Download App

Chapter 2: Sebuah Sumpah

Aku mengalihkan pandanganku dari jendela saat bunyi mesin motor terdengar nyaring bersamaan dengan bel pulang sekolah yang baru saja berbunyi.

Tiba-tiba saja debaran jantungku menggila dan otakku terasa kosong, apa yang terjadi? Ada apa dengan jantung ini?

Aku menyeret tasku dan berjalan enggan melewati Bayu dan kelompok konyolnya. Namun, belum sampai dilangkah ketigaku setelah melewati sang leader, sebuah bola menghantam keras belakang kepalaku.

Mereka bercanda?

Aku menghentikan langkahku dan berbalik dengan enggan. Beberapa anak langsung mengerubungiku dengan tatapan yang entah apa artinya.

Mataku tertuju pada Bayu yang menatapku datar dari bangkunya. Tangannya menggenggam erat kaleng minuman bersoda di atas meja, dengan mulut terkatup rapat.

"Orang yang nemuin lo kemaren, lo kenal sama dia?" tanya Bayu setelah cukup lama menatapku dalam diam.

Sial. Dia menghentikanku hanya untuk menanyakan itu?

"Bukan urusan lo!" ketusku.

Bayu menatapku tajam, seolah ia ingin mengatakan banyak hal kepadaku, tapi ia terlihat seperti menahannya.

"Gue lagi gak mood buat ribut! Jawab yang bener! Lo beneran kenal sama dia?" Bayu berdiri lalu melangkah mendekat ke arahku. Ia berhenti tepat satu meter di hadapanku.

"Ya." sahutku malas.

"Jadi, lo anggota Elang Hitam?" tanyanya penuh selidik. Ia menatapku tajam tanpa kedip.

Semua orang langsung melangkah menjauh dariku saat Bayu mengucapkan nama kelompok kami itu.

Tidak banyak yang tahu mengenai kelompok kami. Kami selalu bekerja dengan rapi. Jadi, dari mana dia tahu?

Bayu melangkah lebih dekat dengan tatapan yang tak pernah teralih dari mataku.

"Seberapa deket lo sama Sayuti?" Bayu setengah berbisik dengan tangan mengepal kuat di kedua sisi tubuhya.

"Sekali lagi, itu bukan urusan lo!"

Bayu meraih kerah bajuku dan mencengkramnya erat.

"Gue gak biasa bersikap baik sama orang, asal lo tahu!" serunya dengan suara berat.

Aku meraih tangan Bayu, lalu menghentakkannya dengan kasar hingga ia melepas cengkramannya dari kerah bajuku.

"Kalo lo masih sayang nyawa, berhenti nyari perkara sama gue!" Aku memperingatkannya.

Tidak ada yang berani mengeluarkan suara setelahnya, bahkan Bayu yang memulai perdebatan tidak penting ini, hanya membeku di tempat dengan tatapan nanar yang tertuju padaku.

Aku segera beranjak meninggalkan kelas dan pergi ke parkiran.

Angin dingin berhembus, menggelitik kulit leherku dan menusuk tulangku.

Sial, aku benci dingin.

Drrrt ... drrrt ... drrrt ...

Getar ponsel membuat langkahku terhenti. Aku lalu menariknya keluar dari saku celanaku dan terkejut melihat nama Carolyn Smith di layar. Reflek tangan ini menerima panggilan itu dengan cepat.

"Mum?"

"Du musst leben!" lirih ibuku dari sebrang sana.

(Kamu harus hidup!)

Duooorrr!

Aku langsung membeku di tempat saat terdengar suara tembakan dari sana.

"Mum?" pekikku panik.

"Ich liebe dich."

(Aku sayang kamu.)

Lalu terdengar suara seorang pria di sana, disusul derap langkah dan beberapa suara aneh lainnya.

Aku menyambar motorku dan bergegas mengendarainya menyibak jalanan kota Jakarta.

Aku terus memacu motorku dengan kecepatan 100 Km/jam, dan mengambil beberapa jalan pintas.

Kulemparkan motorku sesampainya di depan pintu rumah yang terbuka. Aku berlari melewati para pembantu yang tergeletak dengan bersimbah darah di lantai.

Langkahku terhenti, dan tubuhku membeku saat Ibuku keluar dari kamar dengan langkah terseret. Ia memegangi kakinya yang terus mengeluarkan darah segar.

"Bams, gehen!" teriaknya panik.

(Bams, pergi!)

Kenapa?

Tepat satu langkah saat aku mendekat ke arahnya, tiga tembakan menghujami tubuh ibuku.

Dengan air mata dan darah yang mengalir sendu, ibuku tergeletak tak berdaya. Dan yang lebih menyakitkan adalah, saat ia masih sempat tersenyum ke arahku sebelum menutup matanya.

"Mum?" teriakku saat melihat tubuh wanita yang sangat kukasihi itu terbujur kaku di lantai.

Aku berlari menghampirinya, kurengkuh tubuhnya dan memastikan ia masih bernapas. Brengsek, aku tidak merasakan apa pun. Napasnya, denyut nadinya, tidak ada yang bisa kurasakan.

Tidak.

Aku pasti salah. Dia pasti masih hidup.

Aku menoleh ke arah balkon kamar Ibu, beberapa orang tengah berdiri menatapku dengan handgun ditangan mereka.

Mereka melompat turun dari balkon, namun aku masih sempat melihat seorang pria dengan tato kucing di lengan kanannya.

Aku menggendong tubuh ibuku dan berlari membawanya ke garasi, kubuka mobil dengan tergesa dan meletekkan tubuh ibu di sana.

Tidak bisa begini, dia tidak boleh mati.

Aku mengemudikan mobil, keluar dari rumah dan menuju rumah sakit terdekat. Beberapa perawat berlari menghampiri kami sambil membawakan brankar dorong setibanya kami di sana.

Dan setelah mereka membawanya ke sebuah ruangan, yang mereka lakukan hanyalah terdiam dan saling melemparkan pandangan ke satu sama lain.

"Kenapa kalian diam? Lakukan sesuatu! Ibuku sedang kesakitan!" sentakku.

Saat seorang dokter tiba, ia langsung memeriksa kondisi ibuku. Ia sama saja, kenapa mereka hanya terdiam tanpa melakukan apa pun?

"Cepat bersihkan jenazahnya!" perintah sang dokter.

Jenazah?

Aku menghampiri dokter tersebut dan mencengkeram erat kerah jasnya. Tapi, ia hanya menatapku dengan tatapan sendu.

"Kenapa Anda diam? Cepat lakukan sesuatu! Sembuhkan ibuku!" teriakku tepat di depan wajahnya.

"Kami turut berbela sungkawa. Tabahlah, Nak!" kata dokter tersebut pelan.

Berbela sungkawa?

Aku melepaskan cengkramanku darinya dan berjalan lemas menghampiri ibuku.

Wajah pucatnya, tubuhnya yang terbujur kaku, darah yang menodai gaun indahnya, dan air mata bercampur darah yang hampir mengering di bawah matanya. Aku akan menyimpan gambaran ini seumur hidupku. Demi apa pun, aku akan membalasnya. Akan kuhabisi mereka yang telah mengambil wanita yang kukasihi ini dariku. Akan kukirim mereka ke neraka.

"Bambang, apa yang terjadi?" pekik Bang Sayuti yang baru saja tiba. Ia terbelalak menatap tubuh ibu yang tergeletak di atas brankar.

"Mereka menghabisi Ibu." lirihku.

"Mereka siapa? Gue langsung ke sini setelah lihat keadaan rumah lo!"

"Seorang pria dengan tato kucing di lengan kanannya!" gumamku pelan.

Tapi tidak cukup pelan karena Bang Sayuti masih bisa mendengarku. Ia langsung menelepon seseorang untuk mengirim beberapa orang memeriksa rumah untuk mencari petunjuk.

"Di mana bokap?" aku melirik sekilas ke arah Bang Sayuti.

"Batam! Ada pertemuan dengan petinggi kelompok Elang yang lain!"

Aku menghela napas lega, setidaknya aku masih punya ayah untuk saat ini.

"Biar gue yang urus pemakamannya!" ucap Bang Sayuti pelan.

"Hum, makasih Bang." sahutku datar.

Bang Sayuti berbalik dan mulai sibuk dengan ponselnya.

"Silakan tunggu di luar, kami harus mengambil peluru dan membersihkan tubuh beliau." ucap seorang perawat.

***

Dia hanyalah seorang wanita lemah yang selalu tersenyum kepada suami dan anaknya. Siapa bajingan yang bisa berbuat seperti ini padanya?

Siapa pun itu, kupastikan dia akan menderita dan hidupnya akan berakhir di tanganku.

Ini adalah sumpahku.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login