Download App

Chapter 2: Chapter 2 : Mawar Es yang Berduri

***

Kereta kuda yang muncul dari rimbunnya hutan akhirnya melewati padang bebas yang tertutup salju. Tepat di seberang padang nan luas itu, Kota Ansias berdiri selayaknya pemukiman penduduuk yang terkenal maju. Banyak rumah dan bangunan yang didirikan di tanah kota itu, membuatnya terlihat makmur dan pantas dijuluki Ibu Kota Kerajaan Thylon, kerajaan terbesar di benua.

Hanya saja rombongannya tidak melewati gerbang besar untuk memasuki pemukiman seperti yang Lune duga. Tetapi bergerak lurus melewati padang yang luas di tepian Ibu Kota. Lune sedikit kecewa karena ia tak berkesempatan melihat kota Ansias untuk pertama kali. Namun, Ia cepat-cepat menghapus kekecewaannya. 'Lagipula, cepat atau lambat aku akan hidup di sana. Entah sebagai gelandangan atau budak...,' pikir Lune cemas.

Groong!

Suara gerbang raksasa itu meraung dengan keras. Kecemasan Lune berhenti karena kegelapan perlahan merayap ke dalam kereta ketika rombongan melewati gerbang bebatuan yang menjulang tinggi. Di dalamnya, Lune langsung bisa melihat tanah luas seperti lapangan raksasa.

Dari kejauhan bahkan telah terlihat bangunan-bangunan kokoh yang menjulang, seakan siap menyambut para rombongan yang datang. Lune pernah mendengar bahwa tanah Istana yang luas ini dibangun banyak sekali bangunan untuk tempat tinggal anggota kerajaan. Istana Raja, Istana Ratu, Istana Pangeran, bahkan para sepupu dan keponakan raja memiliki hak untuk memiliki bangunan istana sendiri. Lagi-lagi, Lune menggigit bibirnya setelah menghela napas cemas.

Para prajurit langsung menghentikan kuda di lapangan dan membawakannya ke kandang. Hanya kereta kuda dan seorang ksatria yang melaju menuju sebuah bangunan. Bangunan paling tinggi ini tentu saja Istana Raja

Ketika Lune sibuk mengintip dari balik jendela kereta, langkah kaki kuda mulai berhenti. Lune menatap Sang Peramu dengan wajah bertanya-tanya. Menyadari kebingungan anak kecil di depannya, Peramu Tua itu mulai membuka suaranya dengan ramah.

"Kereta kuda harus berhenti sebelum memasuki taman Istana Raja. Kita akan berjalan mulai dari sini."

Lune mengangguk mengerti sebelum akhirnya ia mengikuti Sang Peramu untuk turun dari kereta.

Sesaat setelah ia keluar, hembusan angin mulai menyambutnya dengan kasar sehingga membuat Lune bergidik kedinginan. Berada di luar kereta ternyata sangat jauh lebih dingin dari bayangan Lune. Lune segera mengangkat tudung jubah untuk menutupi kepalanya ketika merasakan butiran salju mulai menghujani wajah dan rambutnya dengan liar. Benar-benar badai salju yang membekukan.

Sang Ksatria turun dari kudanya dan memanggil seorang pesuruh yang duduk di samping kusir. Setelah menyerahkan kudanya, Ksatria itu menatap Lune dan Sang Peramu.

"Silahkan ikuti saya," ucap Sang Ksatria dengan suara yang dingin dan bermartabat, kemudian mulai berbalik.

Lune dan Sang Peramu mengikuti Ksatria itu dengan jarak yang cukup jauh dan melewati jalan dengan iringan pohon-pohon yang gundul tanpa daun. Ksatria itu tetap berjalan dengan langkah kakinya yang panjang tanpa berbalik sekalipun. Rupanya ia tidak menyadari, orang-orang yang mengikutinya adalah orang tua yang letih dan seorang anak kecil dengan kaki pendeknya.

Di sepanjang jalanan yang dingin, kesunyian seakan sedang melahap seluruh taman yang besar ini. Hingga akhirnya terdengar suara yang memecahnya.

"Apa kau memakan sesuatu saat terkena wabah, Nak?" tanya Sang Peramu, mencoba memulai topik pembicaraan.

Ia masih mengingat jelas bagaimana kehidupannya jatuh sejak pertengahan musim gugur hingga musim dingin ini. Setiap hari ia terus memakan bubur gandum yang dimasak Phellea di perapian dengan tertatih-tatih.

Jika gandum di rumah habis, yang bisa dimakan hanyalah roti keras yang dicampur air hingga mengembang, rasanya sangat hambar hingga membuatnya mual jika mengingatnya. Lune masih ingat melihat Phellea merangkak kesakitan untuk mengambil salju di luar. Saat persediaan air habis dan sumur membeku, mereka hanya bisa mencairkan salju untuk makan dan minum.

Lune termenung sejenak, kemudian ia membuka mulutnya dan mengeluarkan suara yang kecil.

"...kami hanya memakan roti kering dan bubur gandum." Setelah agak ragu, Lune bertanya dengan malu-malu. "Apa ada masalah, Tuan?"

"Oh, bukan apa-apa," ucap Peramu Tua itu seakan bergumam. Namun, ketika melihat Lune mulai teralihkan pikirannya karena penasaran, Sang Peramu mulai memberikan tanggapan yang layak. "Hanya saja semuanya terasa sedikit aneh. Dari semua orang di desa yang terkena wabah, hanya kau yang selamat, Nak. Aku pikir karena kau memakan sesuatu."

'Kau benar, Tuan. Sepertinya ramuan milik Phellea yang menyelamatkanku dari wabah,' batin Lune.

Meskipun, tampaknya peramu itu masih penasaran, tetapi Lune tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Entah mengapa, Ia memiliki firasat buruk jika mengatakan yang sebenarnya.

Orang-orang Thybris terlalu takut dengan wabah aneh ini hingga tidak ada yang mengirimkan bantuan selama sebulan ini. Bahkan satu-satunya bantuan yang datang adalah kiriman kerajaan yang terlambat...

Menyadari topik sensitif itu, Sang Peramu menyela dengan suara yang tenang.

"Ah... Sepertinya bukan karena makanan. Keberuntungan apapun itu, bersyukurlah. Kau satu-satunya yang selamat, Nak. Jalani kehidupanmu dengan baik."

Lune hanya mengangguk seperti murid yang patuh karena telah mendengar sesuatu yang sama berulang kali.

Percakapan itu berakhir tepat setelah mereka hendak menaiki tangga. Hanya anggota kerajaan dan para bangsawan penguasa tanah yang bisa membangun tangga bebatuan di depan kediaman mereka, hanya karena mereka memiliki halaman yang cukup luas untuk itu. Inilah pertama kalinya Lune menaiki tangga. Ia pikir rasanya seperti berjalan di bebatuan menanjak yang teratur dan kokoh.

Di penghujung tangga, Lune bisa melihat pilar-pilar batu berdiri tegak menyangga bangunan yang besar. Semuanya terlihat megah dan kokoh. Entah mengapa Lune merasa sedikit takut. Di bagian depan bangunan, terdapat pintu yang sangat besar dan tinggi, mungkin cukup untuk sepuluh orang kurus masuk secara bersamaan. 

Lamunan Lune pecah karena suara keras yang muncul tiba-tiba. Lune refleks mengarahkan matanya ke pemilik suara itu. Itu adalah suara Ksatria di depannya yang sedang membungkuk ke arah lain.

Lune segera berbalik ke samping, dan menemukan seorang wanita cantik dengan gaun musim dingin berbulu yang megah bersama dayang-dayang yang membungkuk di belakangnya. Wanita itu berdiri dengan tegak dan bermartabat layaknya bangsawan.

"Salam, Yang Mulia Ratu Emistrys," ucap Ksatria itu sambil membungkuk dengan hormat.

'Ratu?!' batin Lune yang berteriak di dalam segera menyadarkannya akan keadaan sekitar.

Sang Ksatria dan Peramu Tua sudah membungkukkan badannya di depan Ratu yang memasang wajah dingin, sedingin musim es. Lune buru-buru membungkuk mengikuti mereka dengan gerakan tegang.

Emistrys, Putri ke-9 dari kerajaan Elyzir. Sekalipun pernah digosipkan sebagai adik kesayangan dari raja Elyzir, nyatanya Ia dikirim dalam pernikahan politik hanya untuk mencegah peperangan dengan kerajaan Thylon.

"Berdirilah," ucap Sang Ratu dengan suara yang besar, cukup untuk membuat Lune takut dan kagum. "Apa mungkin kalian ingin bertemu Yang Mulia Raja?"

"Benar, Yang Mulia. Ada sesuatu yang harus kami laporkan."

"Sayang sekali. Tapi Yang Mulia baru saja masuk ke ruang pertemuan bersama utusan dari Elyzir," ucap Sang Ratu sambil terus mempertahankan dagunya yang sedikit terangkat. Sang Ratu mengalihkan pandangannya sejenak ke arah taman istana yang terkubur salju dengan tenang seolah berpikir, hingga akhirnya ia menoleh ke arah Ksatria sambil bertanya dengan tenang, "Sampaikan laporannya padaku. Aku akan meneruskannya pada Yang Mulia setelah pertemuannya selesai. Tentang masalah apa?"

Sang Ksatria diam sejenak seolah menenggelamkan keraguannya. "Kami akan membuat laporan mengenai Desa Addis, Yang Mulia."

"Addis?..." Sang permaisuri mengetukkan jari telunjuk di lengannya sambil menatap ke bawah seraya berpikir, "Ah, salah satu desa yang terkena wabah itu. Bukankah desa itu masuk ke wilayah Kota Thybris? Kenapa Prajurit Kerajaan mengurus hal itu?"

"Bangsawan penguasa Thybris menolak mengirim prajurit ke desa itu karena takut wabah akan menyebar ke kota, Yang Mulia. Tapi Yang Mulia Raja mengirim kami untuk memeriksa desa agar mayat para penduduk tidak mengundang monster mendekati pemukiman Ansias."

Lune merasa tenggorokannya tercekat saat mendengar ucapan Ksatria di depannya. Sejak wabah itu memasuki desa, Lune selalu mendengar rintihan minta tolong dari segala penjuru setiap kali ia membuka mata.

Bahkan setiap fajar datang, Phellea akan menatap jendela untuk menunggu bantuan dengan penuh harap. Karena itu, saat mengetahui bahwa semua orang membiarkan para penduduk desa mati, Lune merasa hatinya tenggelam. Kemudian, ia mendongakkan matanya dengan hati-hati.

Sang Ratu mendengarkan dengan mata tajam yang fokus sambil mengelus-elus selendang putih berbulu dengan tangan rampingnya.

"Manusia-masusia pengecut dari Thibrys sepertinya tidak berubah."

"..."

"Kalian tidak langsung membakar desanya?" ucapan Ratu yang tiba-tiba itu menyambar tajam telinga Lune seperti kilatan petir. Membayangkan ia bisa saja terbakar hidup-hidup di kamar tua itu, membuat punggungnya dingin.

Sang Ksatria menundukkan kepalanya hormat kemudian membuka mulutnya dengan tenang seolah-olah telah menemukan alasan untuk menjawab tuannya.

"Walaupun desa itu cukup kecil, tapi akan susah membakar semuanya di tengah badai salju musim dingin yang besar ini, Yang Mulia."

"Kita tidak bisa mengambil resiko sampai wabah itu bisa menyebar ke tempat lain. Bakar setelah badainya berhenti."

Kata-kata Ratu yang keluar dengan tenang itu membuat tengkuk Lune merinding. Rumah satu-satunya yang ia miliki dan satu-satunya tempat ia kembali, akan lenyap. Lune menundukkan kepalanya karena yang tersisa di dalam diri Lune saat mendongakkan wajahnya adalah ketakutan.

"Baik, Yang Mulia," ucap Sang Ksatria.

Sesaat setelah suara Sang Ksatria menghilang, Peramu Tua yang berdiri di samping Lune membuka suaranya.

"Yang Mulia. Lalu, ke mana kami akan mengirim anak ini?"

Sang Ratu yang dengan cepat melirik ke arah Lune bersamaan saat Lune mengangkat kepalanya menatap Ratu. Lune dengan cepat mengubah matanya yang membelalak menjadi mata tenangnya yang sayu.

"Siapa anak ini?"

"Dia satu-satunya penduduk desa yang selamat, Yang Mulia."

"Apa kau yakin dia tidak terserang wabah? Tidaklah kau berpikir dahulu sebelum membawanya ke istana? " tanya Sang Ratu dengan mata menyelidik.

"Mohon maaf atas kecerobohan saya, Yang Mulia. Sejauh yang saya amati, anak ini sangat sehat. Sampai saat ini, wabah asing itu tak ada obatnya dan anak ini tidak memperlihatkan tanda seseorang yang tertular wabah karena kami menemukannya hanya dalam kondisi kedinginan tanpa mata yang memerah, Yang Mulia."

'Tidak terpapar?' Lune menahan napasnya, sesekali mencengkeram ujung jubahnya dengan gugup.

"Satu-satunya yang selamat?..." Sang Ratu mengeluarkan suara yang hampir mirip seperti gumaman sambil menyentuh dagunya dengan telunjuk seolah sedang berpikir.

"Benar, Yang Mulia. Seluruh penduduk desa telah terjangkit dan tewas. Karena anak petani ini tidak memiliki apa-apa lagi, mohon pertimbangkan yang terbaik, Yang Mulia."

Setelah Peramu menyelesaikan ucapannya, mata Lune berpindah mengamati wajah Sang Ratu. Untuk sesaat Lune membelalakkan matanya. Kemudian Lune mengedip dengan tidak yakin saat melihat sesuatu di balik jari-jemari Sang Ratu yang menutupi mulutnya, salah satu ujung bibir Sang Ratu terangkat. Lune berusaha menyingkirkan pemikirannya, tapi ia merasa tidak asing dengan apa yang ia lihat sekarang.

Senyum itu persis seperti senyum para pedangang licik yang merencanakan sesuatu saat membeli gandum. Lune tidak percaya dengan apa yang ia lakukan sekarang, ia sedang mencela Sang Ratu di hadapannya langsung. Ia mengatupkan giginya lebih kencang, menahan agar apa yang ia pikirkan tidak keluar dari mulutnya.

"Anak yang tidak punya apa-apa, kau bilang...?" Sang Ratu kembali bergumam, masih dengan ujung bibir yang terangkat. Kemudian Ratu menurunkan tangannya dan mengembalikan wajahnya yang kaku dan dingin. "Aku akan mengurus masalah ini. Untuk sementara anak ini akan tinggal di kamar pelayan sampai aku memutuskan."

"Baik, Yang Mulia," ucap Sang Peramu dan Ksatria sambil membungkuk, menyisakan Lune yang memandang ke depan dengan tatapan kosong tak mengerti.

Sang Ratu berbalik dan mengisyaratkan satu pelayan untuk mengantar Lune, kemudian berjalan menjauh sampai ke ujung belokan. Sedangkan Sang Ksatria dan Peramu mulai berjalan menuruni tangga tanpa mengucapkan satu katapun.

"Ikuti aku," ucap Si Pelayan sembari berbalik menuju tangga. Suara pelayan di depannya itu menyadarkan Lune bahwa hanya mereka berdua yang tersisa di tempat sepi itu.

"Baik."

Lune segera mengejar pelayan itu, menuruni tangga dan berjalan kaki di bawah guyuran salju.

Suasana di Istana ini lebih sunyi dari apa yang Lune bayangkan. Padahal di tempat ini berdiri banyak sekali bangunan besar yang pasti ditinggali banyak anggota kerajaan dan bangsawan kerabat. Tapi musim dingin yang masih membekukan ini mungkin membuat orang-orang itu meringkuk di depan perapian. Lune hanya melihat beberapa prajurit yang menyingkirkan salju-salju di jalan setapak dengan sekop.

Saat musim dingin datang, jalanan di desanya biasa tertutupi salju yang menggunung setinggi pinggangnya karena dibiarkan selama berhari-hari. Tapi melihat salju-salju di jalanan istana ini hanya setinggi mata kakinya, Lune bisa membayangkan betapa bekerja kerasnya prajurit-prajurit istana ini. 

Melihat pelayan muda di depannya berjalan cepat tanpa berniat melambat dan menunggunya, Lune mulai mempercepat langkahnya dengan tergesa-gesa. Langkah kaki mereka mulai mendekati bangunan lain. Terlihat tinggi dan suram. 

"Kita tidak akan lewat pintu depan Istana Ratu. Cepatlah, kita harus masuk dari pintu belakang," Pelayan muda itu berbalik memeriksa keberadaan Lune sebelum akhirnya berjalan melewati bagian samping bangunan itu.

Lune yang bahkan tak sempat untuk mengangguk, mulai berlari kecil mengejar pelayan itu. Bagian samping Istana Ratu terasa sangat panjang untuk dilewati. Lune mulai terengah-engah, kemudian mengusap keringat di dahinya dengan cepat sebelum keringat itu membuat suhu tubuhnya semakin dingin.

Setelah melewati jalan yang panjang, Pelayan itu membuka pintu belakang dengan tergesa-gesa. Mungkin kedingingan. Hal pertama yang Lune rasakan di dalam ruangan itu adalah kehangatan.

'Bahkan bagian belakang istana ratu tampak terasa lebih hangat di bandingkan rumahku.'

 Setelah melewati perjalanan di tengah salju seharian, ia akhirnya bisa bernapas dengan hangat tanpa mengepulkan asap putih yang dingin di mulutnya.

Lune baru menyadari ruangan pertama yang ia lewati adalah dapur setelah pelayan itu menghidupkan lentera untuk menerangi ruangan yang gelap. Lune terus mengikuti di belakang Sang pelayan dengan patuh hingga sampailah mereka di ruangan kecil paling ujung.

"Sementara kau akan tidur disini. Masuklah."

Lune masuk ke kamar dengan patuh. Untuk ukuran kamar di pojok Istana, ruangan ini adalah yang paling kecil. Walaupun tidak ada perapian, tapi setidaknya cukup hangat untuk melindunginya dari dinginnya udara di luar.

Pelayan itu mulai berbalik sampai akhirnya terhenti oleh suara cicitan yang malu-malu.

"P-permisi. Tapi... apakah ada sedikit makanan untuk saya?"

Lune menunduk dan meremas ujung jubahnya dengan gugup, menunggu jawaban yang tak kunjung datang. Pelayan itu terdengar menghembuskan napas dengan keras.

"Haah... Yang Mulia Ratu bahkan tidak memberikan tugas untuk itu," gumam Sang Pelayan hampir tak terdengar, kemudian berbicara dengan malas, "Hari sudah hampir gelap, tidurlah sekarang. Besok pagi baru menghadaplah dan bicara pada Ratu."

Setelah pelayan itu pergi, Lune segera merebahkan tubuhnya ke kasur kecil. Kasur itu bahkan lebih bagus dari miliknya di rumah, walaupun sedikit kotor. Mungkin tidak pernah digunakan orang sebelumnya.

'Bagaimana aku bisa menghadap Ratu?'

Setelah ia terbangun di rumahnya pagi tadi, ia bahkan belum menelan secuil roti. Tanpa sadar Lune meletakkan tangannya di atas perut sambil menatap langit-langit ruangan dengan mata yang redup. Ia ingin segera menyerah dengan rasa kantuknya sebelum rasa rindu pada Phellea muncul. Dari segala ketidakpastian masa depan yang terus Lune pikirkan, matanya mulai menutup dan membawanya terlelap seperti orang pingsan.

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login