Download App

Chapter 30: Si Penelepon Berisik

Avery sedang mengikat rambut cokelat panjangnya menjadi kunciran ekor kuda saat kemudian Dom bergabung di atas kursi rias dan memeluknya dari belakang.

"Gerai saja rambutmu, Sayang," ucapnya sambil mengecup leher terbuka Avery.

"Mengapa?" tanya Avery. "Kita sekarang sudah baik-baik saja, bukan? Maksudku dengan pe ... pelepasan kita semalam, feromon kita tidak akan ... mmmhh." Ciuman mesra dari Dom menghentikan ucapan Avery yang belum tuntas.

"Bukan feromon lagi masalahnya, tetapi ini," bisiknya sambil menelusuri leher mulus Avery hingga tulang selangkanya dengan bibir lembut Dom. "Aku tak ingin ada pria maupun hewolf lain yang dapat menatap leher sensual terbukamu, Sayang," gumam Dom.

Avery sedikit mengerucutkan bibirnya tanda tak suka. "Apa sekarang kau sedang mengatur penampilanku?" tanyanya.

Dom menggeleng dan tersenyum. "Aku tidak mengaturmu, Sayang. Aku hanya merasa tidak rela dan cemburu jika ada yang menatap wanitaku," balasnya. "Baiklah, begini saja, aku ingin bertanya ... bagaimana jika hari ini aku pergi ke kantor dengan berpakaian seperti ini?" Dom serta-merta melepas beberapa kancing kemejanya yang kenudian memperlihatkan sedikit otot liatnya yang menyembul.

Avery mengerutkan alisnya dan refleks mengancingkan kembali kemeja Dom. "Kurasa itu bukan ide yang bagus," ucap Avery buru-buru.

"Mengapa? Apa kau tak suka, Sayang? Apa kau cemburu?" tanya Dom dengan binar geli. Sebenarnya tak perlu Avery menjawab pun, Dom sudah tahu apa isi hatinya.

"Tak ada alasannya, gaya seperti itu hanya tak cocok denganmu," ucap Avery sambil sedikit memalingkan wajahnya yang sedikit merona. Ia menghindari tatapan Dom yang berbinar-binar kepadanya.

Don hanya tersenyum kecil karena geli. "Oh, istriku yang posesif ... jangan malu-malu untuk mengakui kecemburuanmu, Sayang," goda Dom. Ia kemudian melepas ikatan rambut Avery dan menciumnya gemas. Perasaan senang penuh kepuasan membuncah di dadanya.

"Aah, kau membuatku gila, Sayang," desah Dom beberapa saat setelah melepaskan pagutannya. Ia tak dapat mengalihkan pandangannya pada istri cantiknya yang kini masih setengah memejamkan matanya dengan bibir basah merekah akibat efek ciumannya. Rambutnya yang tergerai mengingatkannya kembali pada momen-momen panas mereka semalam yang berlanjut berkali-kali hingga akhirnya pagi menjelang.

Dom tercekat karena tenggorokannya terasa kering. Ia merasa haus. "Bisakah aku memasukimu sekali lagi sebelum kita pergi hari ini, Sayang? ucap Dom parau. Matanya telah menggelap sempurna. Gairah tiba-tiba telah menguasainya seketika karena pengaruh ekspresi sensual yang telah istri cantiknya itu perlihatkan padanya.

Tak ingin menunggu jawaban Avery, Dom segera membopong tubuh ramping istrinya dan merebahkannya kembali ke atas ranjang.

"Dom ... a ... aku telah rapi dan selesai bersiap," protes Avery lirih. Lebih menyerupai bisikan mendamba.

"Dan aku akan dengan senang hati membuatmu 'berantakan' lagi. Aku tak keberatan menunggu selama apapun kau bersiap setelah aku membuatmu kacau," bisiknya.

Ia mulai mencumbui lagi leher Avery dan melepas kancing kemeja satin wanita itu yang telah menggeliat sempurna di bawah tindihan tubuhnya.

"Oooh, Doom ...," desah Avery kecil

Seperti bagai terhipnotis, Dom lalu semakin liar menggencarkan serangan-serangan erotisnya yang lain setelah mendengar desah sensual itu. Ia merasa seolah akan menggila jika mendengar desahan Avery. Ia merasa tak pernah cukup. Bagai telah menemukan candunya, ia selalu ingin lagi ... lagi ... dan lagi berada di dalam kehangatan tubuh istri mungil tercintanya itu.

****

Siangnya di kantor Anima ....

Avery dan Dom sama-sama telah menyelesaikan pekerjaan mereka ketika ponsel Dom kemudian berdering. Setelah menatap layar pada ponselnya, Dom menghela napasnya sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut.

"Bocah berandalan! Apa kau ingin kukoyak?!" teriak suara seorang wanita dari seberang ponselnya. Dom sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya yang berdengung seketika.

Avery yang berada dalam satu ruangan dengan Dom mulai menatapnya was-was. Ia seolah mempertanyakan si penelepon dengan raut wajahnya.

"Hai, Mom," jawab Dom santai. Sedang Avery membulatkan kedua matanya karena terkejut. Ia bahkan refleks berdiri dari tempat duduknya dan bergerak menghampiri Dom.

"Katakan!!! Kau telah menikah di dunia manusia dan bahkan itu tanpa memberitahukan kami?!! Apakah itu benar?!" teriaknya lagi.

Dom mendesah. "Ya ... Mom, itu benar. Dan bukannya tak ingin, tapi pasti aku akan memberitahu kalian. Hanya saja kemarin waktunya belum tepat. Bisakah kalian bersabar?"

"Siapa istrimu? Bagaimana kau bertemu dengan shewolf sepertinya hingga kau memutuskan untuk menikah di sana? Dari pack mana dirinya? Apakah kau dan dirinya telah melakukan penyatuan? Apa aku akan dapat segara memperoleh cucu-cucu kecil yang menggemaskan darimu?" cecar wanita yang bertanya dengan antusias itu.

"Oh, ya ampun, Mom!" keluh Dom. "Perlahan-lahan, satu-satu. Jangan membuat istriku terkejut dan kabur karenamu, Dorothy Aiken," gumamnya.

"Istri? Oh! Apa ia berada di sampingmu? Berikan ponselmu padanya, Dominic! Aku ingin berbicara dengannya!" ucap Dorothy seolah tak menghiraukan keluh putranya.

"Tidak, sampai ia siap dan aku membawa ke hadapan kalian sendiri," balas Dom. Avery sendiri menggigit bibir bawahnya dengan cemas.

"Apa!! Dasar kau! Lucius!! Kemarilah, dan bicaralah pada putramu! Ia tak memperbolehkanku berbicara dengan istrinya!" seru Dorothy yang terdengar jelas di dalam ponsel Dom.

"Oh, ya ampun," gumam Dom lagi. Ia memutar kedua bola matanya karena hafal apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Bocah berandal! Apa kau menolak ibumu?!" gelegar suara Lucius, ayah Dom kemudian mengambil alih panggilan tersebut. "Bawa istrimu kemari! Dan kau berani-beraninya mengabaikan kami dalam pernikahanmu?! Apa kau telah menjadi manusia? Apa kau begitu senang tinggal di sana hingga kau mengikuti dan hidup dengan adat mereka?!" teriaknya.

"Oke, hentikan Dad. Kurasa bukan hanya aku saja yang mengikuti adat manusia. Jika kau tak suka dengan itu, maka tak perlu memintaku untuk mengirim semua barang-barang manusia ke dalam Anima. Dan by the way Dad ... kau pun sekarang sedang menggunakan benda manusia, apa kau lupa itu?! Sudahlah, aku akan tutup panggilan ini."

"HEII! KAU BOCAH ...!!"

"Tuuut ...!!"

Dom telah menutup panggilan teleponnya begitu saja, bahkan sebelum ayahnya selesai berkata-kata. Setelahnya, Dom menghela napasnya dengan lega. "Sungguh berisik, bukan?" ucapnya sambil sedikit meringis, merujuk pada Avery yang sedari tadi hanya menontonnya dengan was-was.

"Woow," balas Avery takjub. "Aku tak tahu harus berkata apa. Maafkan aku ... apakah karena aku menolak ide tentang kehadiran kedua orangtuamu, maka ...."

"Hei ... hei ... hei, Sayang ... bukan itu," potong Dom. Ia lalu menghampiri Avery yang tengah berdiri di hadapan meja kerjanya.

"Sebenarnya, kedua orangtuaku pun tak terlalu suka berada di dunia manusia. Yah, kau mungkin telah sedikit mendengar bagaimana perlakuan para manusia yang gemar memburu dan memusnahkan kami?"

"Ya ...," lirih Avery. "Maafkan aku."

"Kau meminta maaf lagi. Untuk apa, Sayang?" Dom kemudian meraih dagu Avery.

"E ... entahlah, aku begitu gugup. Apakah orangtuamu ingin bertemu denganku? Bagaimana jika mereka tak menyukaiku? Bagaimana jika mereka tahu aku bukanlah wanita yang seperti mereka harapkan? Oh ... kita sudah terlanjur menikah! Bagaimana jika ... jika ... mmmh." Lagi, pagutan Dom menghentikan ocehan panik Avery seketika. Untuk beberapa saat, Avery berhasil teralihkan oleh ciuman dan serangan lidah lembut Dom padanya.

"Tenanglah, Sayang ... dan bernapaslah perlahan," ucap Dom ketika ia sudah berhasil menghentikan kepanikan Avery dengan ciuman lembutnya. "Mereka tidak mungkin menolakmu, Sayang. Sudah kukatakan, bahwa kau adalah takdirku. Dan tak ada siapapun yang dapat menolak atau melawan takdir seorang wolf dengan mate-nya. Termasuk kedua orangtuaku sekalipun."

"Baiklah ... aku sudah tenang," lirih Avery. Ia tanpa sadar sudah bergelayut dalam dekapan dada Dom. "Jadi ... apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Avery kemudian.

"Well ... sepertinya memang kita tak memiliki pilihan lain untuk hal ini. Aku rasa, setelah mendengar ucapan si penelepon berisik tadi, kita memang harus mengunjungi kedua orangtuaku sebelum mereka mungkin akan datang sendiri untuk mengoyakku atau mengobrak-abrik mansion nantinya," gumam Dom.

"A ... apa?! I ... itu artinya ...," ucap Avery tercekat.

Dom mengangguk tanda mengiyakan. "Ya, Sayang ... bersiaplah untuk segera bertemu dengan kedua orangtuaku," tegasnya.

Avery menelan ludahnya.Tenggorokannya terasa kering. Ide untuk menemui kedua orangtua Dom mungkin adalah sesuatu yang masih sulit ia cerna dan hadapi sepenuhnya. Ia jelas merasa panik dengan bayangan-bayangan kecemasan yang menari-nari di dalam benaknya.

____****____


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C30
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login