Download App

Chapter 2: Mawar Patah Tangkai

KELAS YANG AWALNYA kotor dan berantakan. Akhirnya rapih dan bersih. Lantai yang sebelumnya berdebu, kini berubah menjadi mengkilat. Licin kesat. Kinclong.

Akhirnya selesai juga! Sekarang waktunya pulang! Bisik hati Eva. Elisha ke mana ya? Tasnya ada tapi kok orangnya gak ada! Dasar gaib!

Eva keluar dari kelasnya. Membawa tas Elisha. Saat ia tiba di depan pintu kelasnya yang berdaun pintu dua itu. Tiba-tiba Elisha datang dari arah samping kirinya. Berlari-lari. Napas senin-kamis.

"Hai, Va! Makasih banget ya, tasku udah dibawain. Eva baik deh!" ujar Elisha manja.

"Oh yeeeee!" ledek Eva. Sinis.

Elisha terdiam. Menelan ludah.

"Dari mana kamu? Ngilang melulu kayak setan!" tanya Eva ketus.

"Aku habis dari kelas tiga IPA satu." Jawab Elisha. Mengatur napas senin-kamisnya.

"Mau apa ke sana? Kelas kita kan di tiga IPA tiga! Kelas Trian, tiga IPA tiga! Terus ada perlu apa kamu ke sana?" tanya Eva.

"Aku..., aku..., aku ke David," jawab Elisha terbata-bata. Kikuk. Gugup.

"Oooo, tenang aja lagi, Lis. Gak usah gugup kayak gitu! Aku gak akan marah kok sama kamu! Asalkan aku gak jadi alasan buat kamu nemuin dia aja," tegas Eva. Tersenyum masam.

"Nah itu yang jadi masalahnya, Va," ujar Elisha.

"Masalah apa?" tanya Eva bingung.

"Aku ke sana karna dipanggil sama dia. Dia mau titip pesan sama aku buat kamu. Karna aku sahabat kamu! Demi kamu! Ya udah, aku ke sana," ujar Elisha. Gugup. Ketakutan.

Eva terdiam.

"Dia bilang sama aku, bahwa dia akan nunggu kamu di belakang sekolah! Sekarang!"

"Apa!" Eva terkejut, "mau apa sih dia?" ujar Eva mengeras.

"Aku juga gak tahu! Yang terpenting sekarang tuh, kamu temuin dia dulu! Biar kamu tahu dia mau apa."

Eva terdiam. Memandang wajah Elisha yang Indo. Amerika-Sunda.

"Please! Demi aku, Va!" ujar Elisha memelas manja.

"Oke, aku ke sana! Tapi bukan karna dia ataupun karna kamu! Aku ke sana karna rasa kemanusiaan yang aku punya. Sekarang, lebih baik kamu tunggu aku di pintu gerbang! Dan jangan lupa bawa juga tasku!" Ujar Eva sembari memberikan tasnya kepada Elisha.

"Yeeeeeh! Udah mata melotot! Marah-marah gak jelas! Pake nyuruh, lagi! Emangnya dia pikir kita tuh pembantunya, apa!" ujar Elisha berkelakar. Pergi bersama tas Eva di tangan kirinya menuju gerbang sekolah.

Eva berjalan bergegas. Melewati bunga-bunga taman samping sekolah yang belum berbunga. Dengan pancaran wajah yang seperti sedang menunjukan perasaan diantara rasa kesal, bingung, cemas, dan rasa penasaran yang campur aduk di hati dan kepalanya. Sebelum sampai di belakang sekolah.

Pemandangan belakang sekolah itu seperti perpaduan antara alam dan modern. Dimana ada pepohonan berbaris melentang saling menjaga jarak diantaranya. Dan dilatar-belakangi selembar tembok berwarna merah gelap sepanjang sekolah untuk mengelilinya.

Eva pun menemui David saat itu juga. Ia melihat David yang tengah duduk terdiam dengan keadaan; tangan memegang sekuntum bunga mawar biru yang segar, kaki yang tak henti terus bergetar, pandangan yang ditundukan, seakan sedang menantikan sesuatu yang penting yang selama itu Ia tunggu-tunggu. Dan jantung yang berdebar-debar. Dagdigdug, dagdikduk.

***

SAAT David berada didekat Eva. David mencoba menyapanya. Namun sayang, Eva sama sekali tak jua mau memperdulikannya. Eva menjutekinya. Entah pura-pura acuh. Entah gengsi. Entah memang tak ada perasaan apapun. Entah reinkarnasi dari sebongkah batu. Entahlah.

"Hei Panda! Jangan basa-basi dech, Lu! Bilang aja sekarang! Lu mau apa nyuruh Gua datang ke sini?" ujar Eva dengan nada keras. Ketus seperti orang sedang menagih hutang yang sudah bertahun-tahun belum dibayar. Makanya bayar dong! Pinjemnya bisa, gantinya susah! Dasar manusia, manusia, kadang tidak bisa sadar diri!

"Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Va." Jawab David. Nada suaranya tidak ikut meladeni Eva. Terdengar lebih lirih. Sayu penuh tanda menyayangi. Tak jauh beda seperti suara seorang ibu yang penuh kasih yang sedang menasehati anaknya yang sedang emosi. Berbuat salah. Ataupun anaknya yang sedang putus asa karna masalah hidupnya. Lembut. Sutra pun kalah.

"Kamu ini punya penyakit apa sih? Bodoh? Tolol? Goblog? Apa bolot? Tadi kan aku udah bilang, jangan basa-basi!" ujar Eva dengan nada suara yang naik satu setengah.

David tersenyum. Tetap santai. Tapi gugup.

"Kenapa kamu jadi senyum-senyum kayak gitu? Gak ada yang lucu!" ujar Eva dengan wajah yang sedikit masam.

"Itu, itu yang ngebuat aku jadi kayak gini! Tadi Gua-Lu, sekarang aku-kamu!" ujar David sembari tak melepaskan senyumannya.

"Suka-suka Gua dong! Gua yang punya mulut, kenapa mesti Lu yang repot!" seketika itu juga wajah Eva memerah, "sekarang Lu mau apa? Kalau gak ada yang mau diomongin, Gua pergi sekarang!" ujar Eva. Geram.

"Iya, iya, aku minta maaf! Aku cuma mau bilang kalau aku itu suka kamu, Va!" Ujar David. Serius. Tangannya perlahan bergerak memberikan bunga mawar birunya yang tengah digenggamnya kepada Eva.

Eva terdiam. Melihat ke arah wajah David yang tengah tersenyum kepadanya. Tak lama kemudian ia mengambil bunga mawar biru yang masih segar itu dari tangan David, namun dengan cara yang amat kasar.

Auuuu! Teriak David. Tangannya terluka oleh sebuah duri yang kecil yang masih ada melekat di tangkai bunga mawar itu. Dan seketika itu juga, merahnya darah David tampak keluar dari lukanya.

"Kenapa? Sakit ya? Aduuuuuh, kaciyaaan!" ledek Eva sinis, sembari membuang mawar yang ada di tangannya. Menginjaknya di hadapan David.

David hanya terdiam sambil melumat jarinya yang terluka. Menikmati setiap tetesan darah yang ke luar dari jarinya sendiri. Ia kembali duduk di awalnya duduk saat menunggu Eva. Kepala menengadah. Melihat langit biru dalam kecerahan. Menatap matahari yang tengah bersinar gagah yang tetap setia berdiri di atas para pengarung siang hari.

Tidak ada sedikitpun terlihat amarah dalam pancaran wajahnya. Tidak ada dendam. Tidak ada sedikitpun terlihat luka kepedihan hatinya Ia tampakan. Seolah-olah kejadian sebelumnya tersebut tidak terjadi. Entah terbuat dari apa hati laki-laki itu. Entah bagaimana cara orang tuanya mendidiknya menghadapi rasa sakit yang diterimanya dari orang lain.

Eva meninggalkan David. Sendirian melamun di belakang sekolah. David yang malang. David yang terluka hatinya. Tangannya terluka. David yang tak henti tersenyum, meskipun telah disakiti Eva. Mungkin David sudah benar-benar kepincut sama Eva. Mungkin benar cinta. Mungkin pura-pura. Mungkin....

***

Eva sama sekali tak perduli dengan keadaan ataupun perasaan David, sama sekali. Meskipun ia tahu David menyukainya. David itu baik di matanya. Tetap, ia sedikitpun tak perduli sama sekali terhadap David. Elisha sahabatnya sendiri pun dibuat pusing dengan kelakuannya. Elisha hanya bisa ikut sekenario yang sedang ditulis oleh sahabatnya itu. Dan untuk sementara, baginya apa yang dilakukan Eva sahabatnya itu masih ada di batas kewajaran dalam pikirannya.

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login