Download App

Chapter 2: Apa Yang Bagus Dari Cowok Itu

Sekarang hari Selasa, semua murid belajar di kelas bersama dengan gurunya masing-masing. Tapi, ada salah satu kelas yang menjadi pengecualian.

"Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ... enam ... tujuh~ ... delapan."

Teriak bersamaan murid-murid di lapangan sambil melakukan gerak statis. Kepala ke samping, kepala ke depan, kepala ke belakang ... mereka semua terus bergerak meniru pemimpin di depan.

"Ehmn ... Hah ...."

Yah, benar ... mereka semua sedang senam. Beberapa dari mereka sudah kelelahan bahkan ketika setengah pemanasan telah berlangsung. Tidak seperti laki-laki yang bergerak penuh semangat, kebanyakan siswa perempuan lebih lemah secara fisik.

Gerakan kepala selesai, berganti ke tangan, lalu berganti ke pinggang, dan terus sampai ke kaki. Walaupun beberapa orang melakukan kegiatan tersebut dengan setengah hati, tapi tidak ada yang protes terhadapnya.

Setelah selesai, mereka pun membubarkan diri dari barisan dan membentuk dua kubu memisahkan rombongan laki-laki dan perempuan. Mereka duduk di tempat tertutup bayang gedung tanpa alas, menghadap guru yang berdiri di depan memimpin mereka.

Dengan pakaian training membaur dengan murid-murid, guru tersebut memegang buku tipis lalu berkata, "Anak-anak ... sekarang bakal ada tes lari dua puluh putaran."

"Hu ...."

"Hu ...."

Sorak murid-murid mengeluarkan reaksi malas dan ketidaksukaannya terhadap acara tersebut. Sebagian dari mereka terlihat serius, sebagian lagi hanya ikut meramaikan.

"..."

Dan tentu saja ... dari mereka juga ada beberapa orang yang tidak peduli hingga tidak merespons.

"Haa, aah ...," tarik nafas yang dilakukan salah satu teman perempuan, "lari yah ... aku paling males tes lari. Dari semua tes olahraga, lari tuh yang paling cape. Iya 'kan, Nia?" lanjut tanya teman tersebut sambil memalingkan wajahnya.

"..."

Namun, gadis yang diajak bicara masih memandang kosong, melamun tidak mengikuti kegaduhan murid maupun menjawab pertanyaan temannya.

"Nia? Kirania~ ...?" panggil teman tersebut sambil sedikit mengubah nadanya.

"..."

Gadis tersebut masih diam. Dia duduk sambil memeluk kedua lipatan kakinya, membentuk lipatan tangan di atas lutut untuk akhirnya dia bertopang dagu di sana.

"Jangan banyak ngeluh. Kalau kalian beresin tesnya cepat, nanti waktu bebas buat mainnya banyak," ucap guru di depan membalas reaksi keluh murid barusan, "absen satu sampai sepuluh maju, siap-siap lari, sisanya tunggu di pinggir."

Mendengar perintah tersebut, semua murid di lapangan mulai mengangkat pantat dan meninggalkan lapangan. Beberapa dari mereka yang terpanggil juga mengambil jalan lain untuk bersiap di sudut lapangan. Tapi ....

"..."

Kirania masih melanjutkan lamunannya. Kali ini dia terlihat benar-benar terputus dari konsentrasi menghadapi lingkungan.

"Woi ...!" panggil teman tersebut sambil melambaikan tangan di depan wajah Kirania.

"Hh!?" Reaksi kaget Kirania yang akhirnya mengangkat wajah. "A-ah ... ada apa ..., ada apa, Intan?" jawabnya sedikit terbata-bata melihat sekeliling.

"Kamu yang ada apa ... dari tadi kok melamun terus. Kamu sakit?"

"Enggak, kok ... enggak apa-apa."

Kirania menolak tindakan simpati dari Intan. Setelah tersadar, dia bangkit dari duduknya untuk menyusul murid-murid lain yang sudah berpindah ke pinggir lapang.

"Hmn ...," dengung Intan yang masih memandangi Kirania karena penasaran, "apa kamu lagi cari inspirasi? Buat gambar kamu nanti gitu?"

"..."

Kirania adalah seorang seniman. Dia adalah satu-satunya anggota di ekskul menggambar, anggota lainnya telah lulus dan mereka gagal merekrut adik kelasnya.

Beberapa teman Kirania seperti Intan telah mengetahui hal tersebut. Terkadang gadis itu ikut lomba mewakili sekolah untuk karya gambarnya yang menggunakan pensil, membuat namanya dipanggil ketika upacara untuk menerima penghargaan.

"Murid teladan memang beda. Sekarang kamu mau gambar apa? Pemandangan lagi?" tanya Intan padanya.

Memang mencari inspirasi butuh konsentrasi luar biasa, terkadang beberapa seniman butuh waktu dan persyaratan khusus untuk menggapainya. Begitu pula untuk Kirania, dia tidak jarang mencari tempat menyendiri dengan suasana tenang dan pemandangan indah demi inspirasi tersebut. Tapi, bukan hal itu yang dia pikirkan.

"Aku sekarang gak ada lomba, Ntan. Jadi, cuman gambar buat latihan saja, kok. Mungkin masih coba gambar tanaman sama buahnya."

"Hmn ... gitu, yah."

"..."

Kedua gadis itu pun akhirnya sampai di pinggir lapang, kali ini mereka mengambil tempat duduk dengan alas lantai untum menunggu giliran.

"Raf ... kira-kira lu bisa selesai berapa menit?" ucap salah satu murid laki-laki yang berjalan lewat di depan Kirania.

"Maksudnya lari dua puluh putaran? Mungkin sekitar tuju belas menit, tahun kemarin aku juga dapat segitu."

Hanya dua kalimat itu yang terdengar jelas oleh Kirania. Sisanya dia tidak dengar karena mereka yang berjalan menjauh dan tidak terjangkau telinga gadis itu.

"..."

Kirania memandang salah satu laki-laki tersebut. Laki-laki yang Rafan, teman sekelas sekaligus ketua OSIS di sekolahnya. Dia memiliki tubuh tinggi di atas 170 cm, rambut pirang sedikit panjang, dan pakaian yang cenderung longgar hingga menimbulkan banyak kerutan. Itu sedikit ciri khasnya, entah kenapa orang tersebut selalu memilih baju yang lebih besar dari tubuhnya.

"Hmn? Ah~ ...."

Intan sadar dengan sikap Kirania yang mulai memandangi Rafan. Dengan nada seolah mengerti, dia mengangguk dan mulai berkata pada Kirania, "Kamu suka sama Rafan?"

"Eh?" Reaksi Kirania tersadarkan dengan ucapan Intan. "Enggak ..., enggak, kok. Bukan itu ... aku cuman kebetulan lihat dia."

"Gak apa-apa, semua cewek juga pasti pernah ada rasa sama dia, sudah terkenal juga, kok. Dia sudah ganteng, kulitnya mulus, tinggi, pintar, terus juga baik. Beberapa cewek sih kadang nyerah duluan waktu kenal dia, ada gosip juga dia orang kaya yang pura-pura miskin, anak dari manager perusahaan."

"..."

Kirania mulai menyipitkan matanya, memandang curiga Intan dengan semua penjelasan detailnya.

"Intan ... kenapa kamu bilang semua cewek bakal suka sama dia? Menurutku dia biasa saja."

Menurut Kirania, penjelasan dari Intan terlalu berlebihan. Dia memaksakan dan berusaha menyamarkan sebuah pengakuan di mana dia menyukai laki-laki itu. Tidak ada fakta khusus yang bilang semua perempuan pasti menyukai Rafan.

"Biasa saja? Kamu beneran ngomong gitu? Itu Rafan, lho. Aku saja sampai bersyukur banget sekelas sama dia dan bisa lihat mukanya setiap hari."

"Kamu suka bukan berarti aku juga suka, Ntan," jawab Kirania dengan wajah tidak tertarik dengan percakapan.

"Ini sudah jadi gosip umum, lho. Beberapa cewek juga bilang kalau Rafan mending gak usah punya pacar, biarin saja dia jadi milik semua orang."

"..."

Kali ini Kirania mulai mengubah responsnya, dari pandangan curiga menjadi pandangan jijik menyunggingkan sebelah mulutnya. Apa yang dikatakan Intan sama sekali tidak masuk akal bagi Kirania. Memang dia mengakui kalau wajah Rafan di atas rata-rata nilai ketampanan. Tapi, itu bukan alasan untuk laki-laki itu mendapat perlakuan layaknya idol atau boyband terkenal.

Waktu terus berjalan hingga putaran pertama tes lari selesai. Akibat sedikitnya nama siswa di bawah nomor absennya, Kirania pun mendapat giliran kedua. Dia sendiri tidak cukup ahli dalam olahraga dan menjadi salah satu siswa yang berlari sangat lambat.

Huft ... hah ... huft ... hah ....

Tapi, dia tetap melakukan tes itu sampai akhir.

Dirinya yang kelelahan pun berjalan menghampiri Intan. Tidak seperti Kirania, temannya yang satu itu lebih atletis dan sudah menyelesaikan tesnya jauh lebih cepat, sekarang dia tengah duduk beristirahat di selasar.

"Gimana ... cape, yah?" sambut Intan di sana.

"..."

Kirania tidak menjawab, membalas ucapan Intan kala itu hanya membuat perasaannya lebih kesal.

"Hn?"

Setelah berjalan dan sampai di selasar tempat Intan duduk, Kirania tidak ikut beristirahat di sampingnya. Gadis itu malah merauk isi tasnya untuk mengambil seragam formal, berniat untuk langsung mengganti pakaiannya.

"Hn? Nia ...? Kamu mau ke mana?" tanya Intan yang melihat Kirania melangkah pergi.

"Ke WC dulu sebentar. Aku mau langsung ganti baju."

"Mau kutemenin?"

"Gak usah, aku sendiri saja."

Tes lari gelombang pertama baru dimulai, ada banyak waktu sebelum nama Kirania dipanggil. Di sela waktu tersebut, gadis tersebut memanfaatkannya untuk pergi ke kamar terdekat.

Tidak sampai tiga menit, Kirania akhirnya sampai di sana. Tapi ....

WC-nya rusak?

Pikirnya yang terhenti melihat pesan di pintu tertutup.

Kamar mandi lantai satu memang strategis untuk dikunjungi, akibatnya banyak murid yang memilih tempat ini untuk menyelesaikan hajatnya. Frekuensi yang telalu tinggi terhadap penggunaan sesuatu akan memperbesar kemungkinan rusak.

Kalau gitu aku ke lantai dua saja.

Gadis itu mengubah arah, berjalan lebih jauh untuk naik tangga menuju kamar mandi lain di lantai dua.

"..."

Di perjalanan, Kirania kembali dibawa oleh kegalauan. Namun, kemurungan Kirania hari ini bukan karena pikiran tentang ekskul gambar, maupun kasmaran oleh cinta layaknya yang dikatakan Intan. Hal yang dialaminya jauh lebih kompleks.

Kirania akhirnya sampai di kamar mandi, gadis itu menyelesaikan urusannya dan kembali dengan cepat. Secara teknis dia sedang ada dalam jam belajar, oleh sebab itu dia tidak boleh berlama-lama.

Kirania pun sampai di tangga untuk kembali turun ke lantai satu menuju lapangan.

"..."

"..."

Namun, kali ini dia berpapasan dengan seseorang. Orang yang menurutnya sangat canggung untuk dipertemukan, situasi dan kondisi yang melanda mereka belakangan ini adalah penyebabnya.

"Ra-Rafan ...," panggil Kirania sedikit gagap menyembunyikan wajahnya, "so-soal kemarin itu ..., kamu gak bilang siapa-siapa, 'kan?"

Kemarin ... tragedi di mana Kirania ditemukan melakukan masturbasi di ruang ekskul oleh Rafan.

"..."

Laki-laki itu berdiri menatap Kirania dari bawah menyudut mengikuti tangga. Mereka berhadapan, Kirania ada di lantai dua dan Rafan di lantai satu.

"Nia ...," respons Rafan yang juga memanggil gadis tersebut, "sempakmu kelihatan."

"Hngh!?" Mendengar ucapan tersebut, Kirania refleks memekik singkat menutupi roknya, dia merasa malu dan juga kesal dengan ucapan laki-laki tersebut.

Dengan alis menekuk marah bercampur gugup menahan malu, Kirania menatap Rafan bergumam dalam hatinya.

Ada apa dengan Intan dan semua cewek di sekolah, kenapa mereka mengagumi cowok kayak gini. Apa yang bagus dari dia ...?


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login