Download App

Chapter 3: RoMH 3 - Aku

Aku terkadang heran tentang kenapa sampah masyarakat sepertiku ditakdirkan untuk memiliki hidup bahagia dengan uang yang sangat banyak dan juga orang-orang baik di sekitarku.

Masalahnya, sekali lagi kukatakan, ada banyak cara untukku menyiksa Ariel. Entah itu mengenai batin atau pun fisiknya.

Ariel adalah wanita yang tangguh. Satu-satunya wanita yang tidak melihatku dengan mata menghakimi walaupun aku sudah menyiksanya. Yang ada di mata Ariel adalah pandangan kasihan, khawatir, cinta, polos dan pengertian. Ada pula pandangan sedih dan putus asa yang dia tunjukkan pada saat-saat terakhir sebelum kematiannya.

Salah satu keberengsekanku yang kulakukan untuk Ariel adalah menghina makanan yang dibuat olehnya sendiri, di depan para pelayan dan juga wanita-wanita yang kubawa.

Ariel, dia tetap diam dan dengan sabar menatapku yang makan bersama wanita lain. Ariel berada di barisan para pelayan, seolah itu adalah tempat miliknya.

Makanan Ariel tentu saja enak. Aku selalu menghabiskannya atau menyisahkan sayuran-sayuran yang disimpannya di sisi piring.

Contoh kasusnya, adalah ketika Ariel menyiram saos barbeque di atas daging. Aku akan mencelanya, "Apa ini? Terlihat seperti muntahan! Apa aku menyuruhmu untuk menyiram saos di atasnya?! Ini terlihat sangat jelek dan membuatku tidak nafsu makan!! Sial, jika tidak kumakan, uang yang kuhabiskan untuk masakanmu akan sia-sia!!"

Dan ya, bajingannya, aku menghabiskan makanan yang sangat lezat buatan Ariel. Dan saat Ariel memisahkan saosnya, aku merasa menyayangkannya karena lebih enak saat menyiramkan saos di atasnya. Jadi, aku menghina makanannya lagi di depan wanita yang kubawa.

Contoh kasus lainnya adalah, "Kudengar jika piring selalu digunakan, maka akan terkena bakteri dan juga berkarat. Lihat berapa piring yang kau gunakan! LIHAT!! MENGAPA KAU SELALU TIDAK BECUS?! APA UANGKU HARUS TERUS KUHABISKAN UNTUK KEBUTUHKAN MEMASAKMU?!"

Tentu saja piring tidak bisa berkarat, oh diriku yang bajingan di masa lalu.

Yang paling parah adalah ketika aku dan Ariel pertama kalinya bertengkar hebat. Ariel tidak pernah meninggikan suaranya padaku. Namun, setelah malam itu, Ariel membuat sarapan untukku seperti biasanya.

Aku sangat marah melihat dia yang tidak merasa bersalah dan bersujud memohon maaf padaku. Hari itu, aku menarik sarung meja kuat-kuat hingga semua piring dan gelas di atasnya berterbangan. Makanan yang dibuat susah payah oleh Ariel untuk menyenangkanku, akhirnya berjatuhan.

Itu pertama kalinya aku melihat Ariel bergetar tanpa kata. Matanya menatapku dengan marah, namun ada sirat putus asa di dalamnya. Lalu, aku mencelanya, "Kenapa?! Kau tidak terima?!"

Ariel hanya diam, mengeratkan genggaman tangannya di celemek yang digunakannya.

Melihatnya yang menatapku dengan tatapan seperti itu, tentu saja membuatku marah dan membentaknya lagi. "JAWAB AKU!! APA KAU TIDAK TERIMA DENGAN TINDAKANKU?!"

Namun Ariel hanya menatapku beberapa lama dan menelan ludahnya dengan susah payah. Dengan gemetar, dia berkata, "... Aku akan menyiapkan bekal ...."

Seharusnya, saat itu aku diam saja. Tidak perlu untuk meledak-ledak. Ariel tentunya bersikap seperti itu untuk menghentikan pertengkaran kami. Namun, aku ingin melihatnya merendahkan diri dan memohon ampun padaku. Jadi, daripada menghentikan perdebatan itu, aku akhirnya menarik lengannya dengan kasar dan membentaknya tepat di depan wajahnya. "Dengar!! Sekali lagi kau mendikteku tentang apa yang kulakukan, aku akan membunuhmu, kau mengerti?!"

Saat itu, wajah pucat Ariel berkaca-kaca ketika menentangku. "Erick! Kenapa kau tidak mengerti?! Apa yang kau lakukan itu salah!! Kau sudah menyakiti banyak orang!! Kau-"

"BERISIK!!" Aku membentaknya, dan mendorong tubuhnya hingga terjatuh di antara pecahan beling. "KAU PIKIR KAU HEBAT?! KAU PIKIR KAU ADALAH MALAIKAT?! JIKA KAU MALAIKAT MAKA SEHARUSNYA KAU MENINGGALKANKU SEDARI LAMA! TIDAKKAH KAU MENGERTI?! KAU HANYA MEMBUATKU MEMBUSUK DI DALAM PENJARA YANG BERNAMA PERNIKAHAN!!"

Ariel tersentak sejenak sebelum diam menundukkan kepalanya. Dia duduk di antara pecahan-pecahan. Darah sudah tercecer di beberapa tempat. Namun yang kurasakan adalah kepuasan. Aku sudah mendominasinya. Aku sudah membuatnya terjatuh di lantai. Aku menang. Jadi, setelah itu aku menendang pecahan piring ke arahnya dan berbalik pergi. Namun, belum sepenuhnya aku pergi, aku mendengar suara Ariel lagi.

"Baik, jika itu maumu."

Aku tentunya berhenti dan menatap Ariel yang masih berada di lantai. Saat itu Ariel menatapku lama, dan air matanya mengalir saat berkata. "Kita akan berpisah dari penjara yang bernama pernikahan ini."

Aku lupa apa yang kurasakan saat itu. Yang kutahu, aku berkata padanya untuk segera membuat surat cerai dan memberikannya padaku. Aku mengabaikan tangisan Ariel. Mengabaikan Ariel yang kesakitan di lantai. Dan meninggalkan ucapan perpisahan pertama dari Ariel. Wanita yang biasanya selalu bersabar padaku.

Dan sekarang, aku berada di sini lagi. Di tempat aku meninggalkan Ariel di kehidupanku yang sebelumnya. Ariel berdiri di barisan para pelayan tanpa kusuruh dan aku bingung bagaimana caranya untuk membawanya ke atas meja yang sama.

Aku menelan ludahku dengan susah payah. Jika sikapku tiba-tiba berubah dalam semalam, tentunya Ariel dan yang lainnya akan kebingungan. Dan aku pun belum menanyakan apapun pada Ariel karena kesedihan yang kurasakan sebelumnya.

Aku mengetuk-ngetuk meja makan dan menghela napas panjang.

Baiklah, mari kita jalani dulu.

Aku bersidekap di depan dada dan menatap Ariel lurus-lurus. "Semuanya kecuali Ariel, keluar dari sini."

Kata-kataku menyentak para pelayan yang berada di sana. Mereka tidak segera pergi dan tetap diam di tempatnya. Mereka pasti takut aku menyakiti Ariel atau membunuhnya.

Ah ... kata-kata membunuh itu membuatku ingin menangis.

Dan sebelum aku kembali harus menahan tangis ini, aku pun membentak. "KELUAR!!"

Semua orang yang tadinya berbisik kebingungan, tiba-tiba memutuskan untuk benar-benar pergi dengan tatapan khawatir yang mereka layangkan pada Ariel sebelum menghilang dari ruangan ini.

Baiklah, mari pelan-pelan. Tobat tidak mungkin membuat pikiran orang-orang berubah secepat itu. Lagipula, yang tadi itu bukannya akting tapi memang sifatku di kehidupan masa laluku.

Aku menghela napasku dan menatap Ariel yang berdiam diri polos di sana. Aku mengedikan daguku ke arah kursi. "Kemarilah."

Ariel menurut dan duduk di kursi yang kutunjuk. "Erick, ada apa? Apa kau sakit?" tanyanya dengan khawatir.

Sebelumnya, aku pernah berpikir bahwa ini adalah mimpi, ataupun kehidupan sebelumnya yang merupakan mimpi burukku. Namun, saat aku ke kamar mandi untuk menangis dan menendang tembok serta memukulkan kepalaku ke tembok, rasanya benar-benar sakit dan kuyakin itu bukan mimpi. Dan mustahil juga jika kematian Ariel merupakan mimpi. Itu terlalu jelas dan aku bahkan tahu bahwa aku memang melewati kehidupan itu. Rasa peluru yang menusuk jantungku pun masih terasa nyata. Dan aku masih merasakan kejang-kejang itu. Jadi, bisa dipastikan bahwa kehidupanku yang sebelumnya juga bukan mimpi.

Aku benar-benar bereinkarnasi.

Aku menghela napas panjang dan menatap Ariel dengan wajah songong seperti biasanya. "Kau. Kapan aku dan kau melakukan BDSM terakhir kali?"

Ariel menjawab dengan polos. "Apa kau lupa? Itu terjadi kemarin."

Aku melotot. "Kemar-" aku menghentikan ucapanku dan mengerang di dalam hati.

Sudah kubilang, ada banyak cara untukku menyiksa Ariel. Ketika aku tidak bisa berdiri, aku akan menemui Ariel untuk membuatku berdiri dan setelah berdiri, aku berbalik arah dan tidak menyetubuhi Ariel, melainkan menyetubuhi wanita yang kubawa.

Benar-benar bajingan, bukan?

Bahkan, dalam dunia per-esek-esekan, aku masih bisa menyiksanya sedemikian rupa.

Aku membuang napasku dengan pelan. Jika aku perhatian padanya, dia akan berpikir aku sakit jiwa. "Ah, ya, kemarin. Aku agak bingung karena aku sudah menghabiskan sex yang menyenangkan, tadi malam. Jadi kukira ini sudah seminggu," jawabku, bajingan seperti biasanya.

Kilatan sedih terlihat sepintas di mata Ariel. "Ah, begitu ...."

Baiklah, sudah cukup bermain-main. Bajingan ini, KENAPA KAU MEMBUAT ARIEL SEDIH?!

Aku berdeham. "Baiklah. Kalau begitu, apa kau tahu kejadian lima tahun yang akan datang?"

Ariel berpikir sejenak sebelum mencerna ucapanku dan berkata. "... Hah? Maksudnya ...?"

Baiklah. Tatapan heran Ariel yang memperlihatkan betapa anehnya pertanyaanku, membuatku berasumsi bahwa Ariel tidak bereinkarnasi sepertiku. Dan dia yang terus menatapku itu membuatku canggung, membuatku harus tertawa kaku. "Ha. Ha. Ha. Ha! Tentu saja kau tidak tahu! Ha. Ha. Ha. Ha. Tidak berguna!" aku berakting mencoba seperti diriku di masa lalu.

Ariel hanya menatapku, lalu menatap piringku. "Erick, kau tidak makan? Benar-benar sakit?"

Senyum kaku yang kubuat perlahan hilang. Aku menatap raut wajah khawatir yang ditunjukkannya. Ariel ... hanya wanita ini yang selalu mengkhawatirkan keadaanku di masa lalu dan masa sekarang.

Dia bertanya apakah aku sakit, di saat ketika dia terkena tumor, aku bahkan tidak menanyainya sekali pun. Padahal, wajah pucatnya tepat berada di depan wajahku.

Sial, jika lebih lama menatap wajah itu, aku pasti akan menangis lagi. Aku berdeham dan mengalihkan mata pada piring. "Menurutmu, bagaimana tampilannya?" tanyaku.

Ariel tidak langsung menjawab dan membuatku harus menatapnya. Dan yang kudapatkan adalah tatapan heran darinya. "Erick, apakah kau memiliki hari yang baik, hari ini?"

Rasa-rasanya benar-benar ingin menangis karena pertaubatanku diasumsikan orang-orang dengan ketidakwarasanku. Aku berdeham dan tersenyum miring. "Aku bermimpi memenangkan lotre, tadi malam. Benar-benar mimpi indah. Aku harus membeli lotre hari ini."

Ariel menjawab polos. "Erick, kau sudah banyak uang. Apa memenangkan lotre benar-benar membuatmu bahagia?"

Sial. Dia benar.

Aku hanya tertawa kaku lagi dan menjawab ucapannya. "Ha. Ha. Ha. Tentu saja! Orang kaya suka sekali dengan uang!"

Ariel menyerah dan hanya menjawab. "... Baiklah ...."

Aku yakin Ariel masih menganggapku gila. Tapi, karena Ariel adalah malaikat, dia membiarkanku saja.

Aku berdeham lagi. Akhirnya, aku memotong roti sandwich yang dibuatnya dan menusuknya dengan garpu. Setelah kutopang dengan sendok dan yakin tidak akan jatuh, aku mengarahkan sendokku ke mulut Ariel. "Cobalah betapa mengerikannya masakanmu," kataku, mencoba untuk menyuapinya sarapan dengan sangat alami. Aku bahkan mendalami karakter bajinganku di kehidupan sebelumnya.

Ariel terlihat heran dan berkata, "Tapi, itu sendok dan garpu milikmu."

Oh, diriku yang bajingan, kau bahkan tidak ingin satu mulut alat makan dengan Ariel kita yang malaikat ini? Jika ada mesin waktu, yang membunuhmu seharusnya adalah aku, wahai diriku di masa lalu.

"Jangan berisik dan cepatlah makan. Tanganku sudah pegal," kataku, mendalami karakter. Walaupun memang itu karakter asliku, aku hanya mencoba bertaubat.

Ariel akhirnya membuka mulutnya lebar-lebar dan memakan suapan sandwich dariku. Ariel menggigitnya pelan-pelan dan penuh penghayatan sebelum terdiam setelahnya.

Aku tersenyum lebar. "Bagaimana? Buruk, kan?!"

Ariel menelan makanannya dengan susah payah dan masih terdiam.

Aku mengerutkan alisku melihat responsnya. Tidak mungkin masakan Ariel benar-benar buruk, kan? Masakannya adalah masakan paling enak sejagat raya. Saat di penjara, aku bahkan harus membayangkan masakan dan wajah Ariel sebelum memakan makanan penjara.

Aku akhirnya memotong sandwich untukku sendiri dan memakannya dengan semangat. Tentu saja sangat lezat. Lalu, kenapa Ariel bertingkah seperti baru saja memakan kotoran?

Huwekk!!

Aku menoleh cepat ke samping, dan mendapati wajah memerah serta mata-mata berkaca-kaca Ariel. Tangan Ariel menutup mulutnya rapat-rapat dan suara orang ingin muntah terdengar lagi.

Rasa sakit itu muncul lagi di dadaku. Aku terpaku menatap wajah Ariel yang masih menahan muntah. Jantungku terus menerus berdenyut nyeri ketika memikirkannya.

Kupikir, saat itu.

Bukankah ... Ariel juga muntah-muntah? Saat-saat terakhir hidupnya. Saat kukira dia hamil, namun mulai memakan obat-obatan.

Tidak mungkin sekarang, kan?

Apa benar sekarang?

Apa memang ... Ariel sudah mendapatkan tumor di kepalanya pada tahun ini?

Tubuhku gemetar sementara tanganku menggenggam sendok kuat-kuat.

Tidak mungkin ....

Tidak.

Aku tidak mau.

TBC

Follow setelah membaca


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login