Download App

Chapter 8: Mengetahui Kebenaran

Adel berjalan melintasi lorong yang sepi, mungkin para murid sedang berkerumun di kantin antri mengambil makan siang membuat lorong yang Adel lewati sangat sepi. Baru saja ia dan Daffa berpisah karena laki-laki itu ada tugas dari guru sejarah yang belum ia kerjakan, akhirnya laki-laki itu menuju perpustakan untuk mencari buku yang akan ia gunakan sebagai referensi.

PLAKKK

"Akhh ... "

Tubuh Adel ditarik dengan keras menuju salah satu pintu di lorong itu.

"Apa-apaan sih lo?" teriak Adel saat ia mengetahui jika Bianca yang menariknya menuju ruangan yang ternyata adalah UKS.

"Lo yang apa-apaan, Daffa itu pacar gue bahkan kedua orang tua kita sudah setuju setelah lulus kita mau tunangan." Adel terbelalak mendengar ucapan Bianca, ia sama sekali tidak bisa berkata-kata. Entah yang dikatakan gadis bersurai maron di hadapannya ini benar atau tidak.

"Lo bercand, 'kan?"

"Menurut lo? Buat apa gue ngejar-ngejar Daffa kalo kita gak ada hubungan serius, hah?" ucap Bianca tajam. Adel di antara percaya dan tidak percaya dengan ucapan gadis itu.

"Makanya lo jauh-jauh dari pacar gue!" tambah Bianca dengan sebelah tangannya yang mendorong Adel membuat tubuh gadis itu menabrak meja membuat benda-benda yang berada di sana jatuh berkelontangan.

"Akhh ... " Belum puas mendorong Adel saat ini gadis itu menjambak rambut Adel membuatnya meringis kesakitan.

"Atau gue sebarin ke semua orang jika Adel di anggota OSIS adalah perusak hubungan orang."

Air mata telah menumpuk di pelupuk gadis itu karena merasakan sakit di kepalanya karena jambakan Bianca dan juga sakit di hatinya.

"Lepasin dia!" suara seorang laki-laki membuat gerakan Bianca yang masih menarik surai Adel berhenti sejanak.

SREEKKKK

Tirai yang yang berada di ruang UKS dibuka oleh seseorang yang sejak tadi tidur di dalam biliknya.

"Gue bilang lepasin dia!" ucap laki-laki itu.

Manik hazel Adel terbelalak saat ia melihat Revan yang berdiri di sana, mungkinkah laki-laki itu mendengar semua yang mereka bicarakan.

"Gak usah jadi pahlawan kesiangan deh, Lo," ucap Bianca yang membuat Revan geram.

Laki-laki itu segera menarik tangan Adel membawa tubuh gadis itu ke belakang tubuhnya.

"Gue punya prinsip buat gak nyakitin cewek, lebih baik lo pergi dari sini sebelum prinsip gue itu goyah liat muka, Lo!"

Bianca tertawa mendengar ucapan Revan.

"Kalian berdua memang hanya seorang pengecut, apa lagi dia. Cewek kecentilan sukanya merebut pacar orang."

BRUKKK

Revan tidak bisa lagi menahan amarah dalam dirinya, ingin sekali ia menampar gadis d hadapannya ini. Namun Revan hanya mendorong bahu Bianca membuat gadis itu jatuh terduduk.

"Sakit bego!" teriak Bianca merasakan perih di sikunya yang berdarah.

"Sakit yang lo rasain gak ada apa-apanya sama sakit hati yang dirasain Adel," ucap Revan.

"Awas saja kalau lo masih gangguin Adel, gue bisa lakuin lebih dari ini!" ancam Revan sebelum menarik tubuh Adel keluar dari ruangan itu.

Gadis itu hanya pasrah saat tangannya ditarik oleh Revan, entah mengapa laki-laki ini selalu ada disaat ia membutuhkan bantuan. Hati Adel berdenyut bukan karena sakit hati mengetahui jika Daffa dan Bianca telah berpacaran dan akan bertunangan saat mereka lulus.

Akan tetap hati Adel berdesir saat melihat tangannya digenggam oleh laki-laki yang berjalan di hadapannya ini.

"Ada apa? Lo gakpapa, 'kan?" tanya Revan saat tiba-tiba langkah gadis di belakangnya ini berhenti.

Adel menggeleng sebagai jawaban, manik hazel gadis itu terlihat sayu dan memancarkan kesedihan.

"Terima kasih sudah nolongin gue berkali-kali," ucap Adel tulus.

"It's Okey," jawab Revan.

Perlahan Adel menarik tangannya dari genggaman laki-laki itu, Revan masih menggenggamnya erat seolah tidak ingin melepaskan tangan mungil gadis itu.

"Gue antar sampai kelas!"

Adel menggeleng menolak tawaran Revan, gadis itu memerlukan waktu sendiri untuk menenangkan diri.

"Gue bisa sendiri."

Gadis itu melangkah perlahan meninggalkan Revan yang menatap punggungnya. Namun laki-laki itu itu berjalan perlahan di belakang Adel dengan jarak sekitar lima meter di belakangnya hingga gadis itu masuk ke ruang kelasnya.

"Hah? Apa? Lo bercanda, Del?" respon Lina setelah Adel menceritakan kejadian waktu istirahat tadi.

Gadis itu menempelkan jari telunjuknya di depan bibir memberi isyarat pada Lina agar mengeclkan volume suaranya.

"Kenapa lo nggak panggil gue sih, Del! Gue kan bisa tuh balik jambak rambut si Bianca itu." kesal Lina.

"Ada Revan tadi yang nolongin gue," jawab Adel.

"Syukurlah, tetap saja gue pingin cakar tuh muka kucing garong." Nafas Lina menderu seolah ingin mencakar wajah gadis itu saat ini juga.

"Sudahlah, lupakan!" ucapan Adel membuat Lina menoleh kepadanya.

"Del, lo itu jangan terlalu baik sama dia, lo perlu balas dendam."

"Ngapain balas dendam, bikin hidup gue makin nggak tenang saja!"

Adel memang bukan tipe orang yang suka mengungkit masa lalu dan lebih memilih melupakannya, walaupun hatinya tersakiti hal terbaik yang bisa ia gunakan untuk menyembuhkan sakit itu adalah melupakan semua, karena jika ia balas dendam mungkin hatinya akan semakin sakit.

"Ya ampun, Del. Lo itu emang orang yang terlalu baik paling nggak balas jambak gitu rambutnya si Bianca!" Lina masih belum terima jika sahabatnya di perlakukan seperti itu.

"Tenang saja, Lin. Gue tahu apa yang harus gue lakuin, saat ini hati gue masih cukup sabar menghadapi kelakuan si Bianca." jawab Adel.

"Terus gimana sama Daffa? Lo mau putusin dia?" tanya Lina.

"Gue mau minta penjelasan dan konfirmasi dulu, apa yang diomongin Bianca itu benar atau tidak."

Lina mengangguk paham, ia tidak bisa ikut campur dengan masalah hubungan sahabatnya ini. Akan tetapi Lina ikut prihatin dengan kisah cinta Adel yang baru berjalan beberapa hari akan tetap sudah mendapatkan rintangan besar.

"Santai dong, Lin! Gue yang dibohongi kenapa lo yang galau sih?" tanya Adel saat melihat wajah murung sahabatnya.

"Kenapa lo bisa sesantai ini?" ucap Lina balik tanya.

Adel terdiam, memang benar ia tidak sedih sama sekali saat ia mendengar Bianca berkata ingin bertunangan dengan Daffa, hatinya hanya kesal karena laki-laki itu telah membohonginya.

"Jangan-jangan beneran lo gak pernah punya perasaan sama Daffa," tambah Lina yang hanya dibalas cengiran oleh Adel.

"Astaga, Del."

"Gue ke kamar mandi dululah!" ucap Adel pamit.

"Mau gue temenin?"

Adel menggeleng sebagai jawaban.

Gadis itu melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang berada di ujung lorong, Adel melirik jam yang melingkar di tangannya. Masih pukul satu siang, jam pulang sekolah masih empat jam lagi. Berbeda dengan kelas sebelas dan kelas sepuluh yang pulang lebih awal, kelas dua belas pulang sore karena harus mengikuti kelas tambahan untuk menunjang ujian nasional yang tidak lama lagi akan diselenggarakan.

Adel masuk ke kamar mandi, akan tetapi saat ia hendak keluar pintu kamar mandi tidak bisa ia buka. Gadis itu telah mencoba memutar knop pintu berkali-kali namun tetap tidak terbuka.

"Apakah ada orang di luar?" teriak Adel dari dalam toilet namun tidak ada jawaban sama sekali pertanda toilet ini kosong hanya ia seorang diri yang berada di dalamnya.

"Tolong, pintunya kekunci, apakah ada orang diluar?" teriak lagi Adel.

Seorang gadis bersurai maroon tertawa tak bersuara mendengar teriakan Adel, ia memasang tulisan "TOILET RUSAK" di pintu masuk toilet agar tidak ada siswa yang masuk ke dalamnya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C8
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login