Download App
74.9% Cakya

Chapter 188: Anak kecil itu...

Detik berganti menit, menit merayap menggantikan jam, jam melangkah menggantikan hari. Hari berlalu berganti bulan, bahkan bulan merubah tahun.

Cakya duduk disudut lapangan Pemda, menatap seorang bocah lelaki yang menaiki tebing buatan setinggi 7 meter. Cakya menyeruput kopi yang baru saja di belinya pada penjual kopi keliling.

Kang Untung menepuk pelan lutut Cakya, kemudian duduk disamping Cakya.

"Bagaimana jagoan...?", kang Untung bertanya lembut, kemudian mengalihkan tatapannya menatap lelaki yang masih berusaha meraih puncak tebing buatan.

Seperti biasa Cakya hanya tersenyum menjawab pertanyaan kang Untung.

"Yes...!!!", bocah lelaki yang berada di tebing buatan berhasil mencapai tujuannya. Kemudian meluncur dengan menggunakan bantuan tali.

"Berapa waktunya bang...?", bocah lelaki itu menghampiri pelatihnya, yang setia sedari tadi melihat latihannya.

"15 menit 45 detik, kemajuan kamu", pelatihnya bicara dengan bangga, kemudian menepuk pundak bocah lelaki itu dengan pelan. "Cukup untuk hari ini", pelatihnya melanjutkan ucapannya.

Bocah lelaki itu langsung berlari menghampiri Cakya, "15 menit 45 detik", bocah lelaki itu berusaha pamer kali ini.

Cakya tidak merespon hanya mengacak pelan pucuk kepala bocah lelaki itu.

"Hampir lupa", kang Untung menepuk pelan keningnya. "Kamu piket besok...?", kang Untung bertanya kepada Cakya.

Cakya hanya menggeleng pelan.

"Alhamdulillah, ada KPA dari Lombok yang mau datang sore ini. Mereka minta pemandu untuk pendakian, akang g'ak bisa besok. Ada pekerjaan yang harus akang selesaikan malam ini. Jadi... Akang mau minta tolong kamu bantuin akang ya", kang Untung langsung bicara pada intinya.

Cakya hanya mengangguk pelan, sebagai jawaban.

"Bagus, mereka akan kemping malam ini di kaki gunung tujuh. Besok baru naik gunung tujuh. Katanya selang 2 hari mereka mau lanjut gunung Kerinci, InsyAllah akang udah bisa nanti", kang Untung bicara panjang lebar.

"Pa... Erca ikut...", bocah lelaki yang ada disamping Cakya langsung angkat bicara dengan antusias.

Cakya tidak berdaya untuk menolak mata anjing putra satu-satunya ini. Cakya hanya melemparkan senyum, dan diikuti dengan anggukan kepala pelan.

"Yes...!!!", bocah lelaki itu berteriak kegirangan.

Walaupun baru berumur 10 tahun, Erca bukan anak yang manja. Darah petualang ayahnya mengalir kental didalam tubuhnya. Tidak jarang terkadang Erca diajak naik gunung oleh Cakya, hanya sekedar untuk menghabiskan waktu berdua saja.

Sesuai rencana, Cakya menuju Kayu Aro setelah subuh. Cakya memilih menggunakan mobil, agar Erca bisa tidur sepanjang perjalanan.

Sepanjang perjalanan Cakya selalu melirik Erca, memastikan tidur bocah kecil itu tidak terganggu selama perjalanan. Sesekali Cakya mengusap pelan pucuk kepala Erca dengan sayangnya. Selanjutnya senyum lembut mengembang menghiasi bibirnya.

Tepat 1 jam, Cakya sudah parkir di depan pos penjagaan pendakian. Kedatangan Cakya dan putra semata wayangnya disambut hangat oleh Prabu yang akan pulang karena pergantian jadwal piket.

"Cakya...", Prabu langsung menarik Cakya kedalam pelukannya.

Cakya hanya tersenyum menjawab sambutan hangat dari Prabu.

"Kang Untung sudah cerita, katanya kamu yang akan menggantikan kang Untung memandu peserta KPA dalam pendakian", Prabu bicara dengan semangat yang berapi-api.

Cakya hanya mengangguk pelan.

"Hei jagoan, kamu ikut juga...?!", Prabu segera mengajak bocah lelaki yang ada disamping Cakya untuk tos.

"Kakak-kakak KPAnya dimana Om...?", Erca bertanya dengan antusias.

"O... Mereka baru selesai sarapan, lagi persiapan untuk pendakian", Prabu menunjuk ke arah tenda yang samar terlihat, karena tertutup rerumputan.

"Kita kesana Yah...?", Erca bertanya antusias.

Cakya hanya tersenyum, kemudian mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Erca ke sana ya Om, sama ayah", Erca mewakili ayahnya untuk berpamitan dengan Prabu.

Cakya dan Erca melangkah perlahan memasuki pintu rimba, Cakya hanya membawa tas kecil berisi bekal untuk Erca, takut dia lapar nantinya saat dalam perjalanan.

Begitu melewati pintu rimba, Cakya sudah melihat 15 orang yang berbeda umur membuat barisan dengan rapi. Begitu melihat Cakya muncul dengan menggunakan topi yang ada lambang TNKS, pemimpin kelompok langsung menghampiri Cakya.

Pemimpin regu KPA itu lelaki dengan tinggi 175 cm, berbadan kurus dengan rambut yang dikuncir pendek. "Bang Cakya...?", lelaki itu langsung menebak.

Cakya menerima huluran tangan lelaki itu dengan anggukan pelan.

"Saya Bagus bang", lelaki itu melemparkan senyuman terbaiknya. "Ini...", lelaki itu menatap ke arah Erca.

Erca langsung mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Bagus, "Erca...", Erca memamerkan giginya yang rata.

"Anaknya bang...?!", Bagus kembali bertanya kepada Cakya.

Cakya hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Sudah kumpul semua...? Nanti keburu panas ini", Bagus bicara setengah berteriak kepada teman-temannya. "Silakan bang, kalau ada pengarahan atau apa...", Bagus memberikan kesempatan kepada Cakya untuk mengambil alih posisinya.

Cakya melangkah berdiri tepat ditengah barisan seperti pemimpin upacara.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarokatu...", Cakya bicara dengan nada suara yang normal, beruntung suasana hening sehingga semua bisa mendengarkan Cakya dengan benar.

"Wa'alaikumsalam...", terdengar jawaban hampir bersamaan.

"Seharusnya bukan saya yang berdiri disini, melainkan kang Untung. Kebetulan kang Untung ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga meminta saya untuk menggantikan posisi beliau.

Gunung Tujuh pada dasarnya bukan medan yang berbahaya, akan tetapi... Karena kita memasuki hutan, tetap saja kita tidak tahu apa yang akan menghampiri kita nantinya didalam hutan.

Begitu masuk hutan, Jangan merusak alam, membuang sampah sembarangan, mengambil benda apapun di dalam hutan kecuali sampah.

Kita harus tetap bersama-sama, jangan ada yang berpencar. Jika satu capek, semuanya istirahat. Jangan gengsi untuk bilang capek, bisa membahayakan teman-teman kalian yang lain nantinya. Mengerti...", Cakya memberikan pidato panjang lebar.

"Mengerti...!!!", seluruh peserta KPA menjawab bersamaan.

Erca terdiam menikmati suara ayahnya. Ayahnya bukan tipe orang yang banyak bicara, bahkan tidak jarang ayahnya hanya menjawab pertanyaan hanya dengan bahasa isyarat tubuh saja sebagai jawaban. Ini kali pertama dia melihat ayahnya bicara sepanjang ini.

"Salam lestari...!!!", Cakya bicara setengah berteriak.

"Lestarikan...!!!", semua anggota KPA kompak memberikan jawaban.

"Sebelum kita masuk hutan, agar lancar perjalanan kita hari ini, marilah kita sejenak menundukkan kepala untuk sejenak berdo'a meminta perlindungan. Berdo'a menurut agama dana kepercayaan masing-masing. Berdo'a dimulai...", Cakya memberi aba-aba.

Dalam sekejap semua menundukkan kepala, ada yang mengangkat kedua tangannya. Khusuk dalam do'a.

5 menit kemudian, "Berdo'a selesai", Cakya kembali memberikan aba-aba.

"Berhitung mulai...!!!", Bagus langsung mengambil alih aba-aba selanjutnya.

"Satu..."

"Dua..."

Semua berhitung satu persatu hingga "Tiga belas...", tidak ada suara yang mengikuti selanjutnya.

"Satu lagi siapa...?", Bagus mulai berteriak, karena satu anggota hilang dari barisan.

Cakya sibuk memperbaiki tali sepatu Erca.

"Erfly...!!!", salah satu anggota KPA berteriak kearah tenda.

Darah Cakya terasa berhenti mengalir, mendengarkan nama yang telah lama bersemayang di dalam lubuk hatinya. Cakya langsung berdiri dan berdiri kaku, menunggu orang yang dipanggil 'Erfly' muncul.

"Hadir...!", perempuan dengan rambut sebahu, mata sipit, kulit putih tersenyum memamerkan lesung pipinya.

"Anak kecil itu..." Cakya bergumam pelan penuh keraguan, sekilas wajahnya sangat mirip dengan Erfly yang selama ini membuatnya gila setengah mati. Cakya tidak melepaskan tatapannya dari wajah Erfly.

"Dari mana saja kamu...?", Bagus menghardik Erfly karena kesal.

"Maaf, mengambil botol minum...", Erfly menggoyang-goyangkan botol minumnya ke udara.

Cakya masih kaku mematung menatap gadis kecil yang di panggil Erfly. Matanya langsung berkaca-kaca karena air mata segera menyerbu ingin keluar.

"Kita bisa jalan bang sekarang", Bagus bicara pelan kearah Cakya.

Akan tetapi Cakya tidak merespon apapun. Tatapannya tetap menatap penuh makna ke wajah perempuan yang di panggil Erfly itu.

"Yah...", Erca menggoyang-goyangkan tangan kanan Cakya, hingga Cakya ditarik kembali ke kenyataan.

"Ah... Iya, kenapa...?", Cakya tergagap, menatap ke arah Erca.

"Kita sudah bisa jalan sekarang", Erca mengulangi ucapan Bagus.

"Oh... Iya", Cakya menjawab pelan, kemudian segera mengambil langkah paling depan untuk memandu perjalanan.

Bagus sudah meminta peserta laki-laki setengah ada di barisan belakang, sedangkan setengah lagi dibarisan depan, sedangkan perempuan berada di tengah.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C188
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login