Download App
DARI TITIK NOL DARI TITIK NOL original

DARI TITIK NOL

Author: Fitria_Pratnasari

© WebNovel

Chapter 1: AKU adalah LADANG UANG IBUKU writer - Fitria Pratnasari

Brettt!

Dompet kain itu pun sobek seketika saat tangan kerasnya merampasnya dariku. Resletingnya sobek, tapi yang kubayangkan bukan itu. Melainkan robeknya ijazahku yang lagi-lagi gagal kutebus karena uang hasil mencuci piring di pemancingan kali ini sudah pindah tangan ke tangan Ibu. Padahal aku sudah berjanji pada Bu Retno, kepala sekolah SD yang setiap kali bertemu, selalu mengingatkanku untuk segera mengambil hasil belajarku selama 6 tahun. Katanya kalau tak punya ijazah, aku tak akan bisa masuk SMP.

Tidak! Aku harus mendapatkan ijazahku! Walaupun aku tak pernah tahu kapan dan bagaimana aku bisa melanjutkan sekolahku lagi, gumamku dalam hati sambil gemetar memegang kursi, memerhatikan gerak-gerik ibuku yang terburu-buru mengoleskan lipstiknya di depan cermin usang, tanpa memedulikan air mataku yang luruh berderai. Barangkali dia sudah bosan melihatnya. Barangkali air mata ini bukan sesuatu yang penting baginya. Barangkali pula tangisan ini hanya satu hal kecil yang tak berarti apa-apa. Padahal saat aku meneteskannya, puing-puing remukan di dalam dadaku ikut luruh gemuruh.

"Lebay! Gitu aja nangis...!" makinya sambil sibuk membenahi rambut ikalnya yang benci sekali dikerudungkan olehku pada waktu itu.

"I–ibu boleh ambil uangku. Tapi jangan semua, Bu .... Aku pengin nebus ijazahku," pintaku sembari mendekatinya, membelakangi tubuhnya di depan cermin lemari yang sebagian sisinya telah berjamur.

Tiba-tiba ibu berbalik menghadapku. Lingkar kelopak matanya yang sudah dilingkari sibak tebal terlihat lebih membesar dari pelototannya yang terakhir. Bola mata itu hampir meloncat menerkamku yang hanya mampu menunduk.

"Mikir ... mikirr ... kalau ijazah itu berhasil kamu tebus, memangnya siapa yang mau melanjutkan sekolah kamu?! Bapakmu?! Nggak usah ngarep, deh ... paling-paling dia udah kawin lagi di luaran sana! Mana inget sama kamu!"

Deb!!

Tiba-tiba saja pijakan kakiku terasa goyah. Sebelum benar-benar terjatuh, aku memutuskan lari dari hadapannya yang penuh kebencian kepadaku. Barangkali karena aku mirip ayah.

Sepanjang jalan air mata ini jatuh lagi, sampai aku mulai bosan menyekanya. Sebab air mata ini ibarat kata-kata yang lebih sering keluar daripada ucapan bibirku saat ibu memakiku tiap kali ia ingat ayah. Konon, ayah pergi meninggalkan derita kepadanya. Ayah yang seorang tukang rongsok dan tak mau pusing memikirkan susu dan kebutuhan dapur sehingga ia menekan ibu untuk jadi pengemis, lalu kadang pula menekanku untuk mengikuti jejak ibu bila aku tak tahan ingin mendapat uang jajan seperti anak-anak tetangga. Saat itu, aku sama sekali tak malu untuk meminta-minta. Seribu malu telah hancur oleh rasa lapar di perutku. Seribu malu telah lumpuh oleh hardikan ayah dan ibu. Namun setelah aku beranjak dewasa, rasa malu itu mulai tumbuh ketika kawan-kawan di sekolah sering mengejek keadaanku.

Kakiku tiba di lapak rongsokan tempat ayah menuai uang. Mata kecilku mencari-cari sosoknya yang tak juga kutemui. Hingga kemudian Bos rongsok mendekatiku.

"Ana apa sira mene-mene?"

"Sa–saya nyari Pak Somad, Pak," jawabku dengan suara serak.

"Ohh ... Pak Somad udah pindah ke lapak lain. Curang dia, begitu dapat besi rongsok, dia kasih ke orang lain. Sedangkan kalau ke sini, bisanya cuma ngasih plastik bekas. Padahal kalau dia mau ngutang atau kasbon, larinya selalu ke sini. Nanti kalau kamu ketemu dia, minta dia untuk membayar hutang-hutangnya dulu, ya? Mana minggat!"

Aku mengangguk walau tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja, sebab aku pun tidak tahu ke mana dan di bagian bumi manakah ayahku terdampar. Sekejap aku tersadar, kini aku merasa sendirian. Padahal aku bukan anak yatim piatu.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di tepian jalan. Seorang pria berkumis memanggul batang pancing menyapaku di antara deru suara motornya. Sebatang rokok kretek mengepul di sudut bibirnya yang berusaha menjepit keras batangnya saat ia bicara padaku. Dialah Mang Jani, langganan pemancing di empang tempat aku bekerja. Dia seringkali mengajak beberapa teman dari pemancingan luar ke empangku. Kalau dapat banyak ikan, biasanya sering minta Bu Haji memasakkannya dan akulah yang mengantar pesanannya untuk dihidangkan di hadapannya. Kalau dia sedang tak bernafsu makan di tempat, paling-paling aku membawakan pelet ikan tambahan buatnya, atau segelas kopi buat menemaninya mengusir jenuh sambil menunggu ikan mencaplok umpannya. Sesekali ia beryanyi lagu dangdut untuk menghibur hatinya. Atau sekadar menceritakan pengalaman memancingnya kepadaku. Biasanya, dia akan melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar hidupku.

"Eh, Rahmi! Kamu nggak ke pemancingan? Ngapain disini? Kamu nggak pindah kerja, kan?"

Segera aku tersenyum menyambutnya sembari aku hampiri motor bututnya walau sebenarnya kurang suka dengan bau asap rokok yang selalu mengepul dari bibir hitamnya.

"Aku nggak pindah kerja kok, Mang. Aku lagi nyari ayah, tapi orangnya nggak ada."

"Lho, kamu masih punya ayah? Kirain kamu cuma punya ibu saja."

Aku menunduk, hampir menetes lagi air mataku. Mang Jani yang tak sengaja melihatnya buru-buru menggodaku dengan wajah kikuk karena merasa bersalah.

"Udah ah ... nggak usah dipikirin! Mendingan ikut Mang Jani aja. Kamu masih bantuin Bu Haji nyuci piring tho di pemancingan?"

"Iya, Mang. Ya udah, aku nebeng ya, Mang?"

Mang Jani tersenyum, meski aku tahu di balik senyuman itu tersimpan rasa iba kepadaku. Aku pun merasa nyaman dekat dengannya, lelaki tua yang seumuran ayah. Kadang saat berada di dekatnya, aku pura-pura sedang dekat dengan ayah. Sebab selama aku hidup, aku tidak pernah bisa mengobrol dengan ayah, seperti ketika aku bersama dengan Mang Jani. Mang Jani seperti sebuah hadiah besar dalam hidupku. Dia adalah penyemangatku selama kerja di pemancingan. Tidak jarang pula dia memberiku uang jajan meski aku sedang tidak melayaninya. Apalagi kalau hasil pancingannya dia jual dengan harga lumayan. Kata orang, Mang Jani itu seperti seorang ayah buatku. Ah, sungguh? Jadi begitu rasanya punya ayah? Sementara Ayahku susah ditemui, dan bila pun ketemu paling-paling aku kena maki.

"Njaluk duit maning, tah?! Ai mbokke ira bli ngupai, tah?! Sira mene-mene bae." Begitu katanya dengan mata merah yang membelalak. Meski begitu, entah kenapa aku tak pernah bosan menemuinya. Asal bisa ketemu dengannya, asal bisa menatap wajahnya, aku senang. Biar saja ia memakiku. Biar saja ia geram kepadaku. Biar saja. Biar saja. Sebab, Pak Haji bilang, di tubuhku ini masih mengalir darah dan dagingnya. Dan tidak pernah ada yang namanya 'bekas anak' atau 'bekas orang tua'.

Sayangnya hari ini pemancingan cukup ramai. Pesanan pepes ikan, dan mujaher asam manis berpiring-piring jumlahnya. Kata Bu haji ada Pak Ustad dan anak yatim yang sedang merayakan syukuran di sini. Aku cukup senang melihat mereka. Terbesit di hatiku seolah merasa senasib dengan mereka. Padahal aku masih punya ayah dan ibu. Yah, sekali lagi aku masih punya mereka. Entah bagaimana aku menikmati kebahagian itu, sekaligus menikmati kesedihan tiada tara saat seseorang yang dipanggil "Pak Ustad" itu kemudian berceramah.

"Jadi, apapun dan bagaimana pun keadaan kalian saat ini, kalian adalah anak-anak Abi. Tolong jangan anggap Abi sebagai orang lain. Sebab kalian adalah napas dan nadinya Abi dan Ummi." Itulah rangkaian kalimat yang menusuk jantungku demikian dalam. Andai saja ucapan itu ditunjukkan kepadaku juga.

Air mata mendidihkan permukaan wajahku. Tetes demi tetes air mataku mengalir ke pipi. Demi Allah, aku merasa lebur menjadi satu di antara tumpukan bocah-bocah itu. Sampai bahuku berguncang hebat, dadaku sesak karena isak. Jantungku berdegup kencang. Aku memang sering menangis, tapi tangisanku kali ini sangat berbeda. Hingga kemudian seseorang menyentuh bahuku dan menyadarkan imajinasiku yang penuh duka nestapa.

"Nak? Kamu kenapa?" tanyanya.

Mendadak aku syok berat ketika mendenga pertanyaan itu yang ternyata dari Pak Ustad. Dengan sedikit gemetar aku menggeleng, aku takut salah menjawabnya, sebab aku memang tak punya jawaban apa-apa atas pertanyaannya.

"Kamu menangis karena ucapan Abi?"

Degh!

Abi? Dia menyebutkan dirinya Abi kepadaku? Masya Allah ....

"Nak? Baiklah, kalau kamu tidak mau menjawabnya tidak apa-apa. Tapi Abi merasakan pedihmu seolah ikut masuk di dalam sini," ucapnya seraya menunjuk dadanya.

Lagi-lagi aku menangis. Sampai rasanya lemas seluruh sendi yang menopang tubuhku, hingga kemudian sebuah pelukan wanita cantik dan lembut merengkuhku. Dia pun ikut menangis tanpa mengetahui apa isi hatiku. Dia yang kemudian dipanggil 'Ummi' oleh Bu Haji menjawab pertanyaan Pak Ustad untukku dengan linangan air mata.

"Namanya Nur Rahmi. Dia kerja di sini untuk menebus ijazah SD-nya. Tapi uangnya selalu dirampas oleh ibunya. Padahal ibunya masih sering dapat uang hasil mengemis. Sedangkan bapaknya ...."

"Bapak entah ke mana. Aku juga tidak tau, A–Abi ...," sambungku terbata. Tapi ternyata kalimat terakhir tadi membuat syok Pak Ustad dan istrinya yang masih memelukku.

"Kalau begitu, pulang saja ke tempat Abi. Biar ijazahnya Abi tebus. Dan kamu akan punya adik-kakak yang akan menghiburmu setiap hari."

"Hah?"

Ummi mengangguk menatapku sambil masih terus menangis. Kemudian ia menoleh ke arah Bu Haji seolah minta pembenaran. "Inikah anak malang yang Bu Haji ceritakan pada kami waktu itu?"

Bu Haji mengangguk.

"Kalau begitu ikutlah kami, Nak. Ayo!" ucap Ummi lagi.

Aku tidak tahu seperti apa dan bagaimana rumah baruku nanti. Aku hanya percaya ada mimpi yang belum usai dan masih tersimpan begitu sunyi di relung-relung kisahku nanti. Aku hanya percaya orang yang menyuruhku memanggilnya sebagai Abi dan Ummi adalah malaikat tak bersayap yang dikirimkan Tuhan kepadaku.

***

Pucuk daun mangga di samping pondok puteri tampak bergoyang seakan menyambut pagi. Tak terasa pula sudah hampir dua tahun aku di sini. Aku sekarang kelas 8. Yah, tak terasa aku sudah duduk di kelas 8 bersama-teman yang bernasib sama sepertiku, sehingga kesialan ini bukan lagi sebuah cemohan seperti dulu.

Namun batinku tak sepenuhnya selamat dari kepedihan. Masih saja ada ribuan rasa iri bergelayut di hati. Jika teman-teman lain begitu senang dijenguk oleh keluarganya, tapi tidak bagiku. Aku justru malu dan perih. Yah, seperti kejadian hari ini.

Pagi ini aku bersiap mengaji ke masjid pondok, sebuah batu terlempar melintasi hijabku. Degh! Aku sudah paham simbol ini. Ini adalah kode ibuku jika datang menjengukku, namun bukan menjenguk karena rindu dan ingin tahu keadaanku. Melainkan ....

"Heh! Turuuuun ... ibu tuh udah dari tadi nungguin kamu! Dasar anak nggak tahu diri, dilempar kerikil malah mau lari. Sengaja menghindari ibu, ya?" ucapnya dari luar gerbang dengan bibir merah karena lipstiknya berantakan ke mana-mana. Dengan ragu aku pun terpaksa turun menemuinya.

"Apa kabar, Bu?" ucapku berusaha santun.

"Kabar ibu nggak punya duit! Mana duit jajanmu? Kamu ngumpulinnya dapat berapa?"

Aku terdiam sebentar. Sebenarnya aku ada uang, tapi rencana aku mau belikan calculator scientific. Namun belum sempat aku membuat alasan, tiba-tiba tangan wanita yang melahirkanku itu keburu menggeledah saku bajuku tanpa bisa kutolak.

"Kelamaan! Sini ibu ambil sendiri!"

"Ja ... jangan, Bu .... Jangan ...."

"Halaaahh, apa sih kamu?! Emang kamu tega ngebiarin ibu gelandangan begini?! Kamu sih enak, hidup kamu udah ada yang nanggung, tinggal di pesantren yang bagus. Lha ibu? Siapa yang ngurus? Bapakmu kabur! Suami ibu juga mau kawin lagi. Pusing ... pusiiing ...."

"Hah? Su–suami Ibu? Ma–maksud Ibu ... Ibu udah nikah lagi?"

Ibu kaget, rupanya tadi dia baru saja keceplosan.

"Y–ya iyalah .... Kenapa gitu? Ya kan ibu juga pengin ada yang jamin hidup ibu. Tapi, dasar nasib. Malah ibu yang harus rajin ngemis. Ngemis? Eh iyaa, harusnya, harusnya kamu juga ikut bantu ibu dooong .... Sini, sini, sini ...." Tiba-tiba dia menyeretku menjauhi pondok.

"Ta–tapi, Bu, sebentar lagi aku mau ngaji. Kang Syakur pasti udah nungguin aku. Hari ini aku mau tes hafalan surat Al- kahfi, Bu."

"Halaaah, hafalannya ntar lagi. Hari ini kamu harus ikut ibu ngemis keliling komplek perumahan. Kan di Qur'an juga dibilangin, anak yang baik itu harus nurut dan mengabdi sama orang tua. Iya kan? Iya kaaan?" ucapnya setengah nyinyir.

Ya Tuhan, tidak tahukah dia betapa hancurnya aku. Aku bukan hancur karena dipaksa harus berbakti padanya, tapi dia telah membuatku sedih karena melarangku mengaji. Jangankan ia mau membekaliku dengan materi, sekadar mendukung merestui usahaku membekali diri dengan ilmu pun tidak.

Sebagian dedaunan pohon mangga yang mengering luruh ke tanah, seperti sebagian jiwaku yang merasa koyak dan belum selamat karena hubungan darah ini. Dia masih menganggapku aset yang besar untuk memakmurkan hidupnya atas nama materi.

Lelah sudah aku menapaki jalanan komplek sambil menengadahkan tangan dengan hina. Debu-debu jalanan mengawal langkahku demi sepeser koin. Hingga kemudian aku tiba di sebuah rumah besar seorang perempuan baya yang memberiku uang lima ribuan namun memandangku dengan tajam. Entah apakah karena ia mencurigai kedatanganku mau mencuri sesuatu miliknya, ataukah dia mengenalku. Namun semua misteri itu terjawab sudah ketika aku tiba di gerbang pondok. Abi menatapku dengan wajah yang geram. Pecut di tangannya menyabet jeruji gerbang hingga membuatku tersentak. Sungguh, aku sangat takut. Kemarahan Abi lebih mengerikan daripada kemarahan ibu dan ayahku sendiri.

"Sejak kapan Abi mengajari kamu meminta-minta, Rahmi?! Jawaaabb!"

Aku diam. Tidak berani memandang.

"Apa uang jajan dari Abi tidak cukup buat kamu?! Kamu bikin malu Abi! Semua orang komplek mengadu sama Abi kalau salah satu anak Abi mengemis!"

Jreng!

"Mana uang hasil mengemismu? Mana?!"

Namun kali ini aku terkejut bukan main. Aku ingin menjawab pertanyaan itu tapi tak mungkin pula aku menjual harga diri ibuku demi sebuah kejujuran yang diharapkan Abi. Aku hanya bisa menangis saat beberapa kawan perempuan diminta menggeledah kantongku tapi tak menemukan sepeser uang pun. Akhirnya lagi-lagi aku pasrah, ketika aku dihukum membersihkan semua toilet pesantren.

Aku pikir Tuhan juga menyaksikan keadaanku. Aku pikir dia juga pasti mendengar doa-doa kecilku. Mengharapkan sebuah hidayah bagi ibuku agar dia mau menyayangiku sebagaimana seorang ibu yang seharusnya. Tapi rupanya Tuhan tidak mengabulkan doaku. Kedatangan ibu yang kesekian kali seolah menguji imanku. Dan kali ini dia datang tanpa melempariku dengan kerikil lagi, melainkan langsung menarik tanganku keluar gerbang sambil menuding-nuding wajahku.

"Kamu gimana sih? Kenapa nggak ngemis lagi?! Ibu tuh udah nungguin kamu di ujung komplek hampir setengah hari. Kamu udah nggak mau berbakti lagi? Hah?! Sejak tinggal di pondok, kamu udah telantarin ibu!"

"Bu–bukan gitu, Bu. Aku ... aku ... nggak bisa ngemis lagi, Bu. Karena Abi pasti akan nyariin aku. Gi–gimana kalau aku ngumpulin semua uang jajanku buat Ibu? Ibu boleh dateng ke sini sebulan sekali. Anggap aja itu uang gajianku."

"Tidak!"

Sontak aku menengok ke belakang pada seseorang yang menjawab 'Tidak' itu. Suara berat milik Abi.

"Tidak ada yang boleh memeras keringat anak saya!" lanjut Abi lagi seraya berjalan mendekati kami. Di luar dugaan, ibuku lari kalang kabut, dia ketakutan. Aku lega. Yah, aku memang lega, setidaknya keadaan telah membuat Abi memahami kejujuran yang aku kunci rapat-rapat. Tapi aku juga merasa sedih karena kehilangan ibu. Kehilangan cinta dan kerinduan yang seharusnya bisa aku simpan. Aku bingung. Sampai di titik ini, siapa yang lebih patut untuk aku anggap sebagai orang tuaku? Ibuku? Dia jelas-jelas mahluk Tuhan yang melahirkanku dan darahnya mengalir di tubuhku. Abi? Dia bukan siapa-siapa tapi dialah yang membekaliku semangat, kepercayaan diri, ilmu yang bermanfaat dan ketakwaanku pada Tuhan.

Demi Tuhan, aku merasa takut ketemu ibu semenjak saat itu. Aku malu dengan teman-temanku, apabila ibuku datang diam-diam menemuiku dengan lipstik cemerot dan pakaian yang sedikit seksi. Terbesit kejujuran lain di hatiku, aku malah senang bila tak bertemu ibu.

"Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa aku bisa setega itu ingin menjauh dari ibuku demi ketenangan jiwaku? Ampuni aku jika perasaan ini salah. Ampuni aku, Tuhan ... jika boleh aku memilih, kembalikan rasa rinduku padanya, juga berikan pula kerinduan yang sama baginya kepadaku."

Sorot kemuning senja sore merangkap bayangan tubuhku yang bagian ujungnya telah kupijak. Mataku kosong merayapi bulatan memerah di ufuk sana.Yah, matahari senja yang menyinari dedaunan sehingga warna tubuhnya seakan turut menguning. Daun pohon mangga itu jatuh di bahuku yang belum terasa ringan karena beban mendalam ini. Hanya doa kecil yang tertinggal di rongga hati.

Yayasan Kandang Juang, telah menjadi saksi bagian dari hidupku. Aku memang sedih dan berduka. Tapi bila aku juga mendengar cerita-cerita mereka, aku merasa tak sendiri. Paling tidak, aku pernah punya ayah dan ibu. *

֎֎֎


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login