Download App

Chapter 2: MENUNGGU DENGAN GALAU

Lusi masih menelungkup dengan posisi handphone berada di atas kepala. Padahal dia tahu sangat berbahaya kalau meletakkan peralatan elektronik saat tidur dengan cara itu.

Sejak perkenalannya dengan someone, berharap agar dihubungi kembali. Dan saat ini Lusi sedang dirundung galau. Berharap someone segera menghubungi lembali.

Sejak semalam Lusi menantikan karena menurutnya dimalam hari pasti sedang tidak melakukan aktifitas dibandingkan siang hari.

Dan pagi ini, Lusi masih merasa mengantuk akibat terlambat tidur.

Lusi membalikkan tubuhnya pada posisi telentang hingga sepasang matanya tertuju pada Platon Kamara.

Tiba-tiba bunyi getar handphonenya. Tanpa menoleh, salah satu tangannya menjangkau.

Hmm... Rara, bisiknya.

"Halo, Ra...," terdengar suara Lusi mengantuk.

"Kuliah, nggak?" Tanya Rara penuh rasa khawatir.

"Iya dong...," sahut Lusi asal-asalan.

"Masih ngantuk gitu?" Rara masih khawatir.

"Habis..., mau gimana lagi?"

"Namanya juga menunggu." Rara mulai menggoda.

"Awas kamu ya?" Ancam Lusi.

"Sampai jam berapa?"

"Tiga pagi."

"Gila banget, sampai segitu amat?" Rara masih terus menggoda.

"Gitulah." Sahut Lusi pasrah.

"Kamu pasti lagi galau, nih." Ucap Rara.

"Hee...eeh."

"Kasihan banget. Lebih baik kamu mundur," saran Rara.

Sekejap Lusi bangun dan duduk bersilah di atas tempat tidur.

"Kok kamu sarannya seperti itu, sih?"

"Daripada kamu ntar sakit benaran? Coba gimana?"

"Ah, masa sih sampai gitu?"

"Tuh, hidung kamu udah bunyi bindeng-bindeng kayak mau flu." Jelas Rara kembali menunjukkan rasa khawatir.

"Kamu tau sendiri kan Ra? Aku ini paling susah..., pokoknya nggak segampang itulah..." Lusi nyerocos begitu saja.

"Uuuhhh... kamu itu kalo ngomong kayak syair lagu aja," potong Rara.

"Kenapa ya Ra, itu cowok nggak nelepon balik?" Suara Lusi sedikit berbisik.

"Mungkin saja dia lagi sibuk dengan pekerjaan," jawab Rara sedikit menghibur.

"Masa sih malam-malam juga masih sibuk kerja?"

"Ya... bisa aja kan? Atau dia masih Menahan diri gitu?"

"Nelepon kok mesti thanks diri."

"Bisa aja kan? Nanti ngomongin apa aja? Atau dia pengen nembak kamu, caranya gimana?"

"Hahaaahaaa," tawa Lusi meledak seketika.

Rara ikut merasa senang, sahabatnya itu mulai terhibur.

* * *

Bandara Juanda

Liza menunggu dalam Mobil di pelataran parkir. Saat tiba, Bagas pasti menghubunginya lewat WA.

Sambil menunggu pesawat dari Ambon via Makassar, Liza membalas email dari beberapa penulis yang menanyakan naskah atau mengirimkan bagian-bagian naskah yang harus diperbaiki ke beberapa penulis.

Ini untuk pertama kali ketemu langsung dengan Bagas, selebihnya hanya via email, handphone. Kemudian meningkat lagi lewat WA dan video call.

Ah, ingatan Liza kembali ke lima belas tahun lalu. Untuk pertama kali nerima surat dari Bagas yang ingin berkenalan dengannya.

Liza sempat membalas dan menerima persahabatan yang ditawarkan Bagas.

Namun ketika Bagas bersurat lagi, serta mengharapkan Liza membalasnya, Liza tak pernah melakukannya.

Entah apa yang menyebabkan saat itu terhenti begitu saja korespondensi diantara mereka.

Mungkin karena keduanya sangat jauh, terlebih Liza di SMA Santa Maria sangat padat kegiatan yang dia ikuti.

Apalagi saat itu rasa kecewa akibat gagal maju ketahap berikutnya dalam lomba model rambut dengan salah satu produk shampo terkenal yang diselenggarakan majalah remaja bergender cewek.

Liza tak ingat lagi sosok Bagas yang sempat membuat teman-teman dekatnya heboh dan mereka sering menggodanya.

Ingatan Liza buyar seketika saat bunyi WA dan muncul pada layar bagian atas notifikasi Hai aku udah nyampe nih.

Liza tersenyum...

Segera membenahi dandanannya dengan menatap kaca spion tengah yang memperlihatkan kondisi kulit wajahnya terlihat glowing banget.

Kemudian merapikan lipstik dan memperbaiki rambut dengan mengikat kebagian belakang dan membenahi rambut bagian depan supaya terlihat pada posisinya sehingga menambah wajahnya terlihat semakin menawan.

Dengan atasan kemeja model masa kini dan bawahan rok jins mini warna pudar, sehingga memperlihatkan kedua lututnya yang tampak mengkilap sampai betis kaki dan dengan beralaskan sepatu kets, membuat penampilannya tak kalah dengan model terkenal yang sering tampil pada majalah mode.

* * *

Celingak-celinguk, Liza berusaha mencocokkan setiap wajah pria yang keluar dari pintu kedatangan dengan wajah Bagas yang pernah dilihatnya pada saat video call.

Kok belum keliatan sih? Gumam Liza tak sabar lagi.

Liza terus konsentrasi untuk mengenali wajah Bagas.

Yesss..., akhirnya... Bisik Liza. Kemudian tersenyum lebar sambil berlari.

"Bagas...," ucapnya lebih mendekat dan langsung merangkul leher Bagas yang tampaknya juga sudah dapat memastikan bahwa yang memeluknya tak lain adalah Liza, kemudian balas memeluk.

"Akhirnya kita bertemu langsung," bisik Liza sambil menatap wajah Bagas lebih dekat.

"Setelah lima belas tahun," balas Bagas. Hingga membuat jemari tangan Liza menyentuh dengan lembut leher Bagas pada bagian belakang.

Bagas tersenyum dan senang melihat sikap Liza yang tampak ingin menunjukkan padanya sudah lama menantikan pertemuan seperti sekarang ini.

"Ayo kita ke mobil," ajak Liza sambil menggamit salah satu lengan Bagas.

Kemudian mereka menuju mobil Liza yang tampak seperti dua sepasang kekasih yang sudah lama nggak ketemu.

Bagas duduk di kursi depan, sedangkan Liza berada di belakang kemudi.

Setelah menstarter; Liza kemudian menekan tombol AC sehingga didalam mobil mulai terasa sejuk.

Saat Bagas meraih tangan kirinya yang hendak memasukkan persneling, akhirnya Liza mengurungkan dan membiarkan tanganya ditarik hingga membuat mereka semakin rapat dan berpelukan.

Tangan Bagas menekan handle kursi Liza dan handle kursinya juga. Sehingga sadaran kursi merendah kebagian belakang.

Kedua mata Bagas melihat kearah luar untuk memastikan tak ada kendaraan lain yang parkir berdekatan.

Liza tersenyum sambil merengkuh leher Bagas kedalam pelukannya.

Mereka berdua berpelukan seperti sepasang kekasih yang sudah pernah mengikat janji.

Kemudian tangan Liza menekan handle kursi, sambil melepas pelukan Bagas.

* * *

Lusi menyusuri koridor kampus menuju kelas. Dan sesekali kedua matanya menatap kesana-kemari seperti mencari seseorang yang tak lain Rara sahabatnya.

Sampai di depan kelas, Lusi tak langsung masuk. Melainkan menunggu Rara sambil menyandarkan tubuhnya di tembok.

Kemana ini anak? Bisik Lusi.

Tiba-tiba getar handphone dari ransel.

Pasti ini Rara, bisiknya sambil mengulurkan tangan kedalam ransel dan mengeluarkan handphone, pada layar atas terlihat notifikasi : aku udah di kelas.

Lusi menjulurkan kepala lewat pintu.

Dari kursi yang biasa mereka duduki bersama terlihat Rara melambai kearahnya.

Kedua kaki Lusi bergerak cepat menuju kursi yang sudah disiapkan Rara dengan meletakkan ransel diatasnya.

Bagi Lusi sangat membosankan jika harus menunggu dosen.

"Someone udah nelepon balik?" Tanya Rara sambil asyik dengan medsos di handphonenya.

"Bodo amat...," sahut Lusi dengan nada kesal.

"Yang sabar..., ucap Rara tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphonenya.

Hmm... entah sampai kapan, gumam Lusi.

Akhirnya dosen yang ditunggu sudah datang. Lusi menyikut Rara, supaya berhenti.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login