Download App
60% Diary Lin

Chapter 3: Tebakan

Setelah perdebatan yang cukup panjang, pada akhirnya Zeline memanggil keputusan. Tapi sebelum itu, dia meminta ijin dulu pada Aiman.

{Gimana kalau panggil Ndan aja?}

Tak sampai lima menit, balasan pesan pun diterima Zeline. Terlihat dari raut wajahnya, Zeline tersenyum. Menahan tawa dan harapan.

{Ndan??}

Ya. Terlihat singkat. Namun bagi Zeline, tidak apa-apa. Mendapat balasan pesan pun dia sudah senang.

{Iya, Ndan itu ajudan. Kemarin kan jadi ajudan.}

Ingatan Zeline masih kuat, tentang pembahasan ajudan dan perwira. Ajudan, dia adalah orang yang selalu berada dibelakang pembina. Sedangkan perwira, dia yang ditugaskan mengecek petugas dan peserta. Intinya, semua tugas pengecekan ada pada perwira.

Namun, entah ini benar atau tidak. Tugas ajudan ada pada pembawa teks Pancasila yaitu Aiman. Dan tugas perwira ada pada ajudan. Memang sangat membingungkan jika terlalu dipikir. Tapi jika tidak dipikir juga, kita tidak akan pernah tau, mana yang benar dan salah bukan?

{Kemarin aku jadi pancasila, bukan ajudan.}

Sudah Zeline duga sebelumnya, Aiman akan mengatakan hal tersebut.

Zeline pun menjelaskan pada Aiman apa yang dia tahu. Tentang ajudan dan perwira. Hingga pada akhirnya, Aiman mengatakan 'iya'. Memperbolehkan Zeline memanggilnya ajudan.

Percakapan singkat berubah menjadi panjang ketika ditambah. Mulai dari awal mereka menghiasi aplikasi hijau hingga sekarang. Tak banyak yang tahu pada saat itu. Hanya beberapa orang dekat saja yang tahu.

Zeline ingat dawuh gurunya pada saat mengaji, "Semakin banyak yang menjaga sebuah rahasia, maka rahasia itu bukan menjadi rahasia lagi."

Zeline berharap rahasia ini akan tetap menjadi rahasia, selama penjaga rahasia tersebut tidak terus bertambah. Tapi pada kenyatannya, pepatah mengalahkan itu harapan Zeline. Menjadikannya pupus.

'Sepintar-pintarnya bangakai disembunyikan, pastilah baunya akan tetap tercium juga.'

***

Hari yang sudah direncanakan beberapa hari akhirnya tiba. Rutinan organisasi induk sekolah di madrasah. Wajib bagi semua anggota.

Sebagai seorang sekretaris yang diwajibkan menghadiri pertemuan rutin itu, mau tidak mau Zeline harus mengalahkan rasa malasnya yang ingin terus rebahan.

"Diel, kamu ikut kelas mana programnya? Makkiyah atau Madaniyah?" aku bertanya pada Diella, teman satu pondok yang sudah datang lebih dulu di ruang pertemuan.

Terlihat wajah heran dari Diella. "Anu ada apa si? Tumben kamu tanya program? Pasti ada sesuatu ya?" tebaknya ketika mendapati pertanyaan Zeline tentang program yang diambil Diella sejak kelas X.

Zeline berusaha untuk sebisa mungkin bersikap biasa saja. Dia menahan tawa dan senyum dibalik masker. Takut ditanya lebih jika sudah seperti ini. Karena Diella ini sudah seperti peramal. Tukang tebak yang jawabannya adalah benar.

"Ngga ada apa-apa kok. Cuma Tanya beneran."

Ah, Diella tidak menyerah mendengar ucapan Zeline. Terus bertanya dan menebak. Langsung to the point. Padahal Zeline sudah mengatakan, jangan sebut merk. Walaupun belum tentu benar apa yang ditebak Diella.

Pertemuan rutin berjalan dengan lancar. Segala usulan demi usulan diterima oleh si pemimpin rapat yang tak lain adalah ketua OSIM sendiri, dibantu oleh wakil. Dengan cekatan, Zeline menulisnya di buku khusus.

Pukul dua belas lebih berapa menit, pertemuan usai. Pembahasan ditunda untuk pertemuan selanjutnya yang artinya keputusan kali ini belum fix. Perlu banyak pembahasan lagi untuk selanjutnya. Karena untuk acara kali ini tidaklah kaleng-kelang. Acara besar. Lebih besar dari classmeeting dan agustusan.

"Mau mampir ngga nanti?" Diella berjalan disamping Zeline. Bertanya pada Zeline dan Saskia.

"Mampir yuk? Tapi kemana?" balas Saskia. Terlihat antusias. Umum bagi Diella dan Zeline, Saskia adalah orang yang suka travelling. Makanya, ketika Diella bertanya seperti itu, dia langsung menjawab.

"Makan?"

"Yuk yuk." Diella dan Saskia mengangguk bersama. Setuju apa yang barusan diucapkan Zeline.

Lorong lantai dua lumayan ramai. Siswa dan siswi madrasah masih lalu-lalang. Maklum, pembelajaran baru saja usai.

Kerinduan akan belajar di bangku sekolah pastilah menyeruap dalam dada setiap siswa maupun siswi. Terkecuali yang memang tidak niat untuk sekolah. Ingin rebahan, berteman setan gepeng dan headset. Melupakan tugas yang diberikan dan memilih tidur nyenyak. Iya begitulah, termasuk Zeline sendiri.

Bagaimana tidak?

Pertanyaan macam apa itu?

Sudah lebih dari dua tahun lamanya, pembelajaran daring dijalani dengan berat oleh para pelajar Indonesia. Kebanyakan mengatakan, lebih baik pembelajaran tatap muka daripada daring. Apakah itu betul?

Kembali lagi pada hari ini. Diella, Zeline dan Saskia sepakat untuk pergi makan bersama. Tujuan mereka satu, yaitu makan bakso.

Mulanya Zeline mengajak ke warung bakso yang terkenal enak tapi mahal. Namun Diella dan Saskia merasa keberatan. Hingga pada akhirnya, mereka sepakat pergi ke warung bakso pinggir jalan yang sudah menjadi langganan Diella.

"Yakin?" Tanya Zeline ragu ketika melihat warung yang terlihat ramai dan tak terlalu besar saat baru sampai di tempat tujuan.

Diella merangkul Zeline, meyakinkan Zeline untuk tidak ragu. "Yakin. Ayo pesan. Dijamin enak."

Ketiga perempuan itu duduk berjejer setelah tadi memesan pada si bapak penjual. Dengan Diella yang berada dipojok, Zeline menjadi penengah dan Saskia berada paling pinggir dekat dengan pintu masuk. Mereka sibuk dengan ponsel, membenarkan letak krudung yang kalau itu tidak karuan.

"Aku kepo deh. Siapa si orangnya? Cepet si beritahu. Janji deh ngga bakal bilang siapapun." rayu Diella saat Zeline sibuk mengetik, membalas pesan dari Aiman.

"Iya, Line. Katanya teman. Kamu juga udah tahu kan aku sama siapa? Giliran aku donk yang tahu, kamu lagi sama siapa sekarang. Hmm??" Saskia ikut merayu, memberikan alasan agar Zeline mau berkata jujur.

"Oke kalau ngga mau cerita. Tapi, kasih ciri-ciri orangnya nanti aku tebak." ucap Diella, menantang Zeline.

Zeline meletakkan ponselnya, kemudian mengangguk. Dia setuju dengan tantangan ini. Walau dia sudah tahu jika akhirnya dia akan kalah.

Es teh diseruput untuk meredekan tenggorokan yang kering kerontang. "Anak osim? Angkatan kita? Seumuran?" Tanya Diella memberondong.

Zeline menjawab dengan gelengan. Menahan tawa mendengar itu semua. "Mas-mas kuliah?" giliran Saskia, ikut bertanya.

Sekali lagi Zeline menggeleng. Tebakan mereka salah.

"Siapa ya? Coba kasih lihat fotonya. Siapa tau, aku paham. Hahaha."

Zeline mengambil ponselnya. Membuka sandi dan langsung membuka aplikasi hijau. Dia meng-klik profil Aiman dan menunjukkannya pada Diella yang terlihat sangat kepo.

"Bentar. Kayanya aku pernah lihat orang ini deh." ucap Diella ketika melihat foto profil Aiman.

"Muhammad Aiman Ahwaz Tsaqib?"

Uhuk!

Uhuk!

"Kok kamu tahu si?" ucap Zeline tak percaya. Dia merebut ponselnya. Tak menyangka jika Diella tahu dan sampai hapal nama panjang Aiman. Padahal, Aiman tidak pernah mempublikasi nama panjangnya itu.

Lalu, dari manakah Diella tahu tentang Aiman?


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login