Download App

Chapter 2: Chapter 0: Asal Mula Dua Bulan (2/3): Mimpi tanpa Bulan.

Seorang gadis kecil duduk meringkuk di pojokkan, diselimuti cahaya bulan yang merembes masuk lewat lubang di ujung atas ruangan. Khusus hari itu, cahaya bulan memancarkan aura mengancam yang menyatu dengan ruangan tersebut. Dari lubang yang sama tersebut, angin malam mengikuti dan mendatangi dia sebagai satu – satunya sumber kehidupannya, ditemani oleh udara membeku yang dirasakan oleh tubuhnya yang gemetaran. Lantai di bawah kaki ia terasa lembap dan kotor dengan genangan darah kering. Sumber dari cairan tersebut juga melepaskan bau tajam tercampur dengan semburat rasa manis yang memuakkan. Pengingat yang tak mungkin dihindari itu adalah alasan dia selalu duduk dengan kepala menunduk.

Semua ini karena para orang dewasa dan eksperiemen mereka.

Dia diberikan segalanya untuk hidup hingga hari ini. Tapi itu semua hanyalah ilusi kecil dari orang dewasa. Kenyataannya, mereka memberikan anak – anak ini surga sementara di atas bumi sebagai ganti untuk pemandangan ruangan ini. Dan bagian terburuknya, dialah satu - satunya yang bertahan hidup.

Matanya terlihat bengkak dengan seluruh bagian tubuhnya terpuruk. Dinding yang menyambut kulitnya dengan kelembaban dingin yang kontras dengan sel darahnya yang mendidih mengalir terus menerus untuk menggumpal lukanya setiap hari.

"Demi kebaikan semesta," kata si dewasa yang melakukan semua ini, tanpa energi tersisa di dalam si kecil untuk mengatasi frustrasinya. Dia mengubur benih – benih tersebut. Seiring berjalannya waktu, benih itu tumbuh akar yang besar, bermanifestasi dalam wujud rambut putih yang lebih panjang dari gadis kecil tersebut.

Dia masih mempunyai kepalannya untuk menemaninya. Di dalam kepalanya, dia melihat dirinya sendiri duduk meringkuk seperti dirinya di realita. Tapi di dunia ia sendiri, kepalanya menghadap ke depan untuk melihat lahan penuh dengan bunga. Dia menghirup dalam – dalam aroma manis di sekelilingnya sambil mengangkat dagunya menghadap bulan. Kincir angin mengindikasikan keberadaan angin sejuk di malam hari. Tatapannya hanya menunjukkan apresiasi terhadap langit malam, khususnya terhadap bulan sebagai simbol harapan dia.

Orang – orang saling bergandengan tangan membentuk lingkaran, menyanyikan lagu untuk bulan. Dia menghampiri mereka. Mungkin karena dia akan merasakan suatu kenyamanan jika bersama mereka. Atau mungkin karena itu adalah sesuatu yang dia rindukan. Lagunya terdengar nostalgik untuk dia. Tapi dia hanya mengingat satu lagu, yaitu lagu sebelum kematian ibunya.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA"

Realita menampar dia balik.

Dia ingin kembali. Dia merasakan ketidaknyamanan yang ekstrem. Pikirannya mencoba untuk mencari solusi untuk perasaan ini. Tapi seperti penjara ini, tidak ada jalan keluar.

――Andaikan aku punya keberanian untuk melawan, orang dewasa ini tak akan bisa membawaku.

Kesedihan. Rasa pahit bernama kesedihan memenuhi mulutnya.

Segera setelah itu, jilatan asin datang untuk menemani kepiluannya.

Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

――Andaikan orang tuaku bukan kriminal, orang – orang jahat itu tidak akan membenarkan apa yang mereka lakukan.

Amarah. Untuk kesalahan masa lalu yang tidak bisa disesali.

Tenggorokannya terasa seperti terbakar dan begitu juga dengan kulitnya.

Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

――Andaikan orang dewasa baik yang membawaku, aku tidak akan berada di sini.

Iri. Harapan yang dia cari mati – matian menjadi kedengkian

Terasa seperti obat jelek yang diberikan oleh orang dewasa.

Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

――ANDAIKAN PARA IBLIS INI MATI, AKU TIDAK AKAN BERADA DI SINI.

Kesedihan. Amarah. Iri. Kebingungan. Dia bingung.

Emosi yang meluap, stress secara fisik, dan semua suara yang menyatu bercampur menjadi warna yang jelek.

Rasanya familiar bagi si gadis kecil.

Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

――ANDAIKAN AKU TIDAK LAHIR, . . /+-l=+-o

Takut, Ini adalah rasa takut. Ini jelas rasa takut. Inilah ketakutan. Tidak ada apa – apa selain rasa takut. Hanya ada rasa takut. Inilah ketakutan.

takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, Takut, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT, TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT TAKUT――

Dia tidak tahu apa yang dia lakukan

Dia berusaha untuk mencongkel matanya. Dia kesakitan Dia muntah

Dia muntah lagi dan lagi Dia menangis

Dia menangis darah Dia menjilat air mata darahnya sendiri

Dia mencoba untuk mengigit lidahnya dengan mulut tak bergigi

Dia memaksakan senyum Senyum dan Tawa

Dia melihat sekelilingnya hanya untuk melihat mayat

Tidak ada apa - apa selain merah

Dia menjambak rambutnya yang sudah memutih

dia menarik rambutnya lagi dan lagi dan lagi

dia mulai merintih di pojokkan.

dia mencoba mencekik dirinya sendiri

dengan tangannya lemas

kehabisan pikiran, dia mulai berteriak

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA"

"AAAAAAAAAAAAAAAAA"

"AAAAAAAAAAAAA"

"AAAAAAAAA"

"AAAAA"

"AAA"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"A"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"a"

"―"

Ini berantakan.

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

Dia sudah tenang, tapi dia lelah.

Sejujurnya, dia tidak mengerti apa – apa tentang kehidupan.

Dia tidak pernah memiliki jawaban jelas untuk pertanyaaannya sendiri.

Dia tidak punya apa – apa.

Selain mimpinya.

Dia ingin kehidupan normal.

Dia ingin keluarga.

Dia ingin mencintai seseorang.

Dia ingin menjadi anak normal.

Dia ingin tidur dengan tenang.

Dia ingin memakan makanan mewah.

Dia ingin memakai gaun yang indah.

Dia ingin mandi.

Dia ingin tinggal di rumah yang damai.

Dia ingin melihat dunia luar.

Dia ingin pergi ke bulan.

Dia ingin membentuk dunia yang lebih baik.

Dia ingin kebahagiaan.

Dia ingin terus hidup dan melihat mimpi tersebut terkabulkan.

Karena itu sekarang, dia hanya perlu satu mimpi untuk dikabulkan.

Dan itu adalah mimpi untuk diselamatkan oleh seorang pahlawan.

"Aku menemukanmu."


CREATORS' THOUGHTS
IssacAJNight IssacAJNight

Author's Note: Pertama kali coba cumi goreng enak bet sumpah. Seenak melihat kalian yang membaca ini, hehe.

Emang ya, kalau hal baru yang enak itu perlu ada awalnya dulu.

Btw, sosmedku sekarang sebatas akun pribadi. Jadi untuk sekarang mohon ditunggu sampai aku merasa ingin endorse, hehe.

Oh ya, chapter baru akan di-publish setiap rabu sampai 27 September. Tolong dinantikan!

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login