Gadis itu tengah duduk di balik meja panjang, ia menopang dagunya dengan satu tangan. Matanya menatap lurus ke depan, lebih tepatnya tatapannya kosong. Pikirannya terus melayang ke hal yang mengganggu pikirannya. Jujur baru pertama kalinya bagi dia sampai sebimbang ini gegara masalah cowok. Ya, siapa lagi kalau bukan Diana.
Gadis itu tengah berada di sebuah restoran besar di kota Jakarta, namun perlu digaris bawahi dia tidak datang untuk memesan makanan dan minuman. Tepatnya dia bekerja part time di sini, sebagai pelayan. Mengingat Diana harus menyambung hidupnya dan Satria.
Seorang pelayan cowok mendekat ke arah gadis itu, dari name tag-nya tertulis Tris Devanka. Cowok yang bernama Tris tersebut menepuk pundak Diana hingga Diana terperanjat dari lamunannya.
"Diana, itu ada pelanggan" bisiknya tepat di telinga Diana. Diana tergeragap.
"Oh iya iya, maaf" Diana buru-buru mendekat ke arah pelanggan ibu-ibu dengan anaknya yang berusia sekitar lima tahun. Diana mengacungkan buku menu kepadanya dan menunggu sambil berdiri. Ketika pelanggan itu sedang sibuk memilih makanan yang bisa mengganjal perutnya, lagi-lagi Diana tidak bisa menghentikan aksinya semula. Perkataan yang meluncur dari mulut Kevin kemarin sungguh tidak bisa dipercaya olehnya.
"Mbak saya pesen cheese spaghetti dua sama minumnya lime squash dua." Ucap pelanggan ibu-ibu itu kepada Diana seraya menyodorkan buku menu di tangannya kepada Diana. Namun justru Diana hanya diam saja, pandangannya kosong. Dia asik dengan pikirannya yang melayang pada satu sosok, yaitu Kevin. Ibu itu terheran dengan sikap Diana, ia tampak mengernyitkan dahinya.
"Mbak, mbak" pekik ibu tersebut. Sayangnya hal tersebut tidak membuat Diana tersadar.
"Mbak, jangan ngelamun dong! Nanti kesambet setan lo!" celetuk bocah lima tahun yang merupakan anak ibu-ibu pelanggan itu. Diana mengerjapkan matanya berulang kali, mengutuk dirinya sekali lagi. Astaga apa yang dilakukannya di tengah jam kerja seperti ini? Tidak sepantasnya ia malah asik dengan pikirannya yang tak berfaedah itu.
Diana tersadar, seraya menangguk malu. Apalagi ucapan bocah tadi begitu terngiang di benaknya. Harusnya dia bisa profesional melakukan pekerjaannya bukannya melakukan kecerobohan seperti ini.
"Iya Bu maaf, tadi pesan apa?" Tanya Diana sopan. Sosok yang sedang diajaknya bicara menyunggingkan senyum manisnya yang entah Diana sendiri tidak paham artinya.
"Saya pesan cheese spaghetti dua sama lime squashnya dua" Diana mencatat pesanan tersebut, lalu menangguk. Diberikannya kertas pesanan tersebut kepada Tris, lalu Diana melesat menuju tempatnya tadi. Sedari tadi Tris memperhatikan gerak-gerik Diana itu. Tris sendiri berasumsi bahwa Diana sedang ada masalah, yah mungkin lebih baik ia menanyainya nanti dan kalau bisa juga ia siap membantu atau sekadar memberikan semangat. Karena Tris sangat mengenal Diana yang selalu bersemangat melakukan pekerjaannya, bahkan bila dia terlambat satu detik saja rasanya mustahil. Namun yang dilihatnya hari ini benar-benar berbeda, bukan seperti Diana yang ia kenal.
Seperti rencana sebelumnya, kini suasana restoran sepi. Lebih tepatnya restoran sudah tutup dan itu artinya seluruh pekerja bersiap untuk pulang dan beristirahat hingga waktu bagi mereka untuk bekerja lagi tiba. Tris sudah berganti kostum yang semula menggunakan pakaian khas restoran tersebut menjadi kaos berlengan pendek dengan bawahan jeans.
Tris sengaja duduk di bangku depan restoran, lebih tepatnya menunggu Diana keluar. Kurang lebih sekitar lima menit kemudian, Diana keluar restoran. Diana sempat menghentikan langkahnya melihat Tris yang tidak segera pulang, namun malah memilih duduk di depan restoran.
"Kak Tris, kok nggak pulang?" Tanya Diana seraya membenarkan tas selempangnya. Setahu Diana memang Tris biasa pulang pergi menggunakan motor, Diana sempat melirik ke arah motor Tris yang tak jauh dari tempatnya dan motor itu masih setia terparkir di sana. Pandangannya beralih pada Tris yang kini sudah berdiri di hadapannya.
"Gue mau ngomong sama lo" Diana terperangah. Ada gerangan apa tiba-tiba Tris tampak seserius ini padanya. Ah, tidak ada salahnya mungkin mendengarkan apa yang akan dikatakan Tris.
"Tumben, mau ngomongin apa emang?" Diana menatap Tris penasaran, Tris kembali duduk begitu pun dengan Diana.
"Gue dari tadi merhatiin lo Diana, lo ada masalah apa sih? Kok bisa-bisanya ngelamun gitu?" Tris tampak serius, wajahnya yang tampak lelah berbaur bersama keringat yang mengucur deras di keningnya. Meskipun begitu, dia tampak serius. Bola matanya menatap Diana ingin tahu.
Diana sendiri sempat kesulitan mencerna perkataan cowok berusia dua tahun lebih tua darinya itu. Namun yang Diana tahu pasti Tris memang sosok yang perhatian, bahkan Diana sudah menganggapnya seperti kakaknya sendiri. Diana menyesal karena sudah membuat cowok itu menyadari kegelisahannya, bahkan sukses membuatnya khawatir.
"Hmm.. nggak kenapa-napa kok, cuma memang ada sedikit hal yang mengganggu aku aja, Kak. Tapi aku baik-baik aja kok" Diana mengulas senyum ke arah Tris yang disambut tatapan mata penuh selidik ke arahnya. Diana merasa terganggu, tapi dia juga tidak mungkin menceritakan hal seperti ini kepada Tris, yah memang Diana masih asing dengan hal berbau perasaan seperti rasa suka. Maka dari itu, ia tidak mau membicarakannya. Sisi lain dirinya merasakan aneh bercampur malu, karena bagaimana pun juga ini pengalaman pertama Diana.
"Kamu mau bohongin aku ya? Sayangnya nggak bisa Diana" kini cowok di hadapannya itu mulai menekuk tangannya di depan dada kekarnya itu seraya menaikkan salah satu alisnya. Diana membuang pandangan ke arah lain, berpikir keras tentang jawaban apa yang kira-kira pas sehingga Tris dapat menghentikan aksinya mengorek-ngorek informasi lebih dalam lagi. Diana menarik napas dalam dan menatap balik Tris yang berupaya mengintimidasinya.
"Kak Tris, aku nggak papa kok, cuma kepikiran masalah di sekolah tadi" jawab Diana berusaha tenang sehingga aksi tipu dayanya tidak dicurigai. Tris tampak ragu dengan jawaban Diana.
"Serius? Masalah apa emangnya?" Diana tersenyum sesaat dan mencari alasan yang masuk akal.
"Masalah temen kak, tapi nggak usah khawatir aku bisa selesain masalah ini sendiri kok" kemudian Diana tersenyum, berharap Tris percaya dengan ucapannya. Diana ingin segera pulang mengingat betapa melelahkannya hari ini.
"Serius? Emang temen kamu ngapain?" Tanya Tris penuh selidik. Hari yang semakin gelap tidak menyurutkan keinginannya untuk membuat Diana bicara fakta sesungguhnya. Diana mendapatkan alasan yang bagus.
"Masalah antar cewek, rahasia deh" hati Diana terus berteriak, menyadari yang dilakukannya salah. Sebenarnya ia menyesal sudah berbohong pada Tris. Tapi mau bagaimana lagi, Diana mana mungkin punya dorongan untuk bicara tentang kejadian tadi siang itu.
"Ohhh... kirain soal cowok" Tris membuang napas lega. Mimik wajahnya sudah tidak tegang seperti Diana bersyukur setidaknya Tris tidak curiga. Namun perkataannya barusan seperti menohok tepat di jantungnya, yang bisa dibilang cukup membuat Diana terkejut sekaligus cemas.
"Oh, lain kali kalo ada masalah diomongin baik-baik, jangan gegabah. Ya semoga lo bisa baikan lagi sama temen lo" ucap Tris seraya menggangguk paham, lalu ia berdiri dan mengacak poni Diana. Diana menghela napas lega karena akhirnya Tris percaya, yah meskipun di sisi lain Diana merasa berdosa sudah membohonginya. Tapi adakah jalan lain yang harus dipilihnya selain berbohong?
Tris mengeluarkan kunci motornya lantas melirik Diana yang masih setia duduk.
"Lo mau duduk di situ terus? Ayo pulang" ajak Tris seraya memakai helm pelindung di kepalanya, Diana mendongak seraya mengedipkan kedua matanya, tersadar dari lamunan panjangnya.
"Yaelah, ayo gue yang anter" Diana tersenyum seraya mengangguk pelan, lalu mengekor Tris menuju motornya. Diraihnya helm yang Tris ulurkan kepadanya. Memang biasanya usai bekerja Diana pulang naik bus atau mengandalkan tumpangan Tris yang menawarkannya. Yah walau kadang Diana merasa tak enak hati, namun Tris kerap memaksanya dengan alasan keselamatan. Apalagi matahari sudah hampir tenggelam, yang kemungkinan banyak penjahat kelas kakap berkeliaran.
Tris mulai menurunkan kecepatan motornya, kini mereka berada di gerbang masuk kompleks perumahan Diana. Tris menepikan motornya, Diana turun dari jok belakang seraya berusaha membuka kaitan helm yang dikenakannya.
"Bisa nggak?" ledek Tris kepada Diana yang dibalas dengusan kecil olehnya.
"Bisa dong, nih" ucap Diana seraya menyodorkan helm tanpa kaca itu kepada Tris. Tris terkekeh.
"Hadeh, lo tuh ya bukannya makasih malah"
"Iya makasih Kak Tris, hati-hati di jalan" celetuk Diana yang diakhiri tawa. Tris megerucutkan bibirnya.
"Oke, siap bos! Inget kalo ada masalah itu jangan dipendem sendiri oke?" Diana tersenyum, lalu mengangguk mengerti.
"Dahhh" ucap Tris setelah menghidupkan motornya lagi, yang dibalas lambaian tangan oleh Diana. Diana memperhatikan Tris yang semakin menjauh hingga akhirnya tepat di belokan sosoknya benar-benar hilang. Diana mendesah panjang. Lelah sangat hari ini. Belum lagi semua hal yang bercokol di pikirannya mengenai Kevin.
*****