Download App

Chapter 9: 9. Hanya Sedikit Sensitif

Haris segera kembali ke kamar kos Hasan. Hatinya lega melihat putri kecilnya masih lelap. Dirinya tahu kalau meninggalkan Niar sendirian bisa berakibat fatal. Tapi Haris juga tidak mau kalau dia dan Hasan melakukan hal itu di ruang tamu, dimana anaknya bisa sewaktu-waktu melihat mereka berdua.

Untuk alasan itulah, Haris meminta Hasan menyewa kamar di lokasi terdekat. Sedekat mungkin dari kos mewahnya.

Duda beranak satu itu lantas mandi, membersihkan diri dari sisa aktivitas liarnya dengan Hasan. Satu hal lagi yang Haris ketahui tentang dirinya, bahwa dia tetap bisa melakukannya walau dengan sesama jenis. Dia sedikit sedih, apalagi selama ini dia yakin kalau hanya bisa berhubungan dengan wanita yang dia cintai.

Selesai mandi, Haris membaringkan diri di samping Niar. Berharap agar malaikat kecilnya itu tidak akan pernah mengetahui kejamnya dunia.

...

Haris baru melihat Hasan pagi harinya.

Saat sedang membuat sarapan, pemilik kamar itu datang dengan kemeja dan celana yang lusuh. Niar sudah duduk di meja makan, sehingga Haris tidak ingin banyak bertanya tentang keadaan sekretarisnya itu. Dia juga tidak ingin membahas kejadian semalam sama sekali.

"Niar sudah cantik. Sebentar, ya, Om mandi dulu," sapa Hasan.

Gadis kecil itu mengangguk pelan. Meski sudah terbiasa dengan keberadaan Hasan, dia masih malu untuk bicara blak-blakan.

Selesai mandi, Hasan yang sudah rapi dan segar keluar kamar dengan membawa tas ransel mereka bertiga. "Aku sudah siap, ayo kita berangkat."

Haris tahu kalau dirinya sangat disiplin waktu, tapi dia bukanlah manusia yang sedingin itu.

"Duduklah, sarapan dulu," ajak Haris sambil mencuci piring bekasnya dan Niar.

"Tapi sekarang sudah jam 6. Nanti kita baru sampai kantor jam 7 lebih," bantah Hasan.

"Perusahaan tidak akan bangkrut meski kita baru datang jam 9. Kalau ada yang disalahkan, Pak Bangun yang lebih bersalah," ujar Haris.

Saat pemuda itu hanya berdiri bengong, Haris menarik tangannya dan mendudukkan pria itu di meja makan. Tidak lupa, Haris meletakkan sepiring nasi goreng di depannya.

"Maaf, agak gosong," bisiknya.

Hasan tersenyum. "Tidak masalah," sahutnya singkat lalu mulai menyantap hidangan karya atasannya.

.

Saat berangkat, mereka menitipkan Niar di tempat penitipan. Tidak mungkin terus-terusan membawa bocah itu ke kantor, karena belum ada fasilitas nanny di perusahaan.

Di kantor, hal yang dikhawatirkan Haris tidak terjadi. Terbawa suasana kerja, dia pun lupa akan apa yang dia lalui semalam bersama Hasan.

"Hasan, apa Bu Indah sudah menyetorkan laporan...." kata-kata Haris mengambang di udara saat sekretarisnya tidak segera menyahut.

Matanya melihat ke sekeliling ruangan, pemuda itu tidak berada di mejanya.

"Hasan dari tadi belum balik, Pak. Saya bantu carika-" Ika menawarkan diri.

"Tidak usah. Biar aku cari sendiri, sekalian..." Haris mengangkat berkas yang ada di mejanya. Dokumen yang sengaja dia bawa sebagai alasan.

Duda beranak satu itu mulai dengan melongok ke pantry, berpindah ke area merokok, hingga melihat sepintas ke departemen lain di lantai yang sama. Biasanya Haris tidak ambil pusing dan memilih menghubungi sekretarisnya lewat ponsel. Tapi hari ini, ada sedikit rasa penasaran dalam diri Haris yang membuatnya bertindak lebih jauh.

Haris bahkan menyempatkan diri ke toilet dan turun ke kantin di lantai dasar. Pria berhidung mancung itu tidak terlihat dimanapun. Dia mulai lelah mencari ketika dia mengingat lagi bagaimana kondisi Hasan sejak pagi.

Pemuda itu masih rapi seperti biasa, tapi ada satu hal yang terlihat berbeda. Haris lalu sadar kalau wajah Hasan sedikit pucat dan pandangannya berkali-kali kehilangan fokus. Kini Haris tahu kemana kakinya harus melangkah.

Ketika membuka ruang istirahat karyawan, Hasan tengah berbaring di salah satu kasur yang tersedia. Kakinya yang hanya dibungkus kaus kaki, hampir tidak muat di tempat itu. Haris berjalan mendekat dan berhenti di sebelahnya.

"Setengah jam lagi," gumam Hasan tanpa membuka mata.

"Kamu yakin setengah jam sudah cukup?" tanya Haris.

Hasan langsung duduk dengan mata terbuka.

"Pak Haris. Bapak kok disini?" tanya Hasan yang kebingungan, rambutnya sedikit kusut terkena bantal.

"Hmmmm, kebetulan lewat," jawabnya asal. "Kalau nggak enak badan, kamu bisa ijin pulang lebih dulu."

Hasan tertawa, suaranya yang dalam menggetarkan seisi ruangan yang hampir kosong itu. "Nggak perlu, saya cuma ingin istirahat sebentar."

"Mungkin obat penahan nyeri..." sahut Haris yang masih khawatir.

"Terimakasih, Pak. Tapi saya bisa mengurus diri sendiri," ujar Hasan yang mendadak menjaga jarak.

Haris merasa bodoh sudah mengkhawatirkan Hasan.

"Kau begitu.. aku akan kembali duluan." Haris mengangguk sambil melempar senyum bisnis lalu beranjak dari tempatnya berdiri.

"Pak Haris..." panggil Hasan.

Haris berhenti melangkah, tapi tidak membalikkan badan. Tangannya sudah di gagang pintu.

"Jangan salah sangka... Badanku hanya kelewat sensitif setelah..tadi malam."

Hasan tidak perlu melihat wajah Haris yang memerah, saat atasannya itu keluar dengan tergesa dan membanting pintu, untuk tahu perasaan laki-laki itu. Dia sudah bekerja di samping Haris sudah lebih dari tiga tahun dan sedikit banyak tahu kebiasaan Haris.

...

Setelah beberapa hari berlalu, Hasan dan dirinya kembali pada kegiatan rutin mereka yang baru. Hampir selalu berdua kemanapun. Termasuk saat belanja kebutuhan.

"Pak, apa nggak beli kemeja sekalian? Buat cadangan, sebentar lagi musim hujan," celetuk Hasan saat mereka melewati pusat perbelanjaan.

"Hmm, mungkin lain kali," jawab Haris sambil mengkalkulasi pendapatan dan pengeluarannya, apakah cukup untuk membeli barang lagi atau tidak.

Sebagian rasa hormat Hasan berkurang ketika Haris mulai menghitung dengan detil dan terlalu perhitungan. Dia tahu kalau wakil direktur itu sedang kesulitan keuangan, tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk memiskinkan diri.

Pemuda itu menutup mulutnya kali ini namun dia berencana akan mengambil langkah drastis jika kebiasaan buruk Haris berlanjut.

Pagi harinya, Hasan melihat Haris melipat kemejanya untuk dimasukkan dalam ransel. Sedangkan dia memakai kaos survivor kebakaran.

"Apa Pak Haris mau pinjam baju saya? Saya ada kemeja banyak," lanjut Hasan sambil duduk di dekat ransel.

Haris menatapnya dengan sebal. "Mana mungkin cukup. Apa kamu mau pamer kalau badanmu lebih tinggi, Ha?" Omel Haris sebelum memindahkan fokus pada bekal makan siang mereka.

Hasan tersenyum malu mendengarnya. Secara impulsif, dia menarik tangan pria yang lebih tua itu hingga jatuh ke pangkuan Hasan.

"Apa yang kamu lakukan? Kalau Niar lihat, gimana?" desis Haris marah sambil berusaha bangun.

Hasan menarik tubuh itu kembali lalu berbisik di telinga atasannya, "Jadi kalau Niar nggak lihat, nggak masalah?"

Pemuda itu bahkan meraba-raba pelan bagian dada Haris.

Haris tidak mengatakan apa-apa. Pria itu bahkan tidak lagi berusaha bangun dari posisinya.

Semula, Hasan hanya bercanda ketika mengajak Haris berdekatan. Tapi melihat reaksi duda itu yang mendadak takluk, darah muda Hasan bergejolak. Dia mengecup pipi Haris sebelum berdiri dan berjalan ke kamar. "Tunggu disini, biar saya yang urus Niar ke penitipan."

"Niar, ayo Om antar. Ayahmu masih ada perlu, jadi kita berangkat berdua!" teriak Hasan bersemangat.

.

.

.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C9
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login