Download App

Chapter 22: Chapter 1655. Ini hari yang indah. (5)

Tap! Taptaptap!

Langkah kaki yang mendesak namun gugup terdengar.

"Ke, ketua sekte….."

"Minggir!"

Mereka yang kaget melihat pemilik langkah kaki itu menoleh ke kiri dan ke kanan. Heo Dojin berjalan dengan kasar di sepanjang jalan terbuka.

Setelah melewati gerbang tengah di kawasan itu, sebuah istana Tao kuno muncul.

Itu adalah Josajeon (nama kuil). Di kuil Wudang tempat tablet peringatan leluhur mereka disimpan, sekitar selusin taoist sedang membungkuk.

"Ini….."

Tanpa disadari, Heo Dojin yang hampir saja mengeluarkan suara jeritan, malah menggigit bibir bawahnya dan dengan susah payah menahan kemarahan.

Tempat ini adalah tempat penyembahan leluhur yang telah mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan ilmu bela diri, dan tempat ini menyimpan tablet leluhur yang paling suci. Tempat ini sangatlah sakral, dan tidak ada keributan atau pertikaian yang diperbolehkan. Bahkan Heo Dojin pun tidak terkecuali.

"Kalian ini….."

"Satu kali." (ini salam hormat pada leluhur, bacaannya 1 kali, tapi dilakukan 9 kali)

Heo Dojin menggigit bibirnya dan mencoba mengeluarkan suara, tapi suara itu tertutup oleh suara yang lebih tegas, kokoh, dan tenang. Para murid yang berada di aula latihan kemudian melakukan penghormatan kepada leluhur dengan sikap sangat hormat.

Heo Dojin menggenggam tinjunya erat-erat.

Meskipun para murid sedang melakukan penghormatan, tapi mereka seharusnya tahu bahwa Heo Dojin telah tiba. Tapi sekarang, mereka seolah-olah mengabaikan kehadiran Heo Dojin seperti dia tidak ada di sana.

Apa arti dari ini?

"Satu kali!"

Sembilan kali penghormatan.

Ritual khusus yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang terpilih, para dan para senior, berlangsung tanpa cela, dan para murid baru bangkit setelah ritual itu selesai.

Heo Dojin yang sedang menggigit bibirnya sambil menunggu semua ritual ini berakhir, segera mengeluarkan suara dingin.

"Apa yang kalian lakukan?"

Semua murid di kuil mengalihkan perhatian mereka ke Heo Dojin.

"Aku bertanya apa yang kalian lakukan!"

"Seperti yang terlihat, kami memberi penghormatan kepada para leluhur."

"Kau tahu aku tidak menanyakan hal itu sekarang!"

"Tolong pelankan suaramu, ketua sekte."

"..… Apa?"

"Leluhur kita sedang menonton."

Mendengar kata-kata itu, pandangan Heo Dojin secara refleks melampaui orang-orang yang berdiri di depannya dan menuju tablet peringatan yang diabadikan di Aula Josajeon.

Asap dupa mengepul di depan tugu peringatan mewah yang terawat baik.

"Heo Gong. Apakah kau yang melakukan ini?"

Saat Heo Dojin bertanya, Heo Gong yang sedang membungkuk di depan tablet peringatan, perlahan berbalik. Dia menatap Heo Dojin dalam diam lalu membungkuk dalam-dalam dan menyatakan rasa hormatnya.

"Kami menemui ketua sekte….."

"Jawab aku!"

Pada akhirnya, Heo Dojin tidak tahan lagi dan dengan kasar memotong perkataan Heo Gong. Wajahnya tampak merah padam sehingga sulit membayangkan dia biasanya seperti apa.

"Aku bertanya apakah kau yang melakukannya! Apakah kau yang memerintahkan omong kosong ini?"

"Sulit untuk memahami apa yang kau katakan, ketua sekte."

"Sulit dimengerti?"

"Ya."

Berbeda dengan Heo Dojin yang sangat bersemangat, anehnya Heo Gong tampak tenang. Meskipun ia menghadapi kemarahan yang tajam secara langsung.

"Apa yang sulit dimengerti? Tidak bisakah kau memberiku jawaban yang tepat sekarang?"

"Persis seperti yang aku katakan. Sulit bagi ku untuk memahami mengapa ketua sekte berpikir seperti itu."

".… Apa?"

"Apakah aku mempunyai wewenang untuk memaksa murid Wudang?"

Untuk sesaat, Heo Dojin menutup mulutnya seolah tidak bisa berkata-kata.

"Sejak awal, apakah murid Wudang adalah tipe orang yang mendengarkan kata-kata seseorang dan terpengaruh oleh kata-kata tersebut untuk mengambil keputusan sendiri?"

"Lalu yang kau katakan adalah…."

"Ya, ketua sekte."

Heo Gong mengangguk.

"Tidak ada yang namanya memberi perintah. Tidak ada yang berani melakukan itu. "Ini hanyalah hasil dari gabungan pendapat para murid."

Semakin Heo Dojin mendengar suara tenang itu, semakin frustrasi hati Heo Dojin seolah-olah akan meledak. Saat dia menatap ke Heo Gong untuk waktu yang lama dengan tatapan mematikan, dia melihat ke arah murid lainnya.

Dan bertanya.

"Apakah itu benar?"

"….."

"Jawab aku, Mu Jin. Apakah itu benar?"

Mu Jin menghembuskan napas dalam-dalam karena pertanyaan yang dingin itu.

"Ya, ketua sekte. Tidak ada paksaan. Hanya keinginan kami saja."

"Jin Hyeon, apakah kau juga seperti itu?"

"Ya."

Jin Hyeon juga menganggukkan kepalanya tanpa ragu-ragu.

"Ini adalah pemikiran dan keinginan diriku sendiri."

Grrtt.

Heo Dojin menggemeretakkan giginya karena marah.

Tidak ada perubahan pada ekspresi seriusnya, tapi hanya dari suaranya saja, bisa diketahui betapa marahnya Heo Dojin.

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Ketua sekte."

"Apa yang kau coba lakukan! Kalian anak-anak bodoh!"

"Ketua sekte, leluhur kita sedang memperhatikan kita."

"Heo Gong! Hei kalian!"

Akhirnya, kemarahan Heo Dojin meledak seperti guntur. Aula Josjeon yang lama berguncang seolah-olah akan runtuh kapan saja karena gelombang energi yang sarat dengan kekuatan internal.

"Aku mengatakan ini karena leluhur kita memperhatikan! Apa yang kalian lakukan! Apakah kalian ingin memutuskan garis keturunan Wudang? Apa yang akan dikatakan oleh leluhur Wudang jika mereka melihat kalian sekarang?"

"Mereka akan mengatakan kita melakukannya dengan sangat baik."

"...Apa?"

"Aku pikir mereka akan menganggukkan kepala dengan bangga, mengatakan kita melakukan pekerjaan yang sangat baik. Itu sebabnya aku datang untuk memberi hormat kepada leluhur kita."

"I, Ini…."

Tubuh Heo Dojin mulai bergetar. Dia sangat marah sehingga tidak dapat mengontrol dirinya sendiri.

"Kamu pikir leluhur kita akan memuji kalian karena memutuskan garis keturunan Wudang?"

"Ya."

"Apakah itu sesuatu yang masuk akal?"

"Tentu saja, itu masuk akal."

Jawaban Heo Gong yang tenang sangat kontras dengan ekspresi marah Heo Dojin.

"Karena ini hal yang 'benar'."

"..."

"Wudang bukan ada untuk mempertahankan garis keturunannya. Wudang ada untuk menegakkan keadilan (melakukan hal yang 'benar'). Jika menegakkan keadilan berarti memutuskan garis keturunannya, bukankah itu sesuatu yang lebih mulia?"

"Kau, kau....."

Tangan Heo Dojin bergetar karena marah.

"Apakah kau tahu apa yang kau katakan?"

"Ya, aku yakin. Ketua sekte, tidak..... ketua sekte-sahyung."

"....."

"Kita tidak dapat mengulangi kesalahan yang sama. Aku sangat yakin tentang itu."

"Heo Gong!"

"Bahkan leluhur kita juga akan tahu. Kita tidak boleh mundur."

"..."

"Kita tidak boleh mundur, tapi kita melakukannya. Seperti air yang tertumpah yang tidak dapat dikumpulkan kembali, hal-hal yang kita hilangkan karena pilihan kita yang salah tidak dapat diperoleh kembali. Bagaimana kita dapat membuat pilihan yang sama lagi?"

"itu bukan tanggung jawabmu! Itu adalah tanggung jawabku! Aku yang harus membawa beban itu! Tapi kenapa kau..."

"Mengapa itu hanya tanggung jawab ketua sekte?"

Jin Hyeon, yang diam-diam mendengarkan percakapan itu, berbicara dengan suara dingin.

"Itu adalah tanggung jawab Wudang."

"Itu pilihanku."

"Ya. Mantan ketua sekte. Memang itu dipilih untuk dilakukan oleh ketua sekte. Namun, hanya karena kau yang membuat pilihan, tidak berarti kau bisa menanggung semua dosanya. Jika kau berpikir seperti itu, itu adalah kesombongan dan terlalu percaya diri."

"….. Apa katamu?"

"Aku bilang itu arogansi."

Jin Hyeon menatap langsung ke arah Heo Dojin dengan mata jernih.

"Apa pun yang kau pikirkan, kamilah yang menerima pilihan ketua sekte. Kita juga tidak bisa lepas dari dosa itu. Tapi apakah kau menyuruh saya melakukan kesalahan yang sama lagi dengan perintah yang sama? Apakah kau akan memberi kami alasan yang bahkan tidak tampak seperti alasan, misalnya mengatakan bahwa ketua sekte memerintahkan kami untuk melakukan perintahmu begitu saja?"

"….."

"Aku juga hidup sebagai murid seorang Wudang. Dan tidak ada yang namanya pengecut dalam apa yang diajarkan Wudang kepadaku."

"Kau, kau ini….."

"Jika ketua sekte benar-benar master ku, maka jangan membuatku mengemis untuk hidupku melalui kepengecutan yang disamarkan sebagai kesetiaan. Itu bukanlah cara untuk menyelamatkan ku, melainkan cara untuk membunuh sisa hidup ku."

Wajah Heo Dojin berubah beberapa kali dalam waktu singkat. Suara yang keluar sedikit bergetar.

"Jadi kau ingin mati?"

"..."

"Apakah kau rela membuang nyawamu begitu saja meskipun kau tahu musuh yang tidak dapat kau tangani akan datang? Hanya karena kau berpikir itu 'benar'! Untuk melakukan sikap keras kepala yang kau sendiri bahkan tidak yakin apakah itu benar? Apakah menurutmu kau akan lega jika dirimu, master mu, dan semua sahyung mu dipaksa menjadi jiwa yang mati dan hanya tersisa tubuh yang mendingin?"

"Tidak ada yang memaksamu, ketua sekte."

"….."

"Hanya mereka yang memilih sendiri. Seperti yang kau katakan, mereka adalah orang-orang yang akan menyerahkan hidup mereka demi nama 'kebenaran' yang 'keras kepala' yang mereka yakini."

Tatapan Jin Hyeon melampaui Heo Dojin dan menatap ke belakang. Tanpa disadari, Heo Dojin mengikuti pandangannya dan menoleh ke belakang.

Ia bisa melihat banyak murid berbaris di luar gerbang tengah.

Masing-masing dari mereka memiliki mata yang bersinar karena tekad. Inilah mata orang-orang yang rela mati. Ini mungkin mirip dengan percakapan Heo Dojin dengan Heo Sanja belum lama ini.

Distribusi dan posisi tidak ada artinya. Murid kelas satu dan dua memandangnya dengan mata yang sama.

Heo Dojin yang dari tadi melihat ke arah Jin Hyeon, yang berdiri dengan wajah penuh tekad, dan Mu Jin, yang dengan tegas menutup mulutnya, sejenak, mengalihkan pandangannya ke langit lagi.

"Gong-ah…."

"Jangan katakan apapun, sahyung."

"….."

"Aku tahu apa yang akan kau katakan. Mungkin kau sendiri ingin mengambil tanggung jawab penuh dan membebaskan kami. Karena itulah cara seorang ketua sekte."

"Heo Gong…."

"Tapi sahyung. Cara itu mungkin menenangkan pikiran sahyung dan menipu dunia, tapi tidak bisa menipu hatiku sendiri."

Heo Dojin menggigit bibirnya.

Ia tahu.

Mungkin Heo Dojin bisa membebaskan mereka dengan kematiannya yang kejam. Ada kemungkinan untuk membebaskan mereka dari kritik dunia.

Tapi ia juga tahu. Apa yang dikatakan Heo Gong?

Sekalipun semua orang di dunia menerima penebusan Wudang. Tidak, bahkan jika saatnya tiba ketika dunia kembali memuji Wudang, bekas luka yang ditinggalkan ketika mereka melarikan diri dari musuh dengan alasan perintah Heo Dojin tidak akan hilang.

Bahkan orang yang bisa membodohi segala sesuatu di dunia tidak bisa membodohi hatinya sendiri.

Sebelumnya ia tidak menyadarinya, tetapi saat ia menyadarinya, mereka sudah tidak punya pilihan lain.

"….. Apakah itu jawabanmu?"

"Ya, ketua sekte. Dan inilah jawaban ku, jawaban mereka, jawaban Wudang, dan jawaban ketua sekte juga."

"Jawabanku?"

Heo Gong tersenyum tipis untuk pertama kalinya saat dia melihat ke arah Heo Dojin, yang tidak mengerti maksudnya dan bertanya lagi.

"Jika ketua sekte berada di posisi kami, kau pasti juga akan melakukan ini."

Heo Dojin memejamkan mata saat dia merasakan dunia menjadi redup sejenak.

"Inilah yang kami pelajari dari Wudang dan apa yang kami pelajari dari ketua sekte."

Tanpa ia sadari, ia menghela nafas berat dan sedih.

'Bagaimana bisa…..'

Dia pikir luka mereka akan semakin dalam pada saat pemakaman.

Namun, mereka tidak dapat membayangkan bahwa luka yang lebih dalam dan pemikiran yang lebih dalam yang diakibatkannya akan membuat mereka bertumbuh.

Mereka bukan lagi murid-murid Wudang masa lalu yang rendah hati dan mengikuti perintahnya secara membabi buta. Sekarang, mereka telah menjadi seorang taoist yang percaya diri yang bahkan tidak bisa Heo Dojin perlakukan secara sembarangan.

'….. Tapi kenapa hal ini harus terjadi sekarang disituasi seperti ini!'

Pertumbuhan mereka, keadilan mereka, dan Taoisme mereka akan membawa Wudang menuju kepunahan.

Pertumbuhan orang-orang inilah yang sangat diharapkan oleh Heo Dojin.

Sepertinya akhir yang buruk sedang tergambar di depan matanya. Emosi yang berat, tidak yakin apakah itu keputusasaan atau kesedihan, melanda dirinya seperti gelombang besar.

'Yuanshi Tianzun..... Ini….. Bukankah ini terlalu kejam…?'

Heo Dojin menutup matanya rapat-rapat. Kelopak matanya bergetar.

Itu adalah perasaan sedih dan menyakitkan.


CREATORS' THOUGHTS
Rei_Shinigami Rei_Shinigami

...maaf baru update-

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C22
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login