Apa salah jika aku belum siap untuk menikah? Umurku masih terlalu muda. Baru saja menginjak dua puluh tahun. Masih banyak mimpi yang ingin kuraih, termasuk mengejar beasiswa berkuliah di USA yang sudah menjadi impianku sejak lama.
Kesepakatan yang sudah kami buat yaitu menikah di saat umurku dua puluh tiga tahun. Setidaknya sudah menyelesaikan studiku. Kami hanya berjarak dua tahun. Maka kalau dihitung begitu pas. Di saat hari itu tiba, umur dia menginjak dua puluh lima tahun.
Selama enam tahun berpacaran, aku seperti menjadi perempuan yang paling bahagia. Bahkan orangtua kami sudah saling mengenal. Tidakkah itu adalah suatu kebanggaan dalam berhubungan?
"Mama sakit dan minta aku untuk menikah secepatnya. Bagaimana? Kamu bisa, 'kan? Kalau enggak aku akan dijodohin dengan anak teman mereka." Aku tertawa mendengar permintaannya. Dia berbicara begitu seperti tidak ingat lagi dengan kesepakatan yang kami buat.
Tepat hari ini adalah hari yang paling bahagia bagiku sebelum mendapat kabar dari sahabatnya kalau dia akan menikah, hari ini juga. Senyum yang semula menghiasi bibirku memudar. Air mata tak dapat kutahan lagi. Dadaku sesak melihat tangannya dikecup wanita lain yang kuyakini sudah sah menjadi istrinya.
"Ayo, Zee. Lo bilang mau ketemu Rama. Gue udah si-Zee, kenapa?"
Aku terisak memeluk erat sahabatku. Aku bahkan tak sanggup berkata apa-apa. Ini seperti mimpi buruk bagiku. Semalam baru saja kami jalan bersama, menghabiskan waktu penuh dengan canda tawa. Tak menyangka kalau dia begitu tega menyakitiku sedalam ini.
Namun itu hanya cerita dua tahun yang lalu. Saat ini aku sudah kembali merajut kasih dengannya, kekasih yang sangat kucinta. Statusnya yang masih beristri menjadikanku seperti duri di dalam pernikahannya.
"Terserah mereka bilang apa, yang penting kita selalu bersama."
Kalimat itu seolah menjadi sihir untukku begitu menurutinya. Kami menjani hubungan seperti biasa tanpa memikirkan ada hati yang tersakiti. Banyak yang bilang aku egois, biarlah. Umpatan demi umpatan dapat kutahan karena dia juga yang akan membelaku.
"Zee, kamu begitu mencintai suamiku?"
Pertanyaan apa itu? Jelas saja aku mencintainya. Dia menangis, kenapa? Sakit hati? Tak sadarkah kalau dia yang merebutnya dariku? Aku lebih dulu merasakan sakit itu. Bahkan air mataku hampir mengering karenanya.
"Izinkan aku memilikinya sebentar sampai anak kami lahir. Setelahnya aku ikhlas untuk melepaskan dia untuk kamu. Aku mohon ...."
Melihatnya memohon, jantungku seperti dipukul oleh palu godam milik thor. Dia wanita yang begitu baik dan lembut. Aku sudah menyakitinya. Bahkan dia rela suaminya lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.
Apa yang harus aku lakukan?
Melepaskan dia sama saja membunuhku secara perlahan. Aku begitu mencintainya. Di sisi lain aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Semakin lama, wanita itu semakin tersakiti. Aku hanya seorang kekasih, sementara dia seorang istri.
Aku harus merelakan.
Namun aku tak bisa.
— New chapter is coming soon — Write a review