BUAK
Sebuah tinju dengan cepat melayang ke arah wajah Wangshiton.
"Kau matilah!" ujar Bandung yang sudah kalap mata menghajar teman sekelasnya tersebut.
"Kau saja yang mati!" balas Washington mengacungkan jari tengahna pada Bandung. Remaja laki-laki itu kemudian membalik posisi tubuhnya dan kini ia berhasil melakukan sedikit kuncian pada tubuh lawannya itu.
Meskipun sudah mendapatkan kuncian di bagian tubuhnya, Bandung dengan mudah melepaskannya begitu saja. Bandung kemudian menarik kerah baju Washington lalu membantingnya ke arah tembok.
"MATI KAU!" jeritnya bak orang kesurupan.
Washington langsung terbatuk-batuk dan mendapati sedikit darah keluar dari mulutnya. Tubuhnya terasa begitu remuk namun tidak ada waktu untuk dirinya mengeluh karena Bandung kembali melayangkan tendangan yang mengarah ke kepalanya. Dengan cepat, Wangshiton berguling ke samping dan berlari untuk menghindari amukan setan dari Bandung.
"Mau lari kemana kau?!" teriak Bandung yang sudah kehilangan akal sehatnya tersebut. Tentu saja penyebab dari rasa amarahnya ini bukan tanpa sebab karena Washington berani mencoba melecehkan Bhutan yang merupakan teman sekelasnya sendiri.
Bandung mengejar Washington dengan sangat cepat menerobos beberapa kerumunan siswa lainnya. Saat ini dirinya sudah berada di luar kelas atau lebih tepatnya di koridor.
"Huft … huft … huft … dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Sialan aku bisa mati kalau begini terus caranya," keluh Washington yang mulai kehabisan tenaganya. Bukan main beberapa serangan yang diterimanya dari Bandung benar-benar membuat luka yang cukup fatal pada bagian tubuh lainnya. Misalnya saja seperti kakinya yang sempat nyaris dipatahkan oleh Bandung, mulai semakin melemah. Rasa-rasanya untuk tetap terus berlari, Washington mungkin sudah tidak dapat melakukannya lagi.
BRUAK
Washington yang sudah tidak bisa menahan rasa sakit pada kakinya, kemudian jatuh terkapar. Remaja itu terlihat merintih kesakitan, dirinya mencoba bangkit kembali namun percuma saja karena Bandung yang sudah mengejar dirinya benar-benar semakin dekat padanya.
Mampus! batinnya dalam hati.
Dan benar saja ketika Bandung semakin dekat dan nyaris kembali melayangkan serangan padanya, tiba-tiba saja muncul dua orang lainnya yang mencoba menghadang amukan sapi gila tersebut.
"Inilah pentingnya untuk menjaga tata krama!" tegur si rambut merah alami.
"Ya, anggap saja itu karma untuknya. Mungkin dia terbiasa hidup di negaranya yang bebas itu," timpal si rambut coklat.
Kedua orang tersebut tak lain tak bukan adalah teman sekelas Washington. Si rambut merah yang memiliki nama Bangkok dan si rambut hitam yang memiliki nama Manila.
"Kalian mencoba membantuku?" tanya Washington tidak percaya karena selama ini ia merasa tidak akrab dengan keduanya meskipun mereka satu kelas.
"Cih, siapa sudi membantumu. Kami hanya tidak mau repot-repot membersihkan mayat kotor sepertimu," sarkas Bangkok.
"Ah benar, kotoran sepertimu terlalu repot untuk dibersihkan. Kau itu benar-benar lebih buruk dari tahi," timpal Manila tak kalah pedas dari Bangkok.
Washington sangat ingin menghajar keduanya begitu mendengar kata-kata kurang ajar tersebut dilontarkan padanya. Namun mengingat situasinya saat ini sangatlah lemah, dia hanya bisa mengacungkan jari tengahnya sebagai bentuk rasa penghinaannya pada kedua orang tersebut.
"Wow lihat dia mengacungkan jari tengah," kata Manila dengan santainya. Meskipun, Manila mengatakan hal tersebut dengan santainya, sesungguhnya anak laki-laki itu tengah menahan serangan yang dilancarkan oleh Bandung secara tiba-tiba. Tentu saja di sini bukanlah pertandingan adu pendapat melainkan pertandingan adu fisik.
"Biar kubantu," ujar Bangkok yang kini tengah mencoba membanting tubuh Bandung setelah Manila berhasil menahan serangannya.
BRUAK
Bandung langsung terbanting dan jatuh terkapar. Meskipun begitu dengan cepat ia kembali bangkit.
Dan melihat hal tersebut membuat, Bangkok dan Manila saling bertatapan mata. Keduanya setuju bahwa, Bandung kini tengah berada di mode ketidaksadarannya. Di mana mode ini membuat Bandung kehilangan akal sehatnya dan bertarung dengan sangat buas mengandalkan instingnya.
"Dia jadi beruang. Ah, kau tahu ini sangat merepotkan. Washington kau benar-benar akan kubunuh nanti," keluh Bangkok.
Manila yang terus mengamati pergerakan Bandung secara diam-diam sejujurnya juga merasa sangat was-was. Dirinya tidak bisa kehilangan kosentrasi begitu saja karena, jika dirinya lengah maka habislah riwayat keduanya saat ini.
"Pakai, Dwi Chagimu, Bangkok!" suruh Manila begitu melihat Bandung yang sudah kembali bangkit berdiri dan bersiap dengan kuda-kuda silatnya. Ah, saat ini bukanlah sekedar pertarungan biasa karena saat ini merupakan pertarungan beladiri yang bersedia mengorbankan kerusakan anggota tubuh.
"Hah? Aku belum terlalu mahir menggunakannya. Lagi pula, Dwi Chagi hanya bagus saat digunakan oleh ahlinya seperti Seoul. Kau tahu aku ini spesialis Mua Thai, tahu!" protes Bangkok begitu mendengar suruhan dari teman dekatnya tersebut.
"Sudahlah gunakan saja! Aku menyuruhmu bukan tanpa alasan, justru karena Dwi Chagimu yang tidak sempurna itu bisa menciptakan peluang untukku menyerang Bandung," seru Manila yang sudah tidak sabaran.
Sejujurnya, Bangkok masih tidak mengerti dengan permintaan Manila namun ia tetap melakukannya. Melayangkan tendangan taekwondo tersebut pada Bandung secara tidak sempurna. Dwi Chagi milik Bangkok tidak bisa dibilang berhasil, karena saat melayangkan tendangan tersebut Bangkok tidak berhasil memutar tubuhnya dengan benar sehingga objek serangannya terkesan kacau.
KRAK
Meskipun pada awalnya Bangkok merasa serangannya tersebut hanya sia-sia namun sekarang ia berani percaya pada kata-kata Manila sebelumnya. Karena, ketika melayangkan serangan yang terkesan gagal tersebut ke arah lawan dan fokus lawan mulai kacau maka disitulah, Manila memanfaatkannya dengan menggunakan serangan
Setelah mendapatkan serangan tersebut, Bandung nyaris jatuh. Namun meskipun sekarang dirinya terlihat goyah, remaja itu sama sekali terlihat tidak ingin menyerah sama sekali. Bahkan, Bandung masih sempat-sempatnya menunjukkan jari tengahnya pada teman-temannya.
"Lihat hanya karena ia kehilangan kesadarannya, kepribadiannya yang kita kenal sangat sopan tiba-tiba saja berubah menjadi sekasar ini," komentar Bangkok. Pemuda itu kemudian melirik ke arah Washington yang kini tengah bersandar di tembok. "Hanya karena ulahmu, kami harus berurusan dengan monster sepertinya."
"Benar-benar merepotkan," timpal Manila yang juga merasa direpotkan karena ulah Wangshiton yang sama sekali tidak bertanggung jawab.
Manila sendiri berpikir mungkin dirinya dan Bangkok tidak bisa mengalahkan Bandung. Satu-satunya yang ia pikirkan adalah bagaimana cara untuk terus menahan Bandung sampai bala bantuan datang.
"Aku tidak yakin kita bisa mengalahkannya. Satu-satunya yang bisa kupikirkan di sini adalah bagaimana cara untuk menahan serangannya itu," ujar Manila memberitahukan hal tersebut pada Bangkok.
"Aku juga berpikiran sama sepertimu," balas Bangkok sembari melancar serangan Teh Chiang (Menendang ke atas dalam bentuk segitiga memotong di bawah lengan dan rusuk) pada Bandung yang kala itu ingin melancarkan serangan Pulo Kali yang menjadi salah satu jurus andalannya dalam silat.
"Kau gunakan kaki untuk menangkis sementara dia menggunakan telapak tangan. Wuah, aku kagum," komentar Manila yang sebenarnya bertujuan untuk mengejek.