Download App
100% Clone

Chapter 2: Bagian 1

"X35O65 telah terhubung." Seorang wanita berpakaian lab berkata pada kawannya yang sedang membaringkan seorang pria muda ke dalam kotak yang mirip dengan mesin MRI namun tanpa atap.

"Saudara Arvi apa anda sudah siap? Anda sudah menandatangani semua dokumen yang menjadi kontrak di masa depan. Anda akan bertanggung jawab penuh dengan keputusan yang anda ambil. Kami akan menjaga kerahasiaan anda dan berpegang teguh pada setiap poin perjanjian yang terdapat dalam kontrak. Segala macam prosedur telah kami tunjukkan dan kami lampirkan dalam kontrak. Kami akan mulai memasangkan alat pada tubuh anda saat anda siap. Perlu kami ingatkan kembali bahwa kami tidak bertanggung jawab dengan masalah di masa datang apabila itu terjadi akibat kesalahan anda sendiri. Apabila anda telah menyetujui semua persyaratan, kami akan memulai proses tahap pertama. Sebelumnya kami juga akan memberi obat bius untuk membuat kinerja kami menjadi lebih optimal." Seorang pria paruh baya berkacamata dengan lensa tebal dan berpakaian dokter menjelaskan beberapa hal penting kepada pria dalam kotak yang rona wajahnya kini memucat.

"Wah aku jadi benar-benar gugup saat kau berkata seperti itu." Pria itu kemudian bangkit dan duduk. Dia memegang dadanya dan berusaha menenangkan diri.

"Haha.. apa kau lebih santai kalau kita bicara sedikit informal?"

"Ya.. lebih baik begitu.. jangan bicarakan lagi segala prosedur yang kubuat sendiri. Aku bahkan mual mendengarnya." Arvi bergidik ngeri.

"Hahaha.. ini merupakan prosedur yang akan kita gunakan di masa depan kalau percobaan kita berhasil."

"Aku telah mencurahkan seluruh hidupku untuk program ini. Kalau sampai tidak berhasil, lebih baik aku mati saja." Arvi menunjukkan kecemasannya kepada rekan-rekan lab nya. "Kalau bukan karena kau Pak, mungkin aku sudah menyerah dengan semua ini. Dan kau juga Lisa." Arvi menoleh pada rekan wanitanya yang sedang berdiri di dekat sebuah tabung raksasa.

"Dan aku juga tentunya." Seorang wanita cantik masuk dengan jubah lab nya yang menjuntai.

"Tentu saja." Arvi mengangguk setuju. "Kalau bukan karena tangan ajaibmu, dia tidak akan mungkin begitu sama wajahnya denganku." Arvi menunjuk ke dalam tabung besar di samping Lisa. Arvi kembali berbaring. "Lebih baik kita segera menyelesaikan ini. Sebelum aku mengurungkan niatku lagi." Arvi kemudian memejamkan matanya.

Pak Dena selaku dokter memasangkan semua alat-alat penting di tubuh Arvi untuk memantau tanda vital Arvi. Setelah semua alat terpasang, dia kemudian menyuntikkan Arvi dengan obat bisu yang membuat pria tampan dan cerdas itu tidak sadarkan diri lagi. Lisa kembali berkutat dengan komputernya dan mengetikkan sesuatu dengan cepat. Pak Dena bergabung bersama Lisa setelah memastikan Arvi telah terbius dengan benar. Jennifer, wanita cantik tadi, duduk di sebuah sudut dengan kertas di pangkuannya dan memperhatikan kedua rekannya yang sibuk menginput data ke dalam komputer.

Dalam beberapa puluh menit pertama, Arvi tertidur pulas tanpa pergerakan sedikit pun. Namun memasuki menit-menit setelahnya, tubuh Arvi terkadang mengejang dan kembali melemas beberapa detik kemudian. Pak Dena dan Lisa bolak-balik memeriksa keadaan Arvi dan tabung besar di sudut lainnya. Mereka mengulang-ulang kegiatan mereka seperti itu selama kurang lebih 6 jam.

Arvi membuka matanya setelah pengaruh obat bius terhadapnya mulai menghilang. Dia mengerjapkan matanya dan melihat sekitar. Dia masih berada di dalam lab-nya, namun kini dia sudah tidak di dalam kotak tempatnya berbaring sebelumnya melainkan berada di atas sebuah ranjang empuk yang nyaman walaupun kurangnya kecil. Tubuhnya telah terbalut selimut untuk menjaganya tetap hangat. Ia masih merasa lemas namun berusaha untuk bangun.

"Kau sudah sadar Arvi? Bagaimana perasaamu saat ini?" Pak Dena langsung menghampiri Arvi begitu melihatnya bangun. Lisa memberikan Arvi segelas air putih yang dihabiskan langsung oleh Arvi.

"Aku masih lemas karena pengaruh bius. Tapi kurasa selebihnya aku tidak merasakan sesuatu yang salah dalam tubuhku. Aku baik-baik saja." Lisa yang tadi terlihat tegang mulai menampaknya rona wajah yang tenang kembali. Arvi berusaha untuk turun dari ranjangnya.

"Tunggulah sebentar sampai kau lebih kuat." Lisa menopang tubuh Arvi dengan khawatir. Arvi tidak mendengarkannya dan tetap berjalan ke arah tabung besar dalam ruangan tersebut walau ditopang oleh pak Dena dan Lisa. Dia kini sudah mengenakan kaus panjangnya.

"Aku tidak bisa lagi menunggu lebih lama." Arvi terlihat memencet tombol-tombol di atas kaca tabung. Jennifer masuk ke dalam lab pada saat itu.

"Oh.. kau sudah sadar? Apa kau langsung akan mengujinya?" Kata jennifer yang takjub saat melihat tekad Arvi.

"Aku sudah tidak bisa menunggu lagi Jen." Jssssshhhh.... Tepat saat itu pintu tabung terbuka. "Aktifkan Lis!"

Lisa yang sudah berada di depan komputernya, menginput data ke dalam komputer tersebut. Lalu alat-alat yang menempel pada tubuh dalam tabung terlepas. Sesaat itu juga mata makhluk yang sejak tadi berada dalam tabung tersebut terbuka. Sesosok makhluk melangkah keluar dan berdiri di hadapan Arvi. Bila kita melihatnya langsung, kita tidak dapat menyebutnya dengan kata 'makhluk' begitu saja. Karena sosok ini begitu menyerupai manusia asli. Orang selain keempat rekan kerja di lab itu tidak akan bisa membedakan sosok tersebut dengan manusia asli.

Sosok ini begitu sama dan memang dibuat sama dengan wujud Arvi. Tinggi badan, berat badannya, warna mata, rambut, bahkan bekas luka di tubuh sosok ini pun sama dengan yang ada di tubuh Arvi. Dari segi fisik luar, mereka benar-benar sama dalam segi apapun. Namun sosok ini sama sekali tidak memiliki apa yang seharusnya dimiliki oleh manusia hidup. Tidak ada organ vital seperti jantung dan sebagainya. Darah pun tidak mengalir dalam tubuh sosok ini. Bila kalian ingin tahu apa tepatnya yang ada dalam tubuh sosok ini, maka keempat orang yang bisa disebut ilmuan inilah satu-satunya yang memiliki jawaban.

Sosok itu memandang lekat-lekat pada Arvi yang membuat Arvi sedikit gugup. Sosok tersebut sama sekali tidak berkedip.

"Kau harus berkedip sesekali agar lebih natural." Arvi akhirnya memecah keheningan. Sosok di hadapannya patuh dan mula berkedip teratur mengikuti Arvi. "Aku akan melakukan beberapa pengujian." Arvi gugup saat melihat rekan-rekannya yang lebih gugup darinya. "Siapa kau?" Arvi menanyakan pertanyaan sederhana pada sosok itu. Sosok tersebut terlihat tenang dan mulai membuka mulutnya.

"Arvi Remi Mara."

"Berapa umurmu?

"27 tahun." Arvi tersenyum simpul mendengar jawaban-jawaban sosok di hadapannya.

"Aku akan menanyakan pertanyaan yang sedikit sulit." Arvi memandang rekan-rekannya yang masih tegang. "Pada saat aku berumur 7 tahun, aku pergi ke taman bermain bersama ibuku, apa saja yang aku mainkan bersamanya?"

"Aku tidak pernah pergi ke taman bermain bersama ibu. Aku diantarkan pamanku ke panti asuhan pada umur 6 tahun. Aku tinggal di sana sampai umurku berusia 19 tahun."

Arvi terbelalak. Begitu juga rekan-rekan kerjanya. Bukan hanya karena suara yang dihasilkan dari sosok ini yang mirip sekali dengan Arvi, tapi juga karena ketepatan jawaban yang dilontarkan sosok ini. Memang benar apa yang dikatakan sosok ini, Arvi tinggal di panti asuhan setelah pamannya mengantarkannya ke sana. Ibunya pergi meninggalkannya saat dia berusia 2 tahun. Setelah itu paman dan bibinya yang miskin berusaha merawat dia sementara mereka juga memiliki anak sendiri. Oleh karena tidak kuat lagi membiayai Arvi, maka Arvi dititipkan di panti asuhan.

"Benar sekali. Ingatannya tepat." Arvi tersenyum pada rekan-rekan kerjanya. Wajah mereka masih tegang. "Sekali lagi. Apa yang terjadi dengan luka di punggungmu?"

"Punggungku terkena batu tajam saat menyelamatkan seorang gadis di sungai. Gadis itu adalah teman satu panti asuhan denganku. Sampai saat ini aku dan dia memiliki hubungan lebih dari pada teman." Saat itu Arvi tersenyum lebar puas. Lisa yang sedari tegang kini menangis tersedu. Arvi menatapnya dan meraih tangan yang menutupi wajahnya saat menangis. Arvi memeluk Lisa untuk menenangkannya.

"Hahaha.. kenapa kau menangis. Kau menangis karena usaha kita berhasil atau karena fakta aku masih berpacaran dengan Wendy?" Lisa semakin membenamkan wajahnya ke pelukan Arvi.

"Waktu yang selama ini kau habiskan...hiks.."Lisa berkata dengan diiringi isak tangisnya. "Tenaga yang kau keluarkan..hiks.."

"Sudah sudah sayang." Arvi membelai lembut kepala Lisa. "Ah!" Arvi melepas pelukannya. Dia teringat sesuatu. Aku harus menghubungi Pak Menteri." Arvi langsung saja berlari keluar lab untuk menghubungi seseorang.

Lisa menyeka air matanya seiring kepergian Arvi. Dia memanggang sosok yang berdiri tenang di hadapannya. Dia menghela nafas lega sembari mengagumi sosok yang kini berkedip dengan teratur namun tetap fokus menatap ke depan. Pak Dena menepuk lembut bahu Lisa dan tersenyum.

"Gila sekali kalian. Kalian benar-benar akan meraih Nobel." Jennifer memberikan pendapatnya sembari mengagumi sosok gagah di hadapannya. "Bila tidak bisa menggoda Arvi yang asli, aku bisa menggoda yang satu ini.. haha.." jennifer menggoda Lisa.

"Jangan lupa kita masih harus merahasiakan penelitian kita ini. Jangan sampai pemerintah tahu. Apabila mereka tahu, usaha kita akan diambil alih oleh mereka." Kedua rekannya mengangguk menyetujui perkataan pak Dena. "Jadi Arvi 2, apa yang kau katakan saat menolak Lisa menjadi pacarmu?"

"Aku mengatakan..."

"Husss.." Lisa menutup mulut sosok Arvi 2 yang baru saja akan menjawab pertanyaan dari pak Dena. Semua orang di sana menertawai Lisa. Kecuali tentu saja makhluk menyerupai manusia yang berdiri gagah di hadapan mereka.

***


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login