Download App
2.22% ASING

Chapter 2: Tentang Sosok yang Hilang dan Sosok yang Sama

Elsa pernah mendapat kejutan buruk yang membuatnya harus kehilangan seseorang, saat itu adalah masa yang paling menyakitkan hingga ia 'tak mampu berkomunikasi pada siapa pun untuk mengutarakannya. Jasadnya nyata. Kain putih yang menutupi tubuhnya dihiasi warna merah berantakan, dan saat memastikan sosok di kamar jenazah waktu itu, tangannya cukup bergetar untuk meraih penghalang tipis yang menutupi.

"Tahan. Gue jemput lu buat ke rumah sakit."

Tubuhnya yang sehat saja tidak bisa melawan Naura kalau sudah memiliki kemauan, apalagi kalau lagi sakit berat hingga membuatnya kesulitan bangun seperti waktu itu. Penyakit yang menyerang adalah muntaber, dan ketika mendengarnya, Naura tancap gas mau membawanya ke rumah sakit. Saat itu hujan turun begitu deras, padahal Elsa minta biarkan dulu cuaca membaik agar mereka tidak terlihat seperti menantang maut. Lagian hujannya bukan sekedar bawa hawa dingin, tapi saudaraan dengan hawa menakutkan dan hawa tidak enak hati.

Hampir berjam-jam dia menunggu, hujan juga sudah reda. Tapi Naura 'tak kunjung datang ke rumahnya. Elsa berusaha menghubungi nomor gadis itu tapi mendadak tidak aktif, bahkan dia jadi risau karena ingat Naura baru saja belajar mengendarai mobil panti asuhan sejak satu minggu belakangan. Tidak. Seharusnya pikiran semacam itu tidak ia izinkan menghantui hati dan pikirannya, sebab setelah notifikasi grub dari teman-teman satu kelas dibuka, ia meruntuk pemikiran sendiri.

Seketika Elsa jadi lupa kalau sedang dalam keadaan sakit. "Semoga bukan, semoga bukan." Kalimat itu terus terucap dari bibir yang bergetar. Magrib telah lewat, dzikir dan doa berbentur hebat dalam dada dia sampaikan kepada Maha Kuasa. Dia yakin, pasti keinginannya sedang bertempur di langit sana. Antara dikabulkan dengan tidak, dan Elsa benar-benar berharap bukan Naura sosok yang ada di dalam sana.

Kakinya menjadi deretan antri bersama anak-anak panti asuhan lain yang seangkatan sama Naura, satu demi satu wajah kesedihan terlihat saat keluar dari ruang peristirahatan sementara. Hingga sampai pada giliran Elsa. Dia menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan berat, seluruh tubuhnya jadi terasa panas dingin, padahal tempat itu bersuhu rendah.

"Naura?" Dia tidak percaya. Mata yang tertutup rapat di pembaringan sana benar-benar sahabatnya. "Enggak. Kamu bukan Naura!" Langkahnya mundur, tidak diperuntukkan maju agar bisa menggapai jasad itu untuk terakhir kalinya. Jeritan kehancuran terekspos saat dia berusaha lari, pergi dari tempat kelam yang dibencinya mulai detik di mana hatinya kecewa berat.

Elsa tidak menghampirinya, tidak mengucapkan kalimat perpisahan, bahkan tidak ikut ke pemakaman karena harus dirawat insentif selama satu minggu. Kesehatannya sulit kembali karena pikiran yang begitu membebani, dia menolak makan, bahkan tidak mau minum obat. Hari-hari dilewati dengan tangis, hingga ia bisa tertidur dalam keadaan pipi yang basah.

Lalu suatu ketika, Elsa bermimpi bahwa Naura menjenguknya di waktu tengah malam. Dia bilang, "Lo bukan sahabat gue yang lemah. Lo kuat! Dan gue yakin lo bisa buat jalanin hari tanpa gue, El. Kalo sampai gue ketemu sama lo di akhirat, gue bakal minta sama Allah untuk enggak menyatukan kita di surga yang sama."

Semenjak saat itu, Elsa mulai menerima kenyataan. Memang sakitnya masih ada. Tapi hal itu bisa pelan-pelan terobati, meski rasa yang kehilangan belum sepenuhnya terasa membaik.

'Dari Naura, untuk Elsa.

Kita rapuh buat sama-sama jadi kuat, bukan gue yang jagain lo, tapi kita. Kita yang emang ketemu buat saling menjaga dan menguatkan, senyum lo yang sekarang, semua bukan karena gue, tapi karena lo emang pantas buat itu. Sehat terus, Elsa. Selamat Ulang Tahun.'

Bagai musim buah periode awal tahun, ia bisa menjalani kegiatan di dunia pendidikan baru tanpa sosok sahabat yang selalu menempel dengannya di semasa SMP. Hari-hari dilalui sendiri, dia juga berani mengekspresikan diri, bahkan bisa bergaul dengan semua orang. Meski belum ada satu pun orang yang mampu mengganti keberadaan Naura.

"Nama dia Aica." Sayangnya, Elsa dibuat pangling oleh orang yang dia anggap sangat mirip sosok sahabatnya di hari pertamanya pindah sekolah.

Elsa terlalu penakut untuk memulai pertemanan, dulu, saat masih SMP. Ia menjadi salah satu korban kekerasan karena dianggap lemah, dan hanya Naura saja yang membelanya hingga tidak ada lagi yang berani berperilaku 'tak senonoh meski itu menempati bangku meja miliknya.

Naura itu seperti payung di saat hujan turun, meski bisa terbalik diterpa angin kencang, tapi masih bisa diperbaiki kembali untuk tetap dipakai. Sedangkan Elsa adalah pengguna, di balik hujan deras yang jatuh, ia selalu berlindung di balik Naura. Keduanya saling melengkapi, hingga cuaca berganti cerah yang 'tak jarang pelangi juga bisa muncul.

"Tapi kenapa mirip banget," cicitnya hingga Reffan yang berdiri di sebelahnya menghela napas.

"Ada tujuh manusia yang punya wajah mirip di dunia ini, ada dijelaskan juga dalam Al-quran. Jadi buat apa heran kalo nemu orang yang mirip." Jujur Elsa sedikit kaget saat Reffan bicara banyak padanya seperti sekarang ini, antrian buat pesan makanan juga lumayan panjang, mungkin Reffan bosan hanya berdiri dan diam saja.

Tanpa laki-laki itu perhatikan, banyak siswi di kantin yang menjatuhkan fokus padanya. Entah Reffan sadar diri atau tidak, cukup berdiri sambil memasukkan tangan ke dalam saku almamater pun dia sangat keren. Orang ini ganteng, bahkan terlalu ganteng saat dilihat dari dekat. Elsa tidak tahu bagaimana jantung Airin baik-baik saja selama duduk sama laki-laki ini dalam satu meja.

"Kamu dilihatin banyak cewek," bisik Elsa.

"Hm." Dan gadis itu menebak ini arti mungkin 'iya gue tau, lu mah berisik amat dah jadi cewek!'

"Kamu populer banget, aku tiba-tiba takut kalo misal jadi pacar kamu," kata Elsa lagi, "Mereka sinisin aku karena datang sama kamu ke kantin," lanjutnya dengan melirik beberapa yang tampak sinis sewaktu melihat ke arah Elsa, sepertinya tidak senang.

"Itu berarti lu enggak cocok sama gue," sahut Reffan, tanpa menoleh sebab fokus melihat ke depan dengan tatapan kosong.

"Ih, kenapa gitu? Belum tentu kalo belum dicoba." Elsa pikir ini menarik, tampak Reffan memancingnya untuk mengatakan hal ini tadi.

Sebelum benar-benar menjadi pemesan berikutnya, Reffan mengatakan, "Gimana mau coba kalo orang di sekitar mandangnya kayak mustahil bersatu, Elsa?"

"Itu tandanya mereka iri." Elsa bilang.

"Enggak berani dilawan? Kayak diteriakin gitu?"

"Hah buat apa?"

Reffan samar tersenyum, lalu bayangan seorang gadis dengan kalimat khasnya berbunyi : "Apa lu semua lihat-lihat? Iri? Makanya jangan jual mahal kalo mau deket sama Reffan! Kayak sok iye aja lu pada bakal dilirik."

Bahkan dia nyaris tergelak untuk yang satu itu. "Ternyata memang Airin yang berbeda," katanya.

tbc;


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login