Download App

Chapter 2: Bagian 2

Putri dan Tyas mengatur napas sejenak. Mereka memang tersengal setelah lari terlalu kencang. Tubuh keduanya juga banjir keringat, sehingga membasahi baju yang dikenakan.

"Tyas, Tyas, kenapa juga kamu lari kayak kesetanan? Udah tau panas kerontang gini," protes Putri setelah berhasil mengatur napas.

"Gara-gara si Paijo, Kak! Malesin banget liat mukanya," gerutu Tyas.

"Itu aku yang nyuruh kok. Dia bakal bantuin kita buat main alat musik."

"Apa? Ih, Kakak gimana, sih? Ogah beudh! Bukannya kita bedua aja udah cukup?" keluh Tyas tak terima.

"Tarian tanpa musik itu terasa kurang, Tyas."

"Tapi, kenapa harus Paijo, sih? Cari cowok lain aja! Paijo itu tuh rese ...."

Tyas terus menggerutu. Dia mengeluhkan banyak hal tentang Paijo. Pemuda nyentrik itu memang sudah lama mengejar-ngejar Tyas. Putri mengerti kenapa sahabatnya itu menjadi antipati, tetapi kapan lagi bisa mendapatkan tenaga pemain musik gratis dengan kemampuan mumpuni seperti Paijo.

"Sudah ah, ayo kita lanjut jalan lagi," cetus Putri setelah Tyas kehabisan omelan.

Meskipun sambil bersungut-sungut, Tyas menurut juga. Mereka kembali berjalan ke arah utara. Taman yang dituju hanya tinggal 100 meter. Keduanya mengobrol ringan sambil sesekali tertawa, hingga Putri mendadak menghentikan langkah. Dia tampak terpaku menatap ke satu arah, sebuah pusat perbelanjaan.

Tyas tentu keheranan dengan tingkah sang kawan. Dia mencoba mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Putri. Namun, Putri tampak tak terpengaruh. Pikirannya seperti berada di tempat yang jauh.

"Kak? Kak Putri? Kakak kenapa?" panggil Tyas seraya menggoyangkan badan Putri.

Putri tersentak. "Ah, ya!" Dia tersenyum canggung. "Aku enggak kenapa-kenapa, kok. Biasalah keinget sesuatu jadi bengong," kilahnya.

"Emangnya keinget apa, Kak?" cecar Tyas dengan tatapan penuh selidik.

Gadis bertubuh mungil itu memang ratunya kepo. Penjelasan singkat tidak cukup untuknya. Putri berpikir cepat sembari mengamati sekeliling agar bisa mencari alasan. Dia tersentak saat menyadari bentuk tak biasa pusat perbelanjaan di hadapan mereka. Modelnya tidak menunjukkan konsep modernisasi secara sepenuhnya, tetapi juga dipadukan dengan aksen tradisional. Tangannya seketika terkepal kuat.

"Kenapa mirip? Apa maksud mereka membuatnya mirip? Untuk menghina kami? Seperti menertawakan penderitaan kami?" geram Putri dalam hati.

"Kak, Kak Putri? Ih, bengong lagi! Kakak keinget apa, sih? Sampai gini-gini amat," omel Tyas, membuyarkan lamunan Putri.

Putri menunjuk ke arah pusat perbelanjaan. "Mall itu desainnya agak mirip rumahku yang dulu," gumamnya getir.

"Oh ... bentuknya unik kayak ada tradisional-tradisionalnya gitu."

"Dulu, rumahku itu sanggar tari, jadi bentuknya rumah tradisional," timpal Putri.

"Kakak pasti jadi kangen rumah, ya? Gimana kalo kita mampir ke mall itu?"

"Enggak!"

"Eh?"

"Maksudnya, aku lebih suka belanja di pedagang kecil aja."

"Oke, oke. Tapi, sesekali bolehlah kita cuci mata, siapa tau ada cowok kayak raya ganteng yang kecantol."

"Jangan halu! Ayo, ayo udah makin panas nih cepetan kita ke taman."

"Siap, Kakak Sayang."

Mereka pun bergegas menuju taman. Setibanya di sana, mereka langsung menuju toilet untuk mengganti pakaian. Beberapa orang seketika mengalihkan pandangan begitu dua sahabat itu ke luar dari bilik toilet, ada yang menatap aneh dan tertawa meremehkan, tetapi tak sedikit yang terlihat kagum. Putri dan Tyas memamg bisa disebut memiliki kecantikan khas Indonesia. Pakaian tradisonal semakin memancarkan pesona keanggunan mereka.

Tyas menikmati tatapan kagum dan mendelik tajam pada orang-orang yang terlihat menghina. Dadanya dibusungkan, lalu melangkah dengan sok anggun. Putri mengekor sambil menggeleng pelan.

Namun, baru beberapa langkah dari toilet, wajah semringah Tyas berubah suram. Matanya melotot persis tokoh jahat di sinetron zaman dulu. Ya, Paijo yang sempat ditinggalkan telah berhasil menyusul mereka. Pemuda itu menghampiri sambil menyuguhkan senyuman tebar pesona.

"Ternyata, di sini Ayang Tyas. Mas sudah nyari ke mana-mana, Yang. Mas kok ditinggal, sih, tadi?" cerocosnya seraya cengar-cengir tak jelas.

"Pulang aja sana deh lo!" bentak Tyas. Dia memang menggunakan lo-gue saat berkomunikasi dengan teman termasuk Paijo. Penggunaan kata aku-kamu hanya berlaku untuk Putri.

"Tapi, kata Putri, kalian perlu pemain musik. Mas Paijo udah bawa kendang ini," sahut Paijo sambil menunjuk kendang di pelukannya.

"Enggak perlu! Sana pulang!" sergah Tyas. Wajahnya menjadi semakin beringas.

"Udah, udah, Tyas. Kita emang perlu pemain musik," tegas Putri.

Sorot matanya tajam menusuk. Tyas mendadak mengkerut. Dia tak lagi heboh mengusir Paijo. Namun, ternyata tak cukup sampai di situ, Putri juga mengalihkan pandangan kepada Paijo, membuat pemuda itu gemetaran.

"Dan Mas Paijo ... lakukan dengan profesional. Tidak ada rayu-rayuan ke Tyas selama pertunjukan," pesan Putri dengan nada bicara yang tajam dan mengintimidasi.

Paijo pun tergagap. "Si-si-ap, Put!"

"Tyas?"

"Iya, Kak. Aku bakal terima si Paijo di grup kita."

"Nah, kalo akur, kan, enak." Putri tersenyum manis. "Ayo kita mulai pertunjukkannya, kayaknya di bawah pohon akasia yang di sana pas lokasinya," ajaknya seraya menunjuk ke satu arah.

Tyas dan Paijo kompak mengangguk. Mereka pun segera menuju tempat yang ditunjuk Putri dan memulai persiapan untuk pertunjukkan. Tyas menghamparkan tikar dibantu Paijo, lalu duduk bersamaan di atasnya. Sementara Putri merapikan pakaiannya, menyampirkan sampur di leher, juga memasang aksesoris mahkota, gelang, dan kalung.

Setelah persiapan selesai, Tyas berdeham. "Tes, tes, tes, Na handeuleum aya katineung ...."

Tyas menatap Putri meminta pendapat, apakah suaranya sudah cukup bagus atau tidak. Putri mengangguk sementara Paijo mengacungkan dua jempol.

"Sudah mantap, Yang, seperti suara bidadari," puji Paijo.

"Gue enggak minta pendapat lo, ya," ketus Tyas.

"Udah, udah, mending kita mulai aja," sergah Putri sebelum Tyas bertindak anarkis.

Tyas berdeham-deham lagi. Paijo langsung siaga dengan kendang di pangkuan. Putri juga telah berada di posisi. Tak lupa kotak untuk uang diletakkan di tikar. Dua menit kemudian Tyas mulai menembangkan lagu Daun Pulus Keser Bojong.

Na handeuleum aya katineung

Na hanjuang aya kamelang

Daun pulus lalambaran

Kahayang pasti kasorang

Suara merdu Tyas mengudara, meremangkan bulu kuduk sekaligus mengundang decak kagum. Iringan kendang dari Paijo menimpali dengan apik. Tentunya, sosok yang paling menarik perhatian para penonton, Putri yang tengah menggerakkan kepala dan badan sintalnya dengan luwes. Gerakan ini disebut juga Gerakan Cingeus, merupakan representasi dari kecekatan dan keluwesan seorang wanita dalam menapaki jejak kehidupannya.

Tari Jaipong adalah perpaduan tarian dan bela diri. Setiap jenis gerakannya memang memiliki makna sendiri. Tyas terus membawakan lagu dengan merdu.

Lamping pasir piluweungan

Harendong jangkung di gunung

Alam endah tambah endah

Endahna lir cinta urang ieung

Masing kasawang aduh kembang kamelang

Raranggeuyan beureumna manjang harepan

Gerakan kaki Putri begitu lincah menyajikan gerak depok, gerak minced, dan gerak sonteng dengan indah. Gerakan ini pun memiliki makna tersendiri, yakni tentang kegesitan dan sifat adaptif wanita dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, Putri meliukkan tubuh dilakukan oleh menyesuaikan tempo dari alunan musik pengiring. Gerakan meliuk ini bermakna sifat fleksibel yang dimiliki oleh seorang wanita dalam menghadapi problematika kehidupan.

Iraha atuh iraha bagja diri tine...kanan

Mulus ngempur hurung nangtung

Laksana mun siang leumpang, Ieung...

Lagu terus terlantun mengiringi tarian penuh estetika. Putri memainkan sorot matanya dengan tajam menuju salah satu patung taman. Gerakan Ngagaleong ini memiliki makna, bahwa wanita harus bisa untuk berani menyuarakan pendapatnya dan dapat melakukan komunikasi dengan baik.

Daun pulus, daun pulus

Lalambaran-lalambaran

Nyeri teuing mun teu tulus

Mibanda ukur sangkaan

Hirup ukur ngindung waktu

Nyorang lampah anu lambat

~~~ Soloyoooong ~~~

~~~ Mangga Mang Alok ~~~

Putri juga menyajikan Gerakan Variasi, menyesuaikan tempo dan dinamika musik pengiringnya. Dia memulai dari tempo lambat, kemudian berubah menjadi cepat. Gerakan ini juga memiliki makna tertentu, yaitu sifat yang tidak menjemukkan untuk membaur dengan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan.

Na handeuleum aya katineung

Na hanjuang aya kamelang

Daun pulus lalambaran

Kahoyong pasti kasorang

Lamping pasir piluweungan

Harendong jangkung di gunung

Alam endah tambah endah

Endahna lir cinta urang ieung

Tepuk tangan bersahutan begitu lagu dan tarian berakhir. Putri membungkukkan badan sembari mengucapkan terima kasih layaknya seorang maestro di atas panggung. Tyas tersipu, tanpa sadar memukul-mukul pelan lengan Paijo. Pemuda itu pun terbatuk-batuk dengan pipi merona.

Kotak mengamen juga mulai terisi sedikit demi sedikit. Beberapa pengunjung bahkan tak segan memasukkan uang dengan nominal cukup besar. Satu dua orang malah memberikan kartu nama, hendak merekrut mereka menjadi artis.

Satu lagu cukup melelahkan. Putri memutuskan untuk istirahat. Dia duduk di tikar, lalu menenggak air mineral hingga tersisa separuh botol. Tyas terus mencerocos mengungkapkan rasa bahagianya. Sementara para penonton tadi perlahan membubarkan diri.

Tanpa mereka sadari, seorang pria berpakaian serba hitam tengah mengarahkan kamera. Dia mengambil beberapa gambar dengan angel yang sempurna, juga merekam saat Putri menari.

"Ini akan menjadi kabar gembira bagi Tuan Besar," celetuknya, lalu mengirimkan pesan kepada nomor kontak dengan nama "Tuan Besar".

***

"Tidaaak, Wulaaan!"

Ckiiit!

Lelaki tua berkumis tipis refleks menginjak rem. Dia terkejut karena teriakan pemuda tampan di jok belakang mobil yang tengah dikemudikannya. Tak ayal, terjadi sedikit guncangan, membuat si pemuda terantuk jendela dan terbangun dari tidur sambil menekan kening.

Supri, lelaki tua yang bekerja sebagai supir pribadi itu merasa bersalah. "Den Aldi baik-baik saja? Mohon maaf, Den, tadi saya kaget," gumamnya dengan suara bergetar.

Pemuda bernama Aldi itu tersenyum. "Tidak apa-apa, Pak Supri. Bapak pasti kaget gara-gara saya teriak. Saya cuma mimpi buruk."

Supri tampak masih khawatir. Aldi mencoba menenangkan supirnya meskipun kepalanya sendiri masih berdenyut. Dia meraih botol air mineral dan menenggak isinya sampai habis. Perasaan tak nyaman akibat mimpi buruk perlahan mereda.

"Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya, Pak. Tapi, Pak Supri tenang saja, saya sudah baikan." Aldi mengamati arloji di pergelangan tangan kanannya. "Ayo, Pak, kita jalan lagi. Nanti kita terlambat bertemu kakek."

"Den Aldi benar-benar sudah baikan? Apa tidak apa-apa ketemu tuan besar?"

"Tidak apa-apa, Pak. Kalau saya tidak menemui beliau hari ini, bisa-bisa Kakek akan marah besar. Ayo kita lanjutkan perjalanan."

Meskipun sorot matanya masih menyiratkan kekhawatiran, Pak Supri mengangguk pelan. Dia kembali menyalakan mesin, lalu melakukan mobil dengan kecepatan sedang. Sementara itu, Aldi memilih untuk mempelajari dokumen perjanjian kerja sama dengan klien baru.

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login