Download App

Chapter 2: Jatuh Sial

Hampir tengah malam calon rumah sitaan bank atas nama Jimin Lee masih penuh hiruk pikuk pemuda pemudi yang meminang barang-barang bekas. Transaksi jual beli tunai tanpa kredit dengan harga di bawah pasar.

Sri, si pemilik pasar kaget yang tanpa lelah menjelajahi setiap sudut ruangan sampai langit tak lagi terang, hanya geleng-geleng kepala menyadari kondisi rumah mewah itu sebenarnya. Satu-satunya asisten rumah tangga tua renta menghilang entah kemana. Bahkan beliau tak meninggalkan jejak atau salam perpisahan semata. Kemungkinan ayahnya telah memutuskan hubungan kerja dengan Bi Salamun entah sejak kapan.

Barang-barang elektronik mewah pun lenyap tak berbekas bersama dengan kardus pembungkusnya. Mulai dari televisi layar lebar ukuran besar, lemari es jumbo dua daun pintu, mesin cuci satu pintu samping, kompor induksi empat tungku, sepeda gunung profesional bahkan beberapa alat berolah raga lainnya. Koleksi tas impor total ratusan juta milik sang ibu juga bagai hilang ditelan bumi. Apalagi sepatu-sepatu mewah berbahan baku kulit binatang langka, tak tampak lagi keberadaannya.

Barang mahal lain masih ada beberapa yang tampak gagah berdiri pada sudut ruang tamu dan ruang santai. Dua set kursi tamu dan dua set sofa ruang santai. Almari hiasan berbahan kayu jati tua pun masih tegak berbaris di beberapa sisi ruangan.

Sri melangkah lunglai menghampiri Leo yang tengah mengantar satu per satu teman kampusnya meninggalkan ambang pintu. Mereka puas mendapat barang jempolan dengan harga cuci gudang.

Seorang mahasiswi bernapas lega setelah berhasil membeli satu set meja rias yang langsung diboyongnya menggunakan mobil bak terbuka menuju kediamannya. Seorang lainnya bahagia membawa pulang satu set meja belajar menawan. Seorang lagi memenangkan laptop bekas dengan harga terjun bebas serta kualitas berkelas. Laptop ayah Sri yang lupa terbawa saat pelarian keluar pulau. Setelah Leo melenyapkan semua data, laptop kosong siap dipinang tangan kedua.

Ibu-ibu rumpi komplek tak mau kalah berburu barang-barang yang masih bisa menambah koleksi dalam dapur. Seorang ibu gemuk begitu girang mendekap microwave cantik. Ibu ramping lainnya kesusahan menjinjing air fryer dan juicer merek ternama pada kedua genggamannya.

Bulan semakin meninggi dan benderang dalam jelaga malam. Satu per satu ibu-ibu dan para mahasiswa berlalu. Rumah calon sitaan kembali membisu dalam hening kelabu.

Leopard melambai ramah pada pembeli terakhir yang menutup pintu pagar besi.

Sri yang tegak di sisi Leo hanya melempar senyum tipis bentuk terima kasih.

Bahu keduanya melorot lelah.

Sri mendesah pasrah.

Leo melirik sahabatnya heran. "Ada masalah?"

Bahu Sri naik turun. "Ternyata barang yang aku jual hanya barang murah. Benda remeh yang hanya menghasilkan receh."

Leo menaikkan sebelah alisnya. "Sudahlah, masih untung barang-barangmu bagus dan laku terjual. Namanya orang bangkrut pastilah barang-barang mahal sudah terlebih dahulu digunakan untuk membayar cicilan."

Sri mengangguk paham. Jemarinya cekatan menghitung tumpukan merah dan biru dalam susunan yang berlainan. Beberapa lembar disisihkan lalu disorongkan ke hadapan Leo.

Sebelah alis tebal Leo meninggi. "Buat?"

Sri menampar ubun-ubun Leo dengan seikat uang. "Kamulah! Menolak ditabok duit?"

Leo mengaduh. Punggung tangannya menjadi perisai kekerasan dan kekejaman tamparan uang Sri.

"Maaf, Leo!" sesal Sri sembari membelai pelan ubun-ubun sahabatnya yang tersembunyi dibalik helaian lebat.

Leo menggeleng pelan. Lembaran rupiah yang tersaji di hadapannya, didorong kembali.

"Kenapa?" tanya Sri kecewa karena penolakan.

Lengan Leo melingkari bahu Sri. "Tak ada upah untuk bestie. Kamu simpan saja untuk makan sehari-hari."

"Tapi kamu sudah menolong aku...."

Leo menggeleng pelan. Dekapan lengan pada bahu Sri terurai. Diraihnya lembaran uang dalam genggaman Sri sebelum menyelipkannya pada saku celana gadis itu.

Sri berbinar menatap pemuda di hadapannya. Leopard Adnando, teman satu jurusan. Pria yang membeci formalitas dan keseriusan. Matanya tajam, dalam dan hitam. Rambutnya bergelombang. Parasnya maskulin dengan kulit eksotis dan rahang tegas.

Leo menepuk bahu Sri. "Sudah, ga usah drama. Sudah malam. Aku mau permisi balik ke kostan dulu, ya."

Sri menyeka bening yang mengambang di pelupuk matanya. Gadis mungil berkulit langsat ini hanya terharu masih ada sosok berhati lembut di balik mulut macan.

Sri menahan langkah Leo yang baru sekali gerakan. "Aku nebeng, ya?"

"Mau kemana tengah malam begini?"

Sri menggaruk rambut lepek yang belum bersua dengan sampo satu hari ini. "Nginep di masjid agung."

Leo melonjak kaget. "Apa katamu? Ingat! Kamu ini cewek, Sri!"

Sri mengangguk. "Iya, aku paham maksudmu. Aku cewek asli seratus persen ori."

"Lalu kamu masih mau tidur di masjid?"

Sri mendesah panjang. Perlu beberapa saat untuk menjabarkan kenyataan. Dia bergeming sejenak mengatur kalimat tepat untuk menjelaskan.

Leo menjentikkan dua jari di depan mata Sri.

Sri terenyak. "Aku sudah ijin pada pak Kyai Rahman dan pengurus masjid jamaah putri, Bu Jamilah. Aku akan tinggal beberapa hari di gudang sebelah kamar Bu Jamilah."

Leo mendesah panjang. "Makanya kalau kaya itu jangan foya-foya. Jadinya kalau melarat kan setidaknya keuangan tidak sekarat."

Sri berkacak pinggang. "Darimana bisa dikatakan modelan begini foya-foya? Itu kerjaan emak yang sukanya beli tas dan sepatu bermerek impor. Makanya perusahaan bangkrut!"

Leo menggosok rambut lepek Sri. "Maaf deh maaf. Aku lupa lagi ngobrol sama anak yang terbuang."

Sri mendorong tubuh Leo kesal.

Leo terjengkang kebelakang. Dia mengibaskan tangannya yang terasa lengket setelah bersinggungan dengan rambut Sri.

Leo meringis jijik. "Belum mandi berapa hari kamu Sri?"

"Seminggu!"

***

Sri terperanjat dari tidur lelapnya pada permukaan dipan berbalut tikar anyaman bambu. Pinggangnya terasa akan terlepas dari tubuhnya karena gerakan tiba-tiba. Bunyi nyaring yang menamparnya dari alam mimpi itu belum jelas sumbernya.

Sri terdiam sejenak mengambil napas sekuat tenaga. Kemudian menghempaskan perlahan. Karena jantungnya melonjal-lonjak hiperaktif, dadanya naik turun tak terkendali.

Bunyi misterius kembali menyentuh gendang telinga ketika Sri telah mampu mengendalikan irama jantunya. Detak yang normal kembali mengalami peningkatan.

Sri meraih sapu ijuk yang tergeletak antara tumpukan kardus yang tinggi. Kedua tangannya menggenggam erat gagang sapu seperti serdadu siap maju.

Bunyi berisik kembali lagi dengan getaran semakin kencang. Tumpukan kardus dan peralatan dapur usang mulai bergoyang.

Sri bersiaga akan bahaya yang akan tiba. Langkahnya tanpa deru menghampiri tempat terjadinya perkara. Niat hati ingin memberi kejutan pada pelaku di bawah tumpukan rongsokan tapi tersangka justru melakukan penyerangan.

Satu keluarga berlarian menyeruak kardus. Mereka menjerit nyaring menyuarakan perlawanan. Sri pantang pulang sebelum menang. Dia memasang kuda-kuda memberi balasan pada lima makhluk berekor yang meluncur tak tentu arah.

Ayunan lengan Sri begitu profesional hingga melumpuhkan satu keluarga spesies pengerat. Mereka tumbang bergelimpangan tak berdaya.

Sri mengikat ekor mereka menjadi satu tanpa kesulitan.

Gadis yang masih berbalut pakaian yang sama dari kemarin pagi, mendorong daun pintu perlahan. Langit kelam menyambutnya dengan senyuman bintang.

Bu Jamilah muncul dari balik daun pintu kamarnya. Beliau menghampiri Sri yang asyik bersitegang dengan satu gerombolan tikus hitam.

Wanita berumur berbalut kerudung instan itu begidik ngeri. "Sedang apa, Nak Sri?"

Sri meringis cengengesan. "Ada keluarga besar tikus gangguin saya tidur, Bu!"

Bu Jamilah menggeleng-geleng heran. "Segera buang yang jauh. Setelah selesai cepat mandi dan bersihkan ruangan jamaah putri. Sebentar lagi memasuki waktu adzan subuh."

Sri mengangguk patuh.

"Ibu permisi akan menyapu halaman masjid!" pamit Bu Jamilah sambil lalu.

Sri mengangguk sekali lagi. Pandangannya sejenak menyorot sosok lemah lembut seorang Bu Jamilah menjauh. Beliau cekatan menggengam gagang sapu lidi dan mulai mengumpulkan dedaunan kering.

Sri melirik segerombolan tikus dalam genggamannya. "Kalau kalian kembali lagi ke tempat ini. Aku lempar kalian ke hadapan kucing garong. Biar dimakan hidup-gidup!" ancamnya.

***

Setelah menyelesaikan ibadah subuh berjamaah, Sri menuju beberapa barisan pot asri yang tak jauh dari serambi masjid agung. Beraneka ragam tanaman hias berdiri cantik melingkari halaman masjid.

Sebelah tangan Sri menggenggam ujung selang dan yang lainnya memutar keran. Ibu jari dan telunjuk Sri menekan mulut selang agar menghasilkan tekanan air yang besar.

Sri bersenandung lirih menikmati pekerjaannya. Ribuan tetesan air berlarian mulai membasahi dedaunan yang menyambut jingga. Petang digeser oleh pelita alam. Samar-samar paras polos Sri terlihat cerah dalam jingga.

Panggilan lembut meyentuh gendang telinga Sri. Sri melepas selang dalam tangannya. Parasnya berpaling pada serambi masjid. Tampak Bu Jamilah melambai padanya.

Sri bergegas menghampiri Bu Jamilah. "Ada apa, Bu?"

"Ibu minta tolong, ya! Nanti saat kamu kembali ke rumahmu, ibu minta tolong dibelikan cairan pembersih lantai dan jendela."

Sri memamerkan ibu jarinya. "Siap, laksanakan."

Sri segera meraih lembaran uang Bu Jamilah yang tersodor di depan matanya. Kemudian permisi undur diri kembali melanjutkan tugasnya.

Sri meraih selang yang tergeletak dalam genangan air bercampur tanah. Sri terpaksa mengabaikan rasa jijik yang menyelimuti tangannya. Ayunan tangannya kembali memberikan mineral pada tanaman. Namun kecerobihannya membuat sasaran selang air salah haluan.

Sri tanpa sengaja mengguyur sosok yang tengah melangkah santai pada halaman masjid. Pria itu berjingkat-jingkat menghindari tembakan. Teriakannya menyadarkan Sri dari kesalahan fatal yang dilakukannya.

Sri bergegas menghentikan aliran air. Keran kembali diputar pada posisi mati. Gadis itu menyongsong sang pria dewasa dengan sumringah. Namun seringai ketakutan tersamar dari senyumannya.

Sri menepuk jas gelap sang pria yang basah kuyup. "Om, maafkan saya, ya?"

Si pria dewasa berambut gelap dan beriris terang itu menghalau risih tangan Sri. "Sudah ... Sudah! Hentikan semua ini!"

Sri menahan kemudian menyembunyikan tangannya. "Sekali lagi, maafkan saya, Om!"

Si pria yang sibuk mengibaskan tatanan rambut yang berantakan, menghentikan kegiatannya. Iris cerahnya membidik Sri kesal.

Sri menelan ludah damba. Retina bulatnya melirik pria tampan, mapan dan menawan itu tanpa ingat bagaimana cara berkedip.

Si Pria melepas jas gelapnya menyisakan kemeja polos putih bersih yang mencetak pahatan sempurna otot dadanya. Lemparan profesionalnya tepat mendaratkan jas aroma maskulin itu pada ubun-ubun Sri.

Si pria menjulurkan telunjuknya. "Keringkan atau...."

Sri spontan mengangguk sebelum sang pria menyelesaikan kalimatnya. "Saya keringkan, Om! Jangan mengancam, Om! Saya hanya seorang fakir miskin tidak mampu ganti rugi."

Si pria melipat lengan kekarnya. "Berhenti memanggil saya, Om!"

Sri menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Lalu saya harus memanggil apa untuk orang seusia tante saya?"

Sepasang tangan si pria terkepal geram. Ingin rasanya melayangkan bogem mentah pada bocah ingusan yang berpenampilan serampangan di hadapannya kini. Namun dia terlalu enggan menerjunkan martabatnya hanya untuk melayani gadis yang bukan apa-apa.

Tiba-tiba sekonyong-konyong seorang pria sepuh berkopyah dan berjubah putih menyambut ramah sang pria. Beliau mengucap salam. Pria dewasa meraih tangan beliau dan menyinggungkan pada kening untuk beberapa saat. Aura kriminal si pria menjelma makhluk sosial. Senyuman tampan diumbar penuh kebahagian membalas sambutan Pak Kyai Rahman.

"Pak Kyai, kenapa ada anak tuyul di sini?" sindir si pria melempar lirikan membunuh pada Sri.

Pak Rahman tergagap. Kepalanya menggeleng pelan.

Sri melongo kaget. Jas basah diremasnya kuat-kuat.

"Dia Sri, Nak Arch! Dia sementara menempati gudang dan membantu pekerjaan Bu Jamilah." papar Pak Kyai pelan.

Arch memandang remeh penampakan Sri dari ujung sandal karet hingga rambut kusut yang berselimut selendang tipis.

Sri membalas enek tatapan Arch.

Arch menguap, "Ternyata gelandangan," gumamnya.

Pak kyai membelai dadanya sejenak. Sebelum ada tawuran, beliau sesegera mungkin membimbing dan mempersilakan tamu kehormatan memasuki masjid agung.

Sri menggembungkan pipnya kesal. Bagaimana mungkin kehidupannya dulu yang semewah sultan bertukar cibiran. Bahkan dia benar-benar bergelar gelandangan.

Saju jam berlalu. Sri telah menuntaskan kegiatan merawat tanaman. Bahkan gadis mungil itu telah berganti pakaian yang masih layak. Kemeja lengan panjang dan rok sebatas mata kaki. Langkah santainya meninggalkan halaman masjid agung, tertahan suara dua pria beda usia yang bercengkerama.

Tamu kehormatan yang dipanggil Arch dan entah siapa dia sebenarnya, pamit undur diri begitu santun di hadapan Pak Kyai. Arch berangsur meninggalkan serambi masjid setelah Pak Kyai kembali ke dalam.

Sri melirik pria yang melintasi sisinya. "Om, kok sudah buru-buru pulang saja? Ini kan masih pagi."

Arch menahan langkahnya. Parasnya berpaling melempar tatapan bambu runcing.

"Tidak sekalian sholat dhuha, Om?" celetuk Sri.

Arch melempar pandangan acak. Tungkainya kembali melangkah. "Saya sibuk!"

Sri menggeleng-geleng prihatin. "Ngledekin saya aja Om sempet. Kenapa Sholat Dhuha ga sempet?"

Arch menahan langkah kedua kalinya. Tangannya mengepal geram. Tungkainya berayun ke belakang. Sebelum niatnya mencekik si gadis tengil terlaksana, sosok itu telah melesat tak terendus lagi.

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login