Download App
31.81% Dzikir Cinta

Chapter 7: Hurur 'In Humairah

Follow penulis itu gak bikin kalian rugi kok, gak bayar juga, jadi ayok dong biasain Follow dan Vote saat baca cerita.

....

Waktu menunjukan pukul setengah empat pagi, Ummu Fatma terbangun dari tidurnya karena tersentak kaget. Disebelahnya, putrinya masih tertidur pulas, wajahnya yang bengkak-bengkak sudah sembuh total sehingga tersingkaplah tabir kecantikan yang kemarin tertutup memar. Kaki putrinya masih diperban, masih masa penyembuhan paska operasi tulang kering yang patah kemarin.

Ibu tua itu berjalan menuju toilet, membersihkan diri kemudian sholat disudut ruangan, bersimpuh dan menangis meminta kesembuhan putrinya. Lama ia berduaan dengan Rabbnya, Tahajud, wittir, shalat sunnah fajar dan sholat subuh. Setelah selesaipun ia masih duduk diam di sajadahnya, membaca dzikir pagi, doa memohon keselamatan, amalan rasulullah ketika ditimpa musibah dan masalah besar juga terakhir membaca Al-Qur'an. Ia yakin dan percaya, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah menghendaki.

Sekitar jam setengah delapan pagi, telepon milik Ummu Fatma berdering, ternyata telepon dari putri sulungnya Fatma yang sekarang sedang diperjalanan bersama suami ummu Fatma dan cucunya. Mereka bertanya ingin dibawakan apa untuk sarapan, ummu Fatma hanya menjawab singkat 'Apa saja'. Benar, makanan apapun yang dibawa sekarang pastilah ia makan, sebab makanan tersebut hakikatnya bukan untuk pemuas nafsu melainkan hanya sebagai penambah energy saja untuk lebih kuat menghadapi kenyataan yang sudah berdiri di hadapannya.

Ummu Fatma kembali bersiap diatas sajadahnya, wudhunya sejak setengah empat pagi tadi belum batal, karena memang sejak pagi yang ia kerjakan hanyalah beribadah kepada Allah semata, memohon dan merayu belas kasih Allah. Ia memulai sholatnya.

'Allahuakbar'

'Hihi'

Ia mendengar suara tawa pelan, suara yang benar-benar ia kenal betul itu suara siap. Tetapi saat itu ia sedang sholat sehingga ia tidak bisa memastikan asal suara itu darimana. Sepanjang sholat ia memejam-mejamkan matanya, berusaha khusyuk dengan lantunan ayat suci yang ia bacakan dengan tidak bersuara serta berusaha sekuat tenaga memaknai kalimat-kalimat dalam bahasa Arab itu dengan menggunakan hatinya. Tetapi sekaras apapun ibu paruh baya itu berusaha, suara tawa tadi benar-benar mengganggunya.

'Allahuakbar' ummu Fatma sudah sampai pada tahiyat akhirnya, seketika ia mendengar lagi suara 'Hihihi' kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Ia benar-benar ingin secepat-cepatnya menyudahi sholatnya, tanpa memohon apapun kecuali keselamatan dunia akhirat sesaat sebelum salam.

Setelah salam ia berdiri dan berlari menuju putrinya, ia melihat keadaan putrinya dengan saksama. Tidak ada yang berubah! Ia mengulanginya lagi, melihat dari jari kaki, jari jemari tangan hingga keningnya. Tetap! Tidak ada yang berubah, ia memeriksa denyut jantungnya, infuse dan alat pernafasan, ternyata semua masih dalam keadaan seperti sedia kala. Ia kecewa!

'Eeerrrgggghhh'

Putrinya mengerang. Kedua bola mata yang tertutup tampak bergerak-gerak mengguncang-guncangkan bulu matanya yang lebat dan panjang. Sang ibu gemetar, ia seolah tak percaya dengan apa yang ia liohat.

'Neeeng, neng, neng susterrr' ia berteriak-teriak memanggil manggil petugas jaga ICU. Seorang perawat berjilbab putih bersih datang menghampiri.

"Suster lihat, anak saya sadar!"

Sang suster melihatnya, kemudian dengan setengah berlari ia meminta perawat lain untuk memanggilkan dokter untuk memeriksa keadaan pasien yang sepertinya akan segera bangun dari koma.

Sang Dokter tiba, tak sampai lima menit sejak suster itu pergi menemuinya. Ia kemudian memulai proses selanjutnya, memanggil-manggil nama pasien agar ia tersadar dan bangun.

"Yaya. Yaya Bangun Sayang, kamu kan belum sholat!" ia membujuk

"yaya Yaya, ayo bangun! Umi sudah menunggu!"

Ummu Fatma hanya bisa menangis sesenggukan, lidahnya tercekat dan tak bisa berkata apa-apa. Hatinya terus menjerit memohon, agar anaknya segera sadar.

"Um... mmmiiii" Asiyah bangun, ia membuka matanya pelan, sambil menyebut-nyebut nama Umi. Dokter dan perawat mengelilingi syifa, mereka tampak serius menjemput kesadaran sang gadis bertubuh mungil.

Ummu Fatma tampak serius, ia memastikan bahwa putrinya sudah benar-benar sadar. Sesaat kemudian ia kembali ke sajadahnya, bersujud syukur yang tiada tara.

"Mi" panggil Abi dari pintu masuk.

Ummu Fatma berdiri, menghampiri suami, anak dan cucunya. Ia memberitahukan kabar dengan tergesa sambil berderai air mata. Semua orang berlari menuju kasur tempat Syifa dirawat, Dokter terlihat sedang member aba-aba kepada perawat tentang apa saja yang akan dilakukan setelah ini, lalu obat apa yang masih dan tidak lagi dilanjutkan.

"Pasiennya, sudah sadar. Kalau sudah memungkinkan nanti alat bantu pernafasannya sudah bisa di lepas. Pasiennya ajak terus bicara, biar dia bisa sadar dan cepat pulih, tapi, jangan ditanya yang berat-berat dulu. Takutnya kondisinya menurun kembali. Kalau bisa, terus suapi air atau makanan. Walau sedikit tapi berkelanjutan"

"Jadi, sudah bisa pindah ruangan dok?" Fatma mendesak

"Kita observasi dulu, kalau benar-benar sudah pulih dalam beberapa jam kedepan sudah bisa pindah keruangan"

"Baik, Dok. Terimakasih banyak ya dok"

"Terimakasih banyak pak dokter" Abu Fatma menyambungkan

^^^

Arif berada di sebuah padang rumput luas, dengan struktur tanah bergelombang dan rumput tebal persis seperti permadani kerajaan Kelantan. Bahkan, lebih tebal lagi. Ia bermain-main sendirian, menikmati buah-buahan yang terjuntai hampir-hampir mengenai tanah dengan kulit yang sudah terkelupas.

Ia sangat bahagia, meski sendirian. Seketika, ia mencium aroma wangi luar biasa. Seperti harumnya minyak Misk. Ia mengikuti arah bau tersebut. Dengan berjalan cepat-cepat ia akhirnya sampai kesumber bau. Dari balik pohon ia mengintip, ternyata sumber bau itu berasal dari seorang gadis yang masih kabur wajahnya seperti apa. Ia semakin mendekat kearah sang gadis yang berdiri di dekat sungai berwarna hijau zamrud.

Meski sudah mengendap, ia tetap saja ketahuan. Kaki Arif tiba-tiba saj menginjak sebatang ranting pohon ringkih yang mudah sekali patah. Gadis itu terkejut, seketika menoleh sambil tersenyum dengan pipinya yang merah dan bola mata besar dan indah. Arif berusaha membalas senyuman itu meski dengan mulut sedikit ternganga karena terlampau mengaguminya. Lalu tiba-tiba

'zzzztttt zzzztttt sekarang sudah pukul 03.00. sekarang sudah pukul 03.00. sekarang sudah pukul 03.00'

Arif terhenyak, terkejut dan langsung terbangun dari mimpi indahnya. Ia tersenyum sendiri.

" Hurur 'In', Humairah" gumamnya pelan sambil tersenyum

Dia membaca doa bangun tidur. Merenggangkan otot-otot kemudian bersiap kekamar mandi untuk mandi dan membersihkan diri. Usai mandi ia sholat tahajud ditutup dengan witir. Berdzikir dan memohon doa selamat, setelah itu ia larut bercengkrama dengan Tuhannya. Pencipta yang tidak bisa disangkal lagi keberadaanNya. Ia larut dengan semua puji-pujian rasa syukur akan segala rezeki yang Ia limpahkan selama ini, air matanya juga menetes deras ketika ia hanyut dalam pinta keinginan-keinginan yang banayk untuk kebaikan hidupnya sampai ajal menjemputnya nanti.

^^^

"Mi, A' Salman mana?"

Kedua orang tua Syifa bingung harus menjawab apa. Mereka berdua saling melirik.

"Sedang istirahat" sang kakak satu-satunya mengambil inisiatif jawaban

"Istirahat karena sakit kecelakaan ya Teh?" jawab Syifa pelan

"Mari, Pak, Buk. Kita pindah ruangan."

Fatma seolah diselamatkan dari pertanyaan anak cantiknya itu. Seorang perawat datang dan meminta mereka semua bersiap untuk segera keluar dari ruang Icu itu dan pindah ke ruang perawatan biasa. Fatma melirik kearah jam ditangannya, sudah jam setengah dua belas siang. Tak lama beberapa perawat laki-laki dan perempuan datang memindahkan dan mendorong kasur Syifa menuju ruang rawat.

Diperjalanan Abi, Umi dan Fatma berembuk perihal kapan waktu yang tepat untuk memberitahukan perihal suaminya yang sudah meninggal. Kesepakatan pun dibuat, mereka akan memeperhatikan dulu keadaan psikologis adiknya itu sampai mala mini, jika dirasa memungkinkan maka mereka akan memberitahukannya. Tapi jika dirasa tidak, mungkin mereka akan mengulur waktu dengan sementara terpaksa berbohong.

^^^

Sayup-sayup terdengar suara adzan Zhuhur yang mengumandang dari menara-menara masjid disekita Rumah Sakit. Disusul dengan suara adzan yang otomatis akan berbunyi dari telepon genggan milik Fatma setiap waktu sholat tiba. Abi berpamitan, ia ingin pergi ke mushala Rumah sakit untuk melaksanakan sholat zuhur berjamaah.

^^^

Sore itu, selepas Ashar, Arif sudah santai. Ia sudah tidak memiliki tanggung jawab untuk mengajar kelas manapun. Ia duduk sendiri di dalam masjid, semua jamaah yang tadi sholat bersama sudah berhambur entah kemana. Yang tersisa hanya dirinya dan marbot masjid yang tampak sibuk merapihkan kabel-kabel mik yang baru saja dipakai untuk sholat berjamaah. Arif, mengeluarkan mushaf dari tasnya. Mushaf yang sama yang dahulu diberikan oleh seorang gadis keturunan Polandia yang pernah membantunya.

Dengan cara seperti inilah ia dapat membalas kebaikan gadis itu, karena, mau dicari kemanapun nampaknya akan sulit ia menemukannya. Jadi, dengan mmebaca kalam Allah dari mushaf yang ia berikan dulu, arif berharap Allah akan memberikan transferan pahala untuknya, sebagai amal jariyah.

Ia mulai membuka Mushafnya, sudah masuk bagian Juz ke 21 terlihat dari batas tali yang terakhir. Arif memulai Ta'awuz, membaca basmallah dan meniatkan agar pahala bacaan Qur'annya ini sampai mengantarkan dirinya masuk ke jannah firdaus, agar pahalanya juga sampai kepada kedua orang tuanya, juga kepada gadis bercadar yang merupakan pemilik mushaf ini sebelumnya.

Ia mulai memejamkan matanya, memurojaah (mengulang) kembali hafalannya dengan tetap memegang mushaf sebagai pedoman. Sesekali ia membuka matanya, agar bacaannya tepat dan teratur. Kurang lebih baru tiga puluh menit, Arif murojaah hafalannya, telepon di dalam tas nya bergetar seolah tak bisa menunggu nanti. Arif tak menggubris, ia masih terhanyut dalam murojaahnya. Telepon kembali bergetar, sudah kali ketiga. Arif bergeming, mungkin ini adalah telepon penting. Ia menyudahi bacaannya lalu menutup mushaf. Ia meraih tasnya, merogoh kekantung kecil bagian depan. Terlihat tulisan 'Abi memanggil'.

Arif mengangkat telepon, terdengar suara diujung sana sudah bergetar.

"Assalamu'alaikum"

"Waalaikum sallam, Bi"

"Teh Maryam tadi pingsan, sekarang dirawat di rumah sakit, kamu kesini sekarang!"

"Rumah sakit mana, Bi?"

"Rumah Sakit Islam Bogor!"

Tuuut! Telepon diputus.

Arif bergegas, pikirannya sudah kemana-mana. Teh Maryam tinggal di Permata, Bogor hanya bertiga dengan putranya Kholid dan seorang pembantu yang putus sekolah. Suaminya, sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Madinah. Sebenarnya, ia sempat satu tahun ikut suaminya ke madinah, cuma, karenamerasa asing disana dan tidak kerasan karena harus mengurus anak sendirian akibat suaminya yang sering kuliah sampai malam, ia kemudian memutuskan untuk kembali ke Bogor. 'Biar bisa deket Umi, alasannya'. Kholid itu anaknya agak susah, dia tidak mau diasuh oleh orang yang tidak dekat dengannya. Ia hanya mau diasuh oleh Umi atau Nini'nya.

Motor Arif, akhirnya tiba diparkiran rumah sakit. Ia langsung menelpon Abi untuk memastikan dimana ruangan tempat Teh Maryam dirawat. Setelah mengetahui persis dimana lokasinya, Arif langsung bergegas kesana. Arif masuk keruangan dengan corak hordeng berwarna merah muda, tampak beberapa orang yang tidak ia kenal sudah duduk di sofa. Ia mencari antara dua hordeng yang tertutup, salah satunya pastilah Teteh Maryam.

'Sini-sini biar Nini bukain ya'

Suara itu sangat familiar ditelinganya, suara Uminya yang berasal dari bilik hordeng sebelah kanan.

"Assalamu'alaikum" Arif membuka Hordeng dan mengucap salam pelan

"Waalaikum sallam" semua orang diruangan menjawab dengan pelan

"Inalillah, Tehh kok bisa sampai seperti ini?"

"Iya, teteh diare sama demam sudah seminggu, Qadarullah tadi siang pingsan. Jadi dibawa kesini, ternyata kena tipus"

"Sekarang masih sakit?"

"Alhamdulillah sudah enakan, sejak di infuse. Ini Umi mau pulang, kasian Kholid kalau lama-lama dirumah sakit takut tertular penyakit. Kamu ikut Umi dulu nganterin kerumah, biar Abi yang disini nemenin teteh, nanti setelah Isya, kamu kesini sama Mang Udih. Biar Abi pulang sama Mang Udih pake Mobil"

"Abi sekarang kemana?"

"Tadi, keluar mau cari makanan katanya"

Tak lama terdengar pintu depan dibuka,

"Assalamualaikum, suara Ustadz berumur 60an itu terdengar"

"Waalaikum sallam" jawab mereka

Lelaki tua itu memasuki ruang rawat maryam yang hanya disekat hordeng dengan ruangan disebelahnya, dengan membawa sekantung makanan dan sebuah balon bergambar rusa yang bisa terbang untuk sang cucu.

"Hayuk, pulang! Nanti kesorean. Kasian kholid lama-lama di Rumah Sakit"

"Iya, Bi" jawab Arif patuh

Kholid digendong Nini, mereka berpamitan

'Dha dha Miiiiik, emmmmah' tingkah polah lucu sang balita saat berpamitan mencium dan melambaikan tangan kea rah Uminya. Mereka bertiga berjalan melalui lorong Rumah Sakit, Arif menggendong Kholid dengan menerbang-nerbangkan tubuhnya mengajak bermain agar anak itu tidak menangis. Dibelakang, Nininya membawa balon berbentuk rusa sambil menenteng tas biru kecil miliknya sendiri.

^^^

Tepat jam 10 malam, Arif kembali keruangan kakaknya dirawat. Ia membuka pintu seraya mengucap salam dengan pelan. Tak ada seorang pun yang menjawab. Di salah satu sisi ruangan terlihat seorang ibu paruh baya sedang tertidur pulas diatas sofa memanjang, yang berbentuk letter L. kedua sofa berwarna hijau muda itu sungguh manambah energy positif bagi yang melihatnya. Membuat yang sakit menjadi sehat, membuat yang sehat semakin semangat.

Arif mengintip kakaknya. Membuka sedikit tirai dan terlihatlah kakaknya yang sedang tertidur pulas. Arif lega. Dari tirai ia melihat bahwa hp yang entah sudah berapa lama kakanya cas sudah menunjukan tanda penuh. Ia pun masuk berniat mencabut charger dari colokannya. Arif berusaha mencari-cari dimana colokan charger tersebut, kalau ia perhatian dari arah kabel sepertinya agak ke tengah dan jauh kebawah.ia terpaksa menggeser lemari dan membuka sedikit tirah penghalang antara kakaknya dan pasien disebelahnya.

Sangat menggeser tirai tak sengaja, Arif melihat pasien disebelahnya. Rambutnya lurus terurai, dengan sisir yang masih terlihat memiliki satu dua helai rambut rontok diatas meja. Kulitnya putih bersih, dengan puncak pipi yang memerah, hidungnya mancung dengan tirusnya pipi membuat hidung tersebut tampak semakin tinggi. Matanya bulat besar, ditambah bulu mata yang lebat dan lentik membuatnya cantik tanpa harus ditambah bulu mata palsu.

Gadis itu terlihat sedang sibuk dengan Mushaf cover merah miliknya. Sesekali ia memejamkan dan kemudian membuka matanya kembali tampak sedang Murojaah.

"Astagfirullah hal adzim" Asiyah terkejut

Suara Asiyah mengagetkan keduanya. Pandangan mata mereka bertemu meski hanya beberapa detik saja. Arif tertegun, ia merasakan sensasi aneh dalam tubuhnya yang selama ini belum pernah ia rasakan. Darahnya menghangat dan degup jangtungnya semakin laju. Syifa segera meraih jilbab merah muda yang ada di dekatnya, sedang Arif buru-buru meminta maaf karena tidak enak telah melihat rambut dari gadis itu. Arif segera menutup tirai.

"Maaf, tadi saya sedang mencari colokan kabel listrik. Letaknya agak ketengah bawah"

"Iya, gak apa-apa" jawab gadis itu pelan

Syifa sedikit marah, pemuda itu berani membuka tirai yang sudah ditutup rapat. Yang membuatnya marah itu sebenarnya adalah pemuda itu melihatnya dalam keadaan tidak sedang menggunakan jilbab. Tapi, ia muhasabah diri. Ini tempat umum, dia keluarga pasien dan memiliki hak yang sama dirumah sakit ini. Syifa tau, ini tidak semua kesalahan lelaki itu, ini juga salah dirinya yang dengan entengnya murojaah tanpa menggunakan hijab meski tahu bahwa ini adalah tempat umum dan bukan rumahnya.

^^^

Arif kembali ke sofa, ia mengambil headset dari saku jaketnya kemudian menyambungkannya ke android. Ia memutar playlist juz ke 30 suara qari Muhammad Thoha kecil, baginya untuk ayat-ayat pendek, suara Muhammad thoha kecil adalah yang paling juara. Ia melepas sandal gunungnya, merebahkan tubuh ke sofa dan berniat untuk segera tidur, diseberang, ia melihat punggung wanita paruh baya yang ia taksir adalah ibu kandung dari pasien yang baru saja ia lihat. Pasien yang cantik jelita. Arif tersenyum sambil bergumam.

"Sepertinya ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama".

"Astagfirullah" ia tersadar. kemudian kembali fokus pada murotalnya.

......

😊🙏

Review Review

Support IG penulis di @ririn.p.abdullah

bantu follow ya

yg mau ikut charity boleh DM

"Sedekah tidak akan membuatmu miskin"


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C7
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login