Download App

Chapter 12: Ingin Bertemu Bunda

"Jangan kebanyakan bengong. Ayo angkat adikmu. Aku sudah membuka pintunya." Lelaki itu bahkan setengah berteriak dari dalam mobil, menyebabkan Yita terkejut. Buru-buru gadis itu mengangkat tubuh sang adik, kemudian membawanya masuk ke dalam mobil mewah tersebut.

"Maaf, Kak. Ini mobilnya jadi basah," ujar Yita di saat mereka sudah duduk di jok bagian belakang.

"Tidak apa-apa. Kondisi adikmu ini yang paling penting. Kita harus segera membawanya berobat. Jangan sampai terjadi apa-apa." Lelaki di balik kemudi mulai melajukan kendaraannya dengan gesit. Ia tak menoleh atau mengintip Yita dari kaca spion di depan.

"Kamu juga, kalau merasa kurang enak badan, boleh ikut berobat. Biar saya yang tanggung." Pria gagah dengan seragam aparat negara itu berujar kembali.

Yita langsung menggeleng. Ia tidak ingin merepotkan siapa pun. Cukup adiknya saja yang diobati saat ini. "Saya tidak apa-apa, Kak." Dengan sungkan gadis itu menjawab.

"Kamu yakin?" Sang polisi yang belum diketahui namanya oleh Yita itu pun memastikan kembali.

"Iya, saya tidak apa-apa."

"Baiklah."

***

Selesai membawa Ina berobat. Mereka pun diantarkan pulang oleh lelaki gagah dengan seragam polisi ini. Bersyukur sekali Ina sudah sadar ketika berada di dalam ruangan pemeriksaan. Gadis kecil itu hanya sedang tidak kuat menahan terpaan duka yang menghadang perasaannya.

"Ayo, saya antarkan kalian pulang. Katakan alamat rumahmu, Yita." Bagas, nama polisi gagah itu. Ia sudah kembali melajukan mobil yang dikendarai.

"Maaf merepotkan, Kak. Alamat rumah saya, di Kompleks Graha Permai no. enam …." Yita terdiam sesaat. "Maksudnya, nomor sembilan, Kak." Gadis itu meralat lagi informasi yang baru saja diucapkannya.

"Hei, sebentar …." Polisi tampan yang bernama Bagaskara itu seperti mengingat sesuatu. "Bukankah itu alamat rumah Tante Neni?" Ia lalu menoleh ke samping kiri. Kali ini Yita duduk di sebelahnya, sebab merasa tidak enak membiarkan Bagas sendirian di depan. Seolah-olah polisi tampan itu terlihat seperti sopir saja.

"Kakak kenal dengan Bu Neni?" Mata Yita membeliak. Apakah Bagas keponakannya Bu Neni? Sehingga ia menyebut wanita baik itu dengan Tante.

"Iya, Tante Neni adalah adik mamaku. Rumahmu yang nomor enam?" Bagas memastikan.

"I—iya, Kak." Yita meragu, walau tetap dijawabnya juga. Biar bagaimanapun, Bagas pasti tahu kasus yang terjadi di rumah itu. Sesuatu hal yang mengerikan, Yita menusuk tiga pria suruhan Yohanes sang rentenir yang telah membentak ibunya dengan keras.

"Apa kamu anak dari Ibu Anindya?" Kali ini intonasi suara Bagas terdengar berbeda.

"I—iya."

"Oh." Si Polisi Tampan hanya menanggapi demikian saja. Ia lantas memutar setir dengan lincah memasuki kompleks perumahan yang dimaksud. "Kenapa kamu belum terlihat datang mengunjungi?" tanyanya kemudian.

Kali ini Ina merespon. Wajah gadis kecil itu mendadak cerah. "Apakah Kak Bagas bisa membawa Ina ketemu sama Bunda?" tanyanya dengan suara riang.

"Tentu saja Ina. Kak Bagas akan bawa kamu ke sana. Kapan kalian mau pergi?"

"Sekarang." Ina menjawab dengan senyum lebar.

"Jangan sekarang Ina. Kamu sedang sakit." Gadis yang berada di sebelah kemudi mematahkan keinginan sang adik.

"Kenapa, Kak? Ina mau bertemu Bunda. Kangen sama Bunda." Raut wajah Ina berubah sendu. Ia sedih sekali.

"Tidak apa-apa, Yita. Kita akan ke sana hari ini." Bagas sudah menghentikan kendaraan tepat di depan rumah Bu Neni. "Dengan catatan, Ina harus mandi dulu dan ganti baju." Polisi tampan menoleh ke belakang. Ia mengembangkan senyum yang membuat perasaan Ina menghangat. Gadis kecil itu merasa senang sekali, begini rasanya punya kakak laki-laki yang dapat mewujudkan keinginan dengan cepat. Berbeda dengan kakak perempuan yang penuh dengan pertimbangan.

"Tapi Kak Bagas. Aku tidak mau merepotkan Kakak."

"Tidak merepotkan sama sekali. Aku juga hendak menuju ke sana. Jadi, sekalian saja." Bagas tersenyum saat mengatakannya. Tidak ada yang menyulitkan bagi seorang Bagaskara, segalanya dianggap enteng olehnya.

Yita kembali terdiam. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, sebab Bagas yang menawarkan diri. Artinya tak masalah jika nantinya pria itu kerepotan sendiri.

Melihat kendaraan yang dikenal terparkir di depan rumah, Bu Neni pun menyusul keluar. Sudah beberapa hari ini, Bagas tidak datang ke sini. Biasanya keponakannya yang tampan itu sering sekali menjenguk tantenya.

"Bagaimana kalian bisa bersama?" tanya Bu Neni ketika melihat Yita dan Ina juga turun dari mobil yang dikendarai oleh Bagas.

"Tadi Kak Bagas menemukan kami di tepi jalan dekat sekolah Ina, Bu." Yita yang mengambil alih untuk menjelaskan.

"Ada apa dengan Ina? Apa sakit?" Tangan lembut Bu Neni segera terulur meraba dahi Ina yang sudah tidak sepanas awal.

"Iya, Bu. Ina sakit, makanya dibawa pulang."

"Baju kalian juga lembab, apa tadi sempat kehujanan?" Bu Neni meraba pakaian yang dikenakan oleh dua gadis yang sudah diselamatkannya itu.

"Iya, Tante. Mereka kehujanan berdua. Kebetulan aku lewat, makanya bisa berbarengan." Bagas menjawab sembari melangkah masuk ke dalam rumah sang tante.

"Ayo, mandi air hangat dulu berdua. Ibu juga baru selesai membuat sup ayam, kalian makan dulu selagi panas begini, ya." Ibu Neni tak melepaskan perhatiannya kepada dua gadis yang saat ini sedang tinggal bersama dengannya.

"Sehabis makan, Ina minta bertemu dengan Bundanya, Tante." Bagas memberitahu, sebenarnya sekalian meminta izin juga.

Manik mata Bu Neni segera teralih ke arah Yita dan Ina. Mereka pun mengangguk.

"Ina rindu sama Bunda, Bu. Ina mau ketemu Bunda." Gadis kecil yang sudah tak sepucat tadi, menjawab.

"Baiklah, Tidak apa-apa. Ibu tidak bisa ikut, sampaikan saja salam untuk bunda kalian." Istri Pak RT itu lantas membelai kepala Ina dengan lembut.

Selesai berkemas, makan, dan meminumkan obat untuk Ina, Yita pun menyusul Bagas di teras rumah. Polisi tampan itu sudah menunggunya sembari mengobrol santai dengan Bu Neni, tantenya. Mereka bertukar cerita mengenai kelakuan Anila dan Lara yang tak jauh beda. Anila adalah adik kandung Bagas yang sangat manja sekali. Sementara Lara adalah adik sepupu Bagas, anak satu-satunya Bu Neni dengan Pak Danu. Dua gadis itu sejak kecil sering sekali bertengkar, sebab sama-sama merasa paling unggul di antara yang lain.

"Kak Bagas, kami sudah siap." Yita membuyarkan pembicaraan mereka. Tangannya menggenggam jemari sang adik yang tersenyum bahagia. Ia akan bertemu dengan bunda, rasanya sudah lama sekali tidak berjumpa. Begitu besar rindu yang mendera di dalam dada si Gadis Kecil.

"Oh, iya." Polisi tampan itu pun segera bangkit. Ia lalu berpamitan kepada Bu Neni, begitu pula yang dilakukan oleh Yita dan Ina.

"Ina tidak sabar bertemu dengan Bunda, Kak," ujar Ina dengan senyum lebar sembari menengadahkan kepala menatap kakaknya sambil berjalan menuju mobil Bagas.

***Next>>>


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C12
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login