Download App

Chapter 18: 18. Sambang (3)

"Bekal makan siang kalian pun sama," imbuh Nisa.

"Hmm, kebetulan ada lebih. Sayang kalau dibuang," jawab Hasan dengan enteng. "Mubazir."

"Apartemennya bagus banget, San. Berapa harganya?" Kali ini giliran Ika yang bertanya.

"Aku dapat diskon banyak pas beli," jawab Hasan tanpa memberi info yang jelas.

"Hasan, ini suguhannya semua? Atau yang mana?" teriak Budi dari arah dapur.

Hasan hendak berteriak balik tapi saat itu pintu kamar Haris terbuka. Duda itu muncul dengan pakaian yang lebih rapi, tidak jauh dari penampilannya saat bekerja.

"Maaf, ya, aku tidak tahu kalau kalian mau kesini," ujar Haris yang berjalan ke arah ruang tamu.

"Nggak, Pak. Malah kita minta maaf, ngerepotin."

"San!" panggil Budi sekali lagi.

"Sebentar, aku bantu Mas Budi," pamit Hasan.

Di sofa leter L itu, Haris duduk di tempat yang terdekat dengannya.

"Saya kira Pak Haris sudah tahu kalo kita mau kesini," celetuk Ika.

"Aku kira kalian malah janjian mau nongkrong di luar," balas Haris jujur.

"Yealah, Pak.. di kantor sudah ketemu, masak nongkrong juga sama teman sekantor. Apa nggak bosen," ujar Ika yang membuatnya kena sikut Nisa. "Apaan sih, Nis."

"Nggak semua orang kayak kamu kali, Ik," balas Nisa.

Budi lalu datang membawa beberapa piring berisi camilan. "Ayo, ayo... Jangan sungkan. Ambil mana yang kalian suka."

Lagak Budi yang seolah pemilik rumah disambut dengan tawa.

"Iya, jangan sungkan. Mumpung masih ada," ujar Haris dengan wajah bahagia.

Pria 35 tahun itu tidak menyangka telah berpikiran picik dan menuduh yang bukan-bukan pada rekan seruangan. Terlebih lagi terhadap orang-orang yang bekerja berdampingan dengannya beberapa tahun belakangan.

"Hmm, tapi berapa besarnya gaji Hasan, ya, sampai bisa beli apartemen bagus begini," celetuk Ika sambil menikmati gorengan.

"Dia 'kan sudah bilang kalau dapat diskon," jawab Nisa.

"Tapi, Nis... Semurah-murahnya apartemen apa nggak masih ratusan juta? Dan dia baru bekerja berapa lama?" bantah Ika.

Saat itu, Hasan berjalan mendekat dengan nampan berisi gelas dan berbagai minuman.

"Mas Budi ditunggu di dapur, malah enak-enakan makan disini," protes Hasan sambil menendang kaki Budi.

"Yee, aku kan tamu. Ya tinggal duduk manis aja, sambil makan gorengan." Budi bahkan menyantap hidangan di depannya dengan nikmat, entah karena doyan atau lapar.

"San, kamu sudah berapa lama kerja di tempat kita?" tanya Budi.

"Hmm, sekitar 3 tahun mungkin. Kenapa?" Hasan balik bertanya.

"Tuh, Si Ika penasaran."

"Ya iya lah, Mas Budi. Sudah ganteng, kerjanya cekatan, masak mau kaya juga? Ga boleh. Itu namanya se-ra-kah," celetuk Ika dengan serius.

"Kasihan kalau seisi dunia kayak Mas Budi semua, dong." Giliran Hasan bicara sambil nyengir.

Budi yang baru menuang soda, langsung meletakkan botol dengan setengah membanting. "Hei, Hasan! Sudah berani ngelunjak ya, kamu!"

Pria itu langsung memiting leher Hasan dengan tangan kiri sedang tangan kanannya menggelitik pinggang Hasan. Sontak saja tawa Hasan langsung meledak.

"Berani sama senior, ya?!" Omel Budi sambil bercanda.

"Hahahaha! Maaf, Om Budi! Maaf!"

"Om! Enak saja! Belum ngaku salah, Hah?!"

Haris tidak bisa menahan tawa melihat Hasan dalam kesulitan, sementara Nisa dan Ika malah mengompor-ngompori dari samping.

Perhatiannya baru teralihkan ketika pintu kamarnya terbuka. Gadis kecilnya itu melihat dari celah kecil di pintu. Haris pun melambaikan tangan, memintanya mendekat.

Niar melihat ke arah pusat keributan. Dia lalu menggeleng dan buru-buru menutup pintu.

"Niar, ya, Pak?" tanya Nisa.

Haris mengangguk kecil, senyumnya terarah pada pintu yang masih tertutup. "Iya. Dia masih malu."

"Pas Pak Haris ajak ke kantor, dia banyak main sendiri. Baru kali ini aku ketemu anak pendiam begitu," komentar Nisa.

"Bukan bermaksud apa-apa, tapi kita nggak terlalu capek kejar-kejaran. Pas diminta tolong mbakku jagain ponakan, duuh... Luar biasa..." keluh Nisa sambil menyeruput minuman.

Haris tertawa kecil saja mendengarnya. Dia tahu benar maksud Nisa dan sangat bersyukur Niar lebih suka menggambar atau menonton televisi.

"Tiap anak ada pembawaannya sendiri-sendiri," sambung Haris agar suasana yang akrab tetap terjaga.

"Sudah jam segini, nih. Mau makan atau sholat dulu?"

..

Karena ruangan yang terbatas, mereka bergantian makan dan sholat.

Mau tak mau, Haris memaksa Niar keluar kamar. Jika tidak, dia khawatir gadisnya kelaparan dan tidak bisa tidur nyenyak nanti malam. Dia tidak keberatan meski akhirnya Niar menempel seperti kerang limpet.

Tidak jauh dari mereka, Nisa duduk santai.

Sebagai pemilik rumah, Hasan sungkan membiarkan tamunya sendirian. Lagipula, Nisa sering membantunya sejak saat masih karyawan magang.

"Nggak ambil makan, Mbak?" tanya Hasan.

"Nanti aja, barengan sama Ika," jawabnya. Wanita itu lalu menatap Hasan lekat-lekat.

"Kamu beneran nggak beli apartemen pakai uang perusahaan 'kan?" tanya Nisa kembali menyinggung hal ini.

Mata pemuda berkulit eksotis itu menangkap Haris yang perhatiannya juga tertuju padanya. Sudut bibir Hasan sedikit terangkat, tidak menyangka mereka sebegitu tertarik pada jawabannya.

"Kalau pakai uang perusahaan, aku yakin Pak Haris akan tahu lebih dulu," jawab Hasan, kini menatap ke arah pria paling tua di ruangan mereka. "Dan beliau nggak akan membiarkan aku begitu saja."

Wanita itu mengangguk. "Lalu, apa nggak sulit hidup dengan orang lain yang sudah punya anak?"

Hasan menahan agar raut wajahnya tidak banyak berubah.

Apa-apaan dengan wanita ini?! Apa tujuan mereka datang kemari buat menginterogasi aku?

Dan entah kenapa, Haris masih mendengarkan percakapan mereka dengan seksama. Hasan selalu tegas tentang apa yang dia suka maupun tidak. Namun, Haris ingin tahu, apakah pemuda itu akan memberi jawaban berbeda pada orang lain.

"Kenapa? Kami hanya tinggal bersama dan bukan menikah," jawab Hasan dengan tenang.

Haris yang ikut makan sambil menyuapi Niar, hampir saja tersedak mendengarnya.Duda itu makin speechless saat Hasan terang-terangan mengedipkan sebelah mata kearahnya.

"Selagi masih disini, apa ada lagi yang Mbak Nisa mau tanyakan?" pancing Hasan.

"Aku mau ambil makan dulu, Ika sudah selesai sholat," elak Nisa sambil beranjak dari tempatnya.

Haris duduk di sebelah pemuda yang tampak keki sepeninggal Nisa. Dia lalu mendudukkan Niar di pangkuannya. "Maaf, gara-gara aku kamu ikut repot."

Hasan membuang nafas besar sebelum menoleh ke arah Haris. Niar, meski duduk diam tapi mata bulatnya yang lebar itu tidak lepas dari Hasan.

"Lain kali saya nggak akan repot-repot beli suguhan buat mereka," protes Hasan.

Haris kembali tertawa kecil. Tangannya menjulur dengan begitu natural dan mengacak-acak rambut Hasan.

"Kamu nggak akan punya teman kalau terlalu pilih-pilih begitu," nasihat Haris.

"....." gumam Hasan.

Duda itu tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Hasan. Hanya saja, jari pemuda itu meraih tangan yang berada di antara mereka dan tersembunyi dari pandangan yang lain. Jari yang sedikit lebih panjang dan lebih besar, namun menggenggamnya dengan erat, membungkam mulut Haris.

Pria yang lebih tua itu tidak berkomentar. Dia mengarahkan pandangannya dimana ketiga rekan lain sedang bercanda di dekat meja makan.

Tidak jauh berbeda dari ayahnya, Niar juga tidak banyak bicara melihat kedua tangan yang bergandengan itu.

...

Budi, Ika, dan Nisa pulang tidak lama setelah makan malam. Dan kemeriahan hari itu pun berakhir.

Haris keluar kamar dan menutup pintu perlahan, agar tidak membangunkan Niar yang sudah tertidur pulas. Dia juga sudah kembali ganti dengan kaus dan celana pendek yang nyaman.

Mata coklatnya menyapu seisi ruangan. Meja dan lantai ruang tamu sudah bersih, begitu pula di sekitar ruang makan.

Tinggal Hasan yang berdiri dengan tumpukan piring dan perkakas kotor, menghadap ke bak cucian.

"Biar aku yang cuci," ujar Haris.

Hasan menoleh ke belakang. "Oh. Niar sudah tidur?"

"Sudah. Kau juga tidurlah," saran Haris sambil melangkah ke dekat Hasan.

Pemuda itu tertawa. "Sekarang jam berapa? Kenapa menyuruh saya tidur sekarang?"

Haris ikut tertawa mendengarnya. Dia benar-benar terdengar seperti sudah berumur.

Duda itu pun menjulurkan tangannya ke air keran yang mengalir. Lalu secepat kilat menyiprat-cipratkan air ke arah Hasan.

Terkejut kena serangan mendadak, Hasan spontan menghindar.

"Oy, Pak!" teriaknya. "Pak Haris! Jangan!"

"Apa?!" seru Haris tanpa mengurangi intensitas serangannya.

"Pak!" panggil Hasan lagi. Peringatan terdengar jelas di suaranya yang besar dan dalam. Dia meletakkan piring di tempat yang aman.

"A-pa?" tantang Haris dengan tawa kecil. "Apa ada yang takut air?"

"Kalau begitu...." Hasan pun cepat-cepat membilas tangannya sebelum membalas serangan Haris. "Rasakan ini!"

"Curang! Hasan, tanganmu kebesaran!" protes Haris yang berusaha berlindung sambil tetap menyerang. "Curang!'

"Pak Haris yang mulai duluan! Nih, rasakan ini! Rasakan!" Hasan tidak mau mengalah, terutama karena wajah Haris tampak senang. "Rasakan balasanku!"

"Uwah! Hentikan, Hasan!" Haris lalu berusaha meraih tuas kran sambil memelengkan kepala, agar tidak lebih basah lagi.

Bermaksud mematikan kran, pinggang pria yang lebih tua itu tanpa sengaja menyenggol mangkok yang berisi air. Seketika bukan hanya celananya saja yang basah, tapi juga lantai dapur.

"Hihi.. Hahaha!!" Hasan tidak bisa menahan kegeliannya melihat ekspresi Haris yang langsung kusut.

"Kena batunya, ya, Pak.." goda pemuda itu dengan cengiran kemenangan.

.

.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C18
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login