Download App
14.28% Crazy Deal

Chapter 2: Dasar Orang yang Tidak Berperasaan!

"Akhh…." Bona merasa seluruh tubuhnya lemas tidak bertenaga. Ia juga merasa tenggorokannya sangat kering, padahal biasanya saat ia meminum alcohol pun tidak pernah terasa seperti ini sebelumnya. Gadis itu perlahan membuka matanya yang terasa berat dengan susah payah.

Sekelilingnya terlihat tembok berwarna cream menghiasi seluruh ruangan dengan cahaya yang masuk dari sela-sela jendela di samping nya. Ia memutar kepala dan menemukan nama rumah sakit yang tertulis pada air purifier di sebelah tempat tidurnya. 'Ternyata aku belum mati?' Ia bergumam seraya tersenyum sinis memandangi kamarnya itu. Tentu saja orang itu akan memberikan kamar semewah ini untuknya, di lengkapi perabotan ber kelas yang terlihat sangat mahal dan juga penjaga yang ditempat kan di depan kamarnya.

'Dia benar-benar berfikir dengan keadaan seperti ini aku masih bisa kabur melarikan diri hah? ternyata aku memang tidak bisa percaya pada siapapun di dunia ini.'

Bona lalu menekan tombol yang dapat menaikan tempat tidurnya ke posisi duduk seperti orang yang sudah sering datang ke tempat ini. 'Ah aku tahu kenapa dia memasang penjaga. Pasti ingin menyembunyikan ini semua agar tidak ada yang tahu lalu menjadikan ini masalah untuknya. Dasar licik!'.

Bona yang berfikir keras dari tadi mulai merasa kehausan, ia melihat ke sekeliling tempat tidurnya berharap menemukan sebotol air minum di ruangan itu.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seseorang berjas putih masuk ke kamar. Ia adalah dokter muda berbadan cukup tinggi dan berwajah tampan. Dokter itu pun berhenti sejenak saat melihatnya lalu bona memberikan senyuman hangat kepada orang itu. Dokter yang memiliki name tag bertuliskan Dr. Gavin Choi itu berjalan mendekati bona dengan ekspresi kesal dan duduk dipinggir Kasur bona.

"Apa kau tidak bosan bolak-balik ke tempat ini?"

Dari nada yang dikeluarkan oleh Gavin terdengar bahwa ia sangat kesal. Pria itu mendekat untuk mengecek keadaannya. Bona yang mendengarnya hanya tertawa kecil.

"Tidak sama sekali hahaha. Tempat ini sangat seru kau tahu. Banyak orang yang dapat aku temui, banyak yang berbicara kepadaku dan aku juga bisa menjahilimu. Ah satu lagi! yang paling penting adalah aku tidak melihat orang itu disini. Kau tidak senang melihatku? Aku kan satu-satunya teman yang kau punya, kau harusnya berterima kasih kepadaku tahu!"

Gavin hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengarkan ucapan tidak masuk akal yang keluar dari mulut temannya itu. Bona yang belum minum segelas air pun dari tadi berusaha menjangkau botol air yang terletak dimeja kecil sebelah tempat tidurnya. Gavin yang menyadari itu mengambil botol air minum dan langsung memberikannya kepada Bona.

"Silahkan airnya tamu vip kami Nyonya Lee Bona, eh apa harusnya aku panggil Nyonya Kim Bona ?."

"Kalau kau berkata seperti itu lagi, aku akan pindah rumah sakit."

"Tolong pindahlah aku lelah mengobatimu. Sudah keberapa kali kau datang kerumah sakit dibulan ini? 4 kali! 4 kali! Aku rasa ruangan ini harus diubah namanya dari kamar VIP menjadi kamar Bona. Bagaimana?."

Bona hanya mendengus kesal mendengar ocehan temannya itu lalu mencari handphonenya yang tidak terlihat dari tadi. Ia menemukan tasnya didalam laci lalu membuka isinya. Terdapat dompet berwarna hitam, kunci mobil dengan gantungan kunci bunga dan juga barang yang ia cari yaitu handphonenya. Ia menyalakannya dan melihat tidak ada satu pesan pun yang muncul dilayar handphonenya itu. Merasa kesal ia melemparkan handphonenya ke sofa tidak jauh dari tempat tidur.

Gavin hanya diam saja melihat sikap temannya itu. Ia tahu pasti penyebab utama temannya seperti ini. Sejujurnya ia mengerti perasaan temannya ini karena mereka kenal sudah cukup lama dari mereka kecil dan mengetahui sikap keluarga maupun suaminya kepada Bona. Ia merasa tidak tega dengan keadaan temannya ini namun ia tidak bisa melakukan hal banyak selain mengobatinya setiap dia datang ke rumah sakit dan juga menemaninya disaat ia membutuhkan seseorang.

"Aku sudah memeriksamu dan hari ini kau sudah bisa pulang."

Bona terbelalak mendengar ucapan Gavin 'Bagaimana ini? Aku benci sekali harus pulang ke rumah yang gelap itu.' Seakan tau apa yang di pikir kan temannya itu Gavin menghela nafas dan membereskan barang-barang yang ia bawa.

"....Tapi kau bisa tinggal disini untuk tiga hari saja" ucap Gavin seraya berjalan kearah pintu keluar. Bona yang mendengar itu langsung mengejarnya dan memegang tangannya.

"Serius?!"

Bona menatap mata Gavin dengan berbinar-binar dan menunggu jawaban yang keluar dari mulut Gavin. Saat Gavin menganggukan kepalanya, ia langsung melepaskan tangannya dan loncat-loncat di dalam kamar. 'Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk mengurangi bebanmu' pikir gavin seraya tersenyum kecil saat melihat Bona yang kegirangan lalu menutup pintu kamar VIP.

Tidak lama Gavin keluar dari kamarnya masuk lah seorang bibi setengah baya berbadan pendek dan gendut. Wanita itu kaget melihat dirinya dan mulai berbicara dengan terbata-bata.

"N..Nyonya! Akhirnya anda sadar! Bagaimana keadaan anda? Apakah sudah lebih baik? Anda tidak sadarkan diri cukup lama. Semua orang sangat khawatir, tapi syukurlah anda sadar. Saya orang yang menemukan nyonya tadi pagi, saat saya mengetuk pintu nyonya tidak ada balasan karena itu saya masuk dan melihat nyonya tergeletak di tempat tidur. Saya sudah mencoba membangunkan anda tapi anda tidak memberikan reaksi apapun. Saya menjadi panik lalu membawa anda ke rumah sakit. Anda pasti terkejut terbangun di rumah sakit, ya kan?"

"Tadi kau mengatakan kalau aku tidak sadarkan diri cukup lama?"

"Iya nyonya sekitar 2 hari"

"Lalu orang yang khawatir?"

"Tentu saja. Direktur, ibu nyonya dan kedua kakak anda. Tuan juga datang menjenguk. Mereka sangat mengkhawatirkan anda karena baru kali ini nyonya tidak sadar selama lebih dari satu hari. Bagaimana jika anda tidak bangun lagi? Semuanya merasa sangat khawatir. Oh iya bukan saatnya saya berbicara panjang seperti ini, saya akan memberitahu perawat terlebih dahulu nyonya"

Bibi itu jelas ia pernah melihatnya di rumah, ia berbeda dari pelayan lainnya karena dari Bona kecil hanya bibi ini yang berbicara ramah dan juga peduli kepadanya. Memberinya makan, memakaikannya baju berbentuk seperti putri dan satu-satunya orang yang menangis saat ia diseret untuk pergi ke America di umur 15 tahun. Bonapun melihat kearah bibi yang berjalan untuk keluar.

"Tidak usah bi, aku sudah bertemu Gavin tadi" Bibi itupun menghentikan langkahnya

"Oh iya benar ini tempat tuan Gavin bekerja bukan? Kalau begitu saya akan mengabari keluarga lainnya terlebih dahulu nyonya" ucap bibi itu seraya keluar dari ruangannya dengan membawa handphone. Bibi itu mengenal Gavin karena dahulu sekali saat Bona masih kecil, satu-satunya teman yang ia punya adalah Gavin. Mereka sering bermain bersama Bibi-Bona-Gavin sebelum bona pergi ke America.

Gavin bisa di bilang berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya adalah direktur dari rumah sakit yang ia tempati lalu ibunya juga merupakan pelukis terkenal yang memiliki museum berataskan namanya sendiri. Mereka bisa menjadi dekat dan berteman karena ibunya Gavin adalah teman satu kuliah dengan ibu Bona yang juga merupakan pelukis. Hal yang membuat keluarganya berbeda dari keluarga Bona adalah sifat rendah hati.

Meskipun keluarganya cukup terpandang tapi mereka sangatlah rendah hati, tidak memandang status orang lain dan sering membantu orang yang tidak mampu. Sebab itu Bona sangat nyaman dan menghormati keluarga Gavin lebih dari keluarganya sendiri. Pertama kali Gavin dan Bona saat ibu mereka makan bersama dengan harapan anak mereka dapat menjadi teman baik seperti mereka berdua.

Semenjak ibu Bona meninggal, Ibu Gavin merasa memiliki tanggung jawab kepada Bona yang dimana ia berharap dapat mengisi sedikit rongga yang di tinggalkan oleh ibunya. Mereka menjadi sering bertemu. Ibunya Gavin pun membela dan melindungi Bona seperti putrinya sendiri, walau ia tidak dapat menghalangi Bona untuk pergi ke America tapi Gavin dan ibunya menjadi orang yang sering mengunjunginya selama di America.

Beberapa tahun terakhir ia menjadi jarang bertemu dengan Ibunya Gavin karena Ibunya sibuk mengatur pameran lukisan yang akan diselenggarakan di London. Ibunya baru akan kembali sekitar 3 bulan lagi. Sebab itu Bona merasa lebih kesepian seakan-akan ia dapat menggila. Belakangan ini ia sering mengobati kesepiannya dengan berpesta lalu minum yang berlebihan sampai beberapa kali masuk ke rumah sakit, tentu saja ibunya Gavin tidak tahu karena Bona mengancam Gavin untuk tidak memberi tahu ibunya. Selain ia tidak ingin mengganggu pekerjaan Ibunya Gavin karena mengkhawatirnya, ia juga tidak mau ibu Gavin menatapnya dengan tatapan kecewa melihat dia hancur seperti ini.

Waktu sudah melewati sore hari dan menuju malam. Bibi yang tadi menemaninya seharian juga sudah izin untuk pulang, lebih tepatnya bukan izin tapi Bona yang memaksanya untuk pulang karena bibi itu sudah lumayan tua pasti tidak nyaman untuk tidur disofa rumah sakit. Dengan susah payah ia meyakikan bibi itu untuk meninggalkannya, akhirnya bibi itu menyerah dan berpesan kalau ada apa-apa untuk langsung menghubunginya atau memanggil Gavin yang dijawab hanya anggukan oleh Bona.

Setelah bibi pergi pulang, ruangan itu menjadi gelap dan tidak ada pergerakan apapun selain televisi yang dinyalakan olehnya tapi anehnya ia merasa nyaman dengan suasana ini. Walau terasa sepi tapi masih terdengar suara kendaraan berlalu lalang dan juga terdapat suara pasien lain maupun dokter yang sedang menyapa pasien lain serta berbicara riang di depan kamarnya membuat ruangan ini lebih hidup. Ia juga tidak merasa kesepian seperti di rumah nya yang menyerupai terowongan gelap yang tidak berujung.

Ia teringat tadi siang bibi berkata akan menghubungi keluarganya bahwa ia sudah sadar tapi tidak ada satupun orang yang datang untuk menjenguknya dari tadi pagi. Ia tidak berharap untuk dijenguk tapi setidaknya kakak laki-laki pertamanya harus datang menjenguknya bukan ? tapi ia sudah menunggu beberapa jam tidak ada satu orang pun yang masuk melalui pintu itu, selain suster yang mengecek keadaannya dan juga membawakan makanan untuknya.

Bahkan temannya itu tidak memunculkan wajahnya sekalipun hanya tadi saat ia baru saja bangun membuatnya sangat kesal 'kenapa dengan mereka semua ? harusnya setidak-tidaknya kak Jihoon datang kan ? atau gavin harusnya dia mengurus temannya yang terbaring ini tapi tidak ada satupun yang datang. Benar-benar ya, awas saja kalau sampai datang akan aku lempari pakai sepatu!'

Saat ia fokus dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka membuat Bona terkejut dan dengan senyum mengembang diwajahnya ia menolehkan wajahnya kearah pintu tapi senyumannya langsung hilang saat melihat siapa yang muncul dari balik pintu itu. Seorang pria terlihat berumur sekitar akhir 20 an masuk berjalan ke dalam ruangannya. Orang yang berjalan masuk, memiliki wajah dingin dengan tatapan menusuk itu adalah suaminya yang bernama Jiho Kim.

Orang yang sama sekali tidak ia kira atau harap kan ternyata datang di hadapan nya dengan tatapan yang seolah-olah berkata 'Orang bodoh ini masuk rumah sakit lagi.' Bona yang melihat itu menjadi kesal, padahal moodnya bagus sampai beberapa menit tadi tapi karena pria ini moodnya benar-benar jatuh sampai kedasar.

"Untuk apa kau datang?" tanya Bona ketus seraya melipatkan tangannya didada.

Pria yang mendapatkan perkataan ketus itu hanya mendengus sinis dan melihatnya seperti orang yang konyol. Bona yang menjadi jengkel mendapatkan reaksi seperti itupun bertanya dengan suara yang lebih keras lagi.

"Aku tanya untuk apa kau datang kesini ? "

"Sepertinya keadaanmu sudah membaik melihat kau sudah bisa marah-marah" Bona yang mendengar itupun terdiam. Jiho menyeret kursi yang terletak di ujung ruangan lalu menempatkannya di sebelah tempat tidur Bona, ia duduk lalu melonggarkan dasi yang ia pakai.

"Kau tau sebentar lagi akan ada rapat pemegang sahamkan? aku harap kau tidak melakukan hal bodoh seperti ini lagi setidaknya sampai rapat itu berakhir"

Ucapan Jiho yang terdengar lebih seperti perintah itu sangatlah dingin sampai-sampai dapat membekukan benda apa saja diruangan itu tapi tentu saja itu tidak berpengaruh kepada Bona.

Bona hanya bisa tertawa tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut suaminya itu. Jiho yang melihat itu tidak memberikan reaksi yang banyak dan tiba-tiba Bona juga menghentikan tawanya lalu berbicara dengan nada yang tidak kalah dinginnya.

"Kau suamiku bukan?" pertanyaan ini menaikan alis Jiho yang menatapnya aneh.

"Itu pertanyaan yang harusku jawab?"

"Saat istrimu sedang sakit bukannya hal pertama yang kau bicarakan adalah bertanya apakah aku baik-baik saja atau kau sakit karena apa? bukannya yang normal seperti itu?"

Jiho melihat Bona dengan tatapan kesal yang biasa ia berikan saat Wanita ini berkata hal yang tidak masuk di akal. Sejak kapan Bona ingin diperhatikan oleh Jiho, bahkan menganggap Jiho ada pun tidak pernah, wanita itu memperlakukannya seperti orang yang tidak terlihat sebelumnya tapi mengapa tiba-tiba bertanya hal aneh seperti ini.

Jiho ingin melawan namun ia tidak ada tenaga untuk memikirkan maupun berdebat dengan Bona karena dari tadi pagi ia sudah menghabiskan tenaganya saat berperang dengan orang-orang seperti rubah dikantornya. Iapun berdiri dan berjalan keluar tanpa mengatakan satu kata pun meninggalkan Bona yang terdiam melihat punggung suaminya itu beranjak pergi.

Sejujurnya Bona juga tidak tahu apa yang merasuki dirinya hingga berkata hal seperti itu. Sejak awal mereka menikah tanpa adanya cinta bahkan mereka tidak saling mengenal sampai tanggal pernikahan mereka ditentukan adalah hari pertama mereka bertemu yaitu tanggal 19 mei. Ini hanyalah pernikahan yang direncanakan oleh kakek Bona dan Jiho seperti ikatan janji antara dua perusahaan agar saling membantu satu sama lain. Tentu saja ia tahu fakta yang tidak terbantahkan itu hanya saja mungkin karena dia sedang sakit atau merasa tidak tenang, ia menjadi sedikit berharap bahwa orang itu akan memperhatikannya sedikit saja tapi tentu saja harapannya itu hanya sia-sia. Bona hanya bisa tersenyum miris karena pemikirannya sendiri.

Semenjak hari itu, suaminya tidak pernah sekalipun datang lagi ke rumah sakit begitu juga dengan kakek, ibu serta kedua kakaknya yang entah dtelan oleh bumi atau jatuh menghilang di segitiga bermuda. Selama di rumah sakit, Ia hanya menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekitar rumah sakit, mengganggu gavin, mengobrol dengan bibi maupun berbicara dengan pasien lainnya dan meminum kopi di cafe kecil terletak di lobby rumah sakit yang sudah menjadi langganannya setelah beberapa hari duduk disana.


CREATORS' THOUGHTS
tasya_05 tasya_05

Hey! Saya menulis cerita ini dengan senyuman dan saya harap bisa tersalurkan kepada kalian! Jaga kesehatan dan jangan lupa untuk comment dan vote nya ya!

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login