Download App

Chapter 5: Laki-laki Jelmaan Kadal 4

"Duduk manis di sana dan jangan bergerak!" teriakan Luna membahana di rumahnya yang kecil, sampai-sampai Bibi Hanah yang masih menggosip langsung terdiam.

Aodan duduk di atas lantai dengan kedua tangan di atas lutut.

"Apa salahku? Aku kan berusaha menghibur?"

Luna melempar bantal sofa ke wajah Aodan, perubahan kadal yang mendadak ini hampir saja membuatnya mengalami serangan jantung.

"Bukankah sudah kubilang jangan menyentuhku?! Sana, pakai baju!"

Luna mengusap pipinya dengan jijik, kalau kadal ia masih bisa menoleransi, sedangkan kalau seorang laki-laki bertubuh besar macam Aodan rasanya benar-benar tidak tertahankan.

"Oke, aku tidak menyentuhmu." Aodan mengangkat tangannya, ia melirik ke sekitar dengan canggung. "Tapi aku tidak mau baju tadi."

Luna melempar bantal untuk kedua kalinya dan menunjuk ke arah ruang depan, Aodan langsung bangkit berdiri dan menghilang mengambil kemeja bunga yang tadi sempat ia buang, dengan dongkol, ia memasangnya.

"Aku lapar," lapor Aodan kemudian pada Luna. "Ayo masakkan aku sesuatu."

Luna memutar bola matanya dengan malas, ia benar-benar tidak mood untuk melakukan apa pun sekarang, hatinya masih terasa sakit mendengar omongan tetangga.

"Hei, Luna … aku lapar."

Aodan datang pada Luna dengan kemeja berwarna ungu, terdengar bunyi derit dari sofa yang memilukan ketika Aodan duduk di samping Luna.

"Bisakah kau cari makan sendiri? Aku tidak punya uang, aku kosong seperti hatiku sekarang." Luna tidak berhenti mengomel, wajahnya merah seperti buah tomat yang ada di kebun penuh rumput diluar sana.

Aodan melirik sekitar, rumah kecil ini tidak terlihat bersih, ada sampah dan pakaian kotor yang menumpuk dimana-mana, bahkan ia bisa melihat pakaian dalam wanita itu tersebar di lantai kamar mandi, belum lagi ketika ia menyentuh pinggiran meja, ada debu yang tebal.

Satu-satunya hal yang mungkin Aodan syukuri di rumah ini setidaknya peralatan makan dan minum tersimpan rapi di dalam lemari, entah hanya perasaannya saja atau sebenarnya Luna tidak pernah makan selama ini?

"Apa kau sangat miskin?" Aodan menyipitkan matanya, Luna mengabaikan pertanyaannya dan terus mengomel, menutup semua tirai jendela rapat-rapat.

"Kenapa? Kau sedang memikirkan mencari Tuan baru? Pergilah!" Luna melotot dan menunjuk ke arah luar. "Aku juga tidak ingin mengurus kadal jadi-jadian sepertimu!"

Aodan memutar bola matanya, ia merogoh sesuatu dari dadanya dan melemparkan ke atas meja, sesuatu yang lonjong berputar dan jatuh, berwarna kuning keemasan.

"Apa itu?" Luna mengerutkan keningnya, mendekat dan mengamati apa yang dilemparkan oleh Aodan.

Karena tirai jendela sudah ia tutup, Luna menyalakan lampu dan Bibi Hanah yang masih mengobrol tadi melihatnya, ia memutar jari telunjuknya di udara, mengisyaratkan bahwa Luna sudah kehilangan kewarasannya.

Luna tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana, ia mengamatinya ke dekat lampu, benda itu berbentuk pipih seperti daun, berwarna kuning keemasan dan permukaannya sedikit kasar.

Luna berhenti mengamati, matanya sedikit silau dan menyipit ke arah Aodan.

"Itu emas," katanya sambil berdehem. "Kalau kau tidak percaya kau bisa pergi ke toko …perhiasan."

Aodan tidak bohong, itu memang emas. Tapi ia tidak bisa memberitahu kalau itu adalah salah satu dari sisik di bagian dadanya.

Mencabut sisik itu menyakitkan, lebih baik Aodan diam daripada di masa depan nanti Luna akan mencabut satu demi satu sisiknya.

Aodan tidak tahu apa sebutannya orang yang menjual emas di peradaban yang aneh ini, tapi ia yakin jika emas masih merupakan benda yang sangat berharga bagi para manusia.

"Kau tidak berbohong kan? Ini bukan benda konyol yang keluar dari …." Luna melirik belakang Aodan, laki-laki itu langsung merapat ke sofa dengan wajah merah.

"Bagaimana kau bisa berpikir sekotor itu! Sana pergi ke toko perhiasan, dia pasti bisa menukarnya dengan uang."

Luna mengamati emas pipih itu lagi di tangannya dan menghela napas.

"Tidak ada gunanya, menjual emas tanpa sertifikat akan membuatku terlihat seperti perampok, bukannya dapat uang yang ada aku malah dipenjara."

"Wah, dunia ini sangat rumit." Aodan bergumam pelan, lalu berdiri. "Tidak apa-apa, ayo pergi denganku saja, kujamin mereka pasti akan menjualnya."

Kadal jadi-jadian itu tersenyum lebar dan memamerkan giginya, Luna terlihat tidak percaya, tapi perutnya yang lapar terus berbunyi dan menghela napas, ia akhirnya pasrah mengganti pakaiannya dan Aodan masih mengenakan kameja bunga di tubuhnya.

Luna sedikit ragu ketika akan membuka pintu, Bibi Hanah masih mengobrol dengan orang yang tadi, bibirnya yang tebal itu dengan lihai mengeluarkan sejumlah gosip ditambah dengan bumbu penyedap.

"Wow, badut itu masih berbicara."

Aodan membungkukkan sedikit badannya untuk melihat di belakang Luna yang lebih pendek darinya. "Tenang saja, aku akan menemanimu. Jangan takut dengan para badut itu."

"Sudahlah, toh aku juga dianggap gila selama ini."

Luna menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu dengan kencang, sontak para tetangga langsung menoleh.

"Ayo kita per …."

BOOF!

"Gi …."

Aodan baru melangkahkan kaki keluar dari pintu dan ia langsung berubah menjadi kadal di atas lantai, matanya menatap Luna dengan pandangan memelas.

"Sudah kuduga kau tidak bisa dipercaya."

Luna dengan gemas meraih kadal hitam itu dan meremasnya beberapa kali, dalam satu kali sentakan ia memasukkan kadal jadi-jadian ke dalam tas kain yang ia bawa.

Bibi Hanah dan yang lainnya mengerutkan keningnya, di mata mereka Luna tengah menyiksa binatang reptil dengan ekor yang panjang, terlihat sedikit mengerikan dan bukan pemadangan yang wajar untuk orang waras.

Kadal hitam itu mendengus, ekornya itu melilit tangan Luna, mencoba melawan tubuhnya yang dilempar ke dalam tas bersamaan dengan botol minum, lidahnya menjulur keluar dan mengeluarkan suara desisan.

"Bisakah kalau berubah bilang-bilang dulu?! Kalau seperti ini lebih baik kau jadi kadal saja seumur hidup," omel Luna sambil menutup rapat-rapat tas kain.

Aodan mendesis, bergerak-gerak ingin keluar, tapi Luna dengan kejam menampar tas kain itu dan mengguncangnya ke atas dan ke bawah, ia memekik dengan gemas.

Hingga kadal itu tidak lagi bergerak, entah karena takut atau pusing.

"Nah, begitu dong dari tadi." Luna menepuk kedua tangannya penuh kepuasan.

Begitu ia melangkah, ia langsung melihat mata penasaran tetangganya. Luna mengibaskan rambutnya dan ia tersenyum tipis dengan mata terbuka lebar pada Bibi Hanah, lalu berbalik meninggalkan rumahnya dengan langkah lebar.

"Kau lihat tadi? Dia tersenyum dengan wajah yang aneh." Bibi Hanah kembali berbisik, ada raut kasihan di wajahnya.

"Kita harus cepat memanggil petugas untuk mengirimnya pergi ke Rumah Sakit Jiwa." Lawan bicaranya bergidik, memang perceraian tidak bisa dilalui dengan mudah, apalagi bagi Luna yang jauh dari kerabat.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C5
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login