

"Iya, Yah. Anak kecil biasanya nggak boleh masuk. Terus, Niar sama siapa sekarang?"

.

Setelah memarkirkan kendaraan, Hasan berjalan ke arah bangunan utama dan menanyakan lokasi kamar yang dia dengar dari percakapan Haris dengan seseorang.

Di kamar tujuannya, Hasan melihat atasannya sedang berbicara dengan dua orang tua.

"Pak Haris?" panggil Hasan.

"Oh, ini teman yang nganterin aku, Yah. Namanya Hasan." Haris menepuk pelan lengan Hasan.

Kedua orang tua itu tersenyum, "Makasih sudah nganterin Haris. Kamu teman apa?"

"Saya Hasan, Pak. Sekretaris Pak Haris di kantor." Hasan memperkenalkan diri sambil menyalami tangan bapak dan ibuk itu.

"Hahahaha, kalau sekretarisnya laki-laki, nggak bisa macam-macam, ya," celetuk ibu Haris yang langsung membuat anaknya salah tingkah.

Sementara Hasan hanya mengiyakan dengan kalem, seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka.

Haris lalu menjelaskan kalau ada satu tempat lagi yang harus mereka datangi sebelum balik ke Surabaya. Hasan hanya mengangguk tanpa protes.

Sekeluarnya dari rumah sakit, hati Haris yang mulai tenang, membuat tubuhnya berfungsi normal. Termasuk perut yang berbunyi karena belum diisi. Terlebih cuaca sedang mendung dan udara yang lebih dingin dibanding kantor mereka bekerja.

"Maaf, ya, Hasan. Kamu mungkin juga belum sarapan tadi pagi, sudah langsung aku ajak kesini."

"Tidak masalah. Mau makan dimana, Pak? Saya nggak hafal daerah sini."

"Sama, berhenti di tempat yang gampang parkirnya saja," saran Haris.

Hasan pun menghentikan mobilnya di dekat warung soto dan memesan menu brunch mereka. Tidak butuh waktu lama sebelum mereka selesai dan lanjut ke tujuan berikutnya.

"Nanti kamu pulang dulu nggak apa."

"Pak Haris mau nginap disini?"

"Nggak, aku balik sama Niar nanti naik bus," jawab Haris. Dia tidak mau merepotkan Hasan lebih dari ini.

"Sekalian aja, Pak. Masak saya sudah jauh-jauh ngantar, baliknya sendirian," keluh Hasan.

"'Kan kamu sendiri yang maksa ngantar," balas Haris tidak mau kalah.

"Saya 'kan khawatir kalau ada apa-apa sama Pak Haris. Memangnya saya nggak boleh kuatir?"

Haris memilih diam dan tidak menjawab. Dia percaya tiap orang berhak atas perasaan mereka masing-masing selama tidak dipaksakan ke orang lain.

Kali ini Haris menunggu hingga Hasan keluar dari mobil.

"Hasan," panggil Haris.

Pria lebih muda itu melepas kacamatanya seraya berjalan mendekat. "Ada apa, Pak?"

"Terima kasih sudah ngantar aku." Ujar Haris malu-malu, matanya menatap langsung ke mata pemuda di depannya itu.

Hasan tersenyum lebar. Dia menepuk pelan lengan atasannya. "Tidak masalah. Kalau untuk pasanganku, aku malah akan berbuat lebih banyak."

"Hasan!"

"Hahahaha, oke, Pak... Oke..." Hasan mengangkat kedua tangan.

"Mmmm.. dan, Niar mungkin akan berisik dan tidak bisa diam di mobil," Haris melanjutkan.

"Asal dia nggak maksa main kemudi saat di jalan, saya nggak masalah."

Haris mengangguk. "Sekali lagi, terima kasih, Hasan."

Haris sudah akan berjalan ketika lengan pria yang lebih tinggi itu menariknya.

"Kalau mau berterima kasih, pakai cara lain saja, Pak."

Perkataan Hasan membuat Haris terkejut. Dia harusnya tahu kalau di dunia ini tidak ada yang gratis.

"Kita bahas itu lain kali."

.

.

.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C5
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login