Download App

Chapter 15: 15. Kebohongan Diatas Kebohongan

"Dokter bilang, kamu hamil, Ryanti."

Seketika Ryanti terlonjak dalam tidurnya. Rasa kaget, amarah dan penyesalan menyerang jiwa secara bersamaan.

'Tyo! Kamu harus membayar semua ini!' bisik batinnya kuat.

Ryanti tak ingin berkata apapun, dia tak mau jika harapan bisa bersama Sakha lenyap karena ulah Tyo. Ryanti merasa dirinya tak bersalah, karena malam itu, jelas ia mabuk berat hingga tak sadar telah digagahi Tyo.

Ia biarkan air mata berjatuhan di kedua sudut. Nyatanya, kini hanya itu yang bisa membuat jiwanya tenang.

"Katakan sesuatu Ryanti?" bentak Sakha tak sabaran.

"Aku tahu Mas ini bakalan terjadi," jawab wanita itu kemudian. Jauh hari ia sudah mempersiapkan kalimat sanggahan yang akan digunakan untuk membela diri di hadapan Sakha. Hari ini, tentu tidak boleh ada kecacatan, dan Sakha harus tetap menjadi miliknya.

Sakha terdiam, darahnya pun ikut memanas mendengar satu kalimat saja yang keluar dari mulut wanita yang pernah sangat ia cintai itu.

"Jadi siapa dia?"

"Dia adalah lelaki pilihan Papa, Mas. Sudah sekian bulan dia terus bertandang ke rumah, alasannya selalu untuk memenuhi ajakan Papa. Malam itu, semua orang pergi, hanya saya sendiri yang tidak ikut dan memilih tinggal di rumah. Tanpa terpikir bahwa Papalah yang meminta lelaki itu untuk menemani. Saya bingung Mas, kunci rumah dia pegang. Katanya Papa yang kasih. Ryanti minta dia pergi. Tapi dia menolak dengan dalih disuruh Papa menjaga rumah. Semalaman saya terus bertahan di kamar, tak berani keluar. Takut dia akan berbuat macam-macam. Hingga pagi menjelang, Ryanti kira Mama sama Papa sudah pulang dari bepergian. Ternyata hanya ada dia di rumah."

Ryanti menghentikan ucapannya. Sungguh apik cerita yang ia lakoni di depan Sakha.

"Saat Ryanti keluar hendak mencari makanan pengisi perut, entah dari mana arahnya, lelaki itu seperti serigala buas yang baru saja bertemu dengan mangsa. Keperawananku direnggutnya dengan paksa, Mas."

Berdesir dada Sakha mendengar penjelasan Ryanti. Tangannya mengepal menahan amarah. Sedang di hadapannya, wanita itu sudah bergelimangan air mata.

"Kenapa kamu nggak melawan atau berteriak?"

"Berteriak? Percuma Mas, siapa yang bisa dengar dalam rumah sebesar itu?"

"Lalu, kenapa kamu nggak melawan atau jangan-jangan, kamu juga suka sama lelaki itu?"

"Cukup Mas! Tak ada sedikitpun perasaanku untuk lelaki itu! Aku hanya mencintai kamu, Mas. Kamu 'kan tahu Mas gimana perjuanganku bertahan di sisimu?"

Sakha terdiam, kehabisan kata. Ia memang tahu, semenjak awal hubungan mereka memang tidak pernah direstui oleh ayah tiri wanita itu. Tapi Ryanti tetap berkeras, sebab ibu ada di pihaknya.

Mendengar cerita Ryanti hari itu, Sakha semakin iba.

"Saya melawan Mas, segala usaha saya lakukan agar bisa melepaskan diri. Tapi bagaimanapun juga, dia lelaki. Kekuatan saya tak mampu meruntuhkan keperkasaannya."

Suara tangis dan isakan Ryanti terdengar pilu di telinga Sakha. Sedang lelaki itu hanya bisa menghela napas berat sambil menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.

"Jangan tinggalkan Ryanti, Mas. Aku hanya ingin bersama kamu, Mas. Aku sudah mengorbankan segalanya hanya demi kamu, demi bisa mendampingimu seumur hidup."

Sakha terdiam dengan perasaan berkecamuk. Ia benar-benar kehabisan kata, kasihan tapi juga punya tanggung jawab untuk menjaga hati sang istri.

"Tapi kamu tahu 'kan, janin yang ada di dalam perutmu, bukan darah dagingku. Ia anak lelaki lain."

"Sampai kapanpun Ryanti takkan Sudi menikah dengan pemerkosa seperti dia, Mas!" ucap wanita itu dengan isakan yang terdengar semakin menyayat kalbu.

"Antarkan aku pada dokter kandungan, Mas. Aku mau menggugurkan kandungan ini!"

Ryanti terlihat kembali histeris sambil memukul-mukul perutnya yang masih rata.

"Tenang, Ryanti. Tenang. Semua masalah ada jalan keluarnya."

Sakha mencoba menenangkan, tapi Ryanti tak lagi terkontrol. Dia terus memukul-mukul perut, meski Sakha mencoba menahan.

Hingga beberapa perawat datang dan salah satu diantara mereka langsung menyuntikkan penenang.

Perlahan, kekuatan Ryanti menghilang. Genggaman tangannya pada lengan Sakha mengendur.

"Biarkan aku membunuh bayi ini, Mas. Aku tidak menerima kehadirannya. Aku mau anakmu, Mas."

Hanya hitungan menit, kedua netra wanita itu terpejam sempurna.

***

Ghina terlihat sibuk membereskan tanaman anggrek di taman belakang. Kegiatannya berhenti saat terdengar deru mobil memasuki halaman. Segera ia melepas sarung tangan, lalu mencuci dan berlarian ke dalam rumah.

Dengan senyum seindah pelangi, ia menyambut kedatangan sang suami di ambang pintu.

"Assalamualaikum."

Rasa nyaman kembali menghampiri, tatkala Sakha kembali ke rumah. Sikap hangat sang istri mampu membangkitkan semangatnya yang hampir punah diterpa badai kisah cinta masa lalu.

Ghina menggandeng lengan sang suami lalu mereka bersama-sama memasuki rumah. Sampai di sofa, cekatan Ghina menekuk, hendak membuka kaos kaki lelaki itu. Tapi Sakha menghentikannya.

"Biar Mas saja, Sayang."

Ghina tersenyum sembari bangkit untuk kemudian berjalan ke dapur membuat segelas kopi untuk lelaki itu.

"Minum dulu Mas, kopinya," tawar Ghina sekembalinya dari dapur.

Sakha melonggarkan kerah pakaian. Lalu ia menyesap kopi panas yang masih mengepul asap itu.

Jemari tangan Ghina mulai saling bertaut, ingin ia utarakan pada sang suami apa yang sudah dia alami di pasar tadi.

"Kamu kenapa?" tanya lelaki itu sekaan bisa membaca perasaan sang istri.

Ghina bergeming sejenak, rasanya tak pantas berkeluh sedang suami baru saja pulang.

"Nggak ada apa-apa, Mas. Ayo masuk, Mas. Mandi dulu, biar seger."

Sakha tersenyum seraya mengikuti langkah sang istri. Bagaimana reaksi Ghina jika setelah ini ia berkata jujur tentang keadaan Ryanti. Pertanyaan yang terus berdengung tanpa henti dari jiwanya. Sakha hanya berharap, apapun yang terjadi, wanita ini akan terus membersamainya sampai kapanpun.

*

"Ada hal penting yang mau Mas sampaikan padamu, Ghin."

Sakha berbicara sembari merebahkan kepala di atas kedua paha sang istri. Ghina yang sedang memperbaiki posisi bantal seketika menghentikan tangannya dan menatap dua bola mata yang tampak sendu itu.

"Ada hal penting apa, Mas?"

"Tapi kamu janji ya, jangan salah paham. Dengarkan Mas ngomong sampai habis."

Ghina mematung sesaat, "tentu, Mas."

"Tapi sebelumnya, Mas mau bertanya beberapa hal."

Ghina mendelik dengan perasaan penuh tanya.

"Apa itu, Mas?"

Sakha menggerakkan tangan memainkan rambut panjang sang istri yang terurai sehabis menemaninya bernaung dibawah air pancuran.

"Setelah menikah, siapa orang yang akan kamu utamakan keselamatannya di dunia ini."

Ghina menatap lelaki itu lekat.

"Suami."

"Setelah itu?"

Ghina mulai berpikir.

"Anak."

"Apa sebagai ibu kamu tega menggugurkan kandunganmu, Ghin?"

Ghina terperanjat, disentuhnya pipi sang suami.

"Mas kenapa, sih? Masak iya saya mau menggugurkan anak hasil buah cinta kita?"

Sakha kembali menerawang ke langit-langit.

"Sebenarnya ada apa, Mas?"

"Jika kehamilan itu terjadi diluar nikah?"

Ghina semakin tak mengerti.

"Katakan Mas ada apa?"

"Jawab, Sayang?"

Melihat keseriusan yang terpancar dari wajah suaminya, Ghina kembali berfikir.

"Saya akan tetap mempertahankannya, Mas. Dia tidak bersalah, rasanya sangat keji jika setelah ada diharap agar musnah. Sedang diluar sana, banyak yang menginginkan anak, tapi tak berejeki. Katakan Mas, ada apa?"

Sakha menatap wanitanya dalam.

"Ryanti hamil, Ghin?"

***

Bersambung.

Jika suka cerita ini, jangan lupa vote dan kasih ulasan bintangnya ya..


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C15
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login