Download App
35.29% For a Youth

Chapter 48: Dimensi Lain

"Tentu aku ingat. Sekalipun kita tidak bersama. Kau harus tetap seperti kupu-kupu. Bebas, dan meraih mimpi." aku berujar.

Mereka duduk di antara dua pohon cemara. Tinggi mengelilingi kami. Pinus memanjang, pencakar langit. Embun basah menetes pelan. Bukan tangis, namun haru kebahagiaan. Bebatuan mendadak berwarna. Daun-daun berwarna. Jalan setapak berwarna. Semuanya cerah berwarna. Aku tidak ingin kembali. Jika ini bagian dari ilusi. Bisakah selamanya seperti ini?. Langit biru cerah merona. Awan putih kecil berenang di atmosfer. Menuju istana, megapoda berkicau. Merajai alam. Merona hatiku. Aku tak ingin melepaskan genggamannya. Sahabat, keluarga, hanya itu. Kumohon tetaplah di sini.

"Jangan pergi lagi, Lyan."

Aku memandangi wajah merah bahagianya, di bawah sinar mentari yang menyejukkan.

"Aku tidak akan membiarkanmu sendirian. Aku janji," sahutnya. Ia tersenyum lebar.

Padang rumput luas terbentang. Gerimis rintik mengalun di sisi bukit. Di lembah Aburra. Kota di seberang utara sana. Berasa manis ditemani angin. Semanis menyesap secangkir cappuchino. Kopi terakhir yang menemaniku di kafetaria kemarin. Dimulai hari itu. Hari dimana ia mendapat keluarga baru. Lyan mentraktirku kopi hangat dan menyerahkan amplop berisi beberapa lembar rupiah. Dirinya ketus berbicara. Menjelaskan tak bisa menjadi kupu-kupu bebas bersamaku lagi. Karena ia telah menemukan mimpinya yang baru. Aku mendukungnya, apapun keputusannya. Namun tanpa kusadari saat itulah ia mulai berubah. Nada bicaranya, tatapan remehnya, penampilan mewahnya. Semua yang tak kumiliki, ia memilikinya dan membanggakannya di hadapanku. Kala orang tua barunya memberi segalanya. Aku hanya diam. Menampik kesepian. Menghadapi orang dewasa tak bermoral, wanita itu. Tanpa seorang, lagi. Hanya aku, yang seolah kepiluan.

"Lyan, kumohon tetaplah di sini."

Mataku yang terpejam terbuka lebar. Sekelilingku mendera, berubah tajam. Semak belukar dan duri terjal, mengelilingi bunga tidurku. Yang lagi-lagi dilahap kesendirian. Aku muram. Ah aku tersesat lagi rupanya.

Kutapaki jalanan searah di sana. Tanpa genggaman. Meskipun aku mengibaskan telapak tanganku. Tetaplah tak ada siapapun. Termenung ditemani tenung. Bunga Kenanga mengatup di sisi jalan. Anggrek hitam, Cempaka, Eboni, dan Kaktus. Semua itu mengingatkanku pada sebuah nama. Kalau begitu aku berharap menjadi bunga bangkai saja. Setidaknya, masih dihargai. Aku juga ingin melihat Pohon Eucalyptus di Queensland. Pasti menyenangkan. Aku merentangkan kedua tanganku. Menabrak hembus angin, dari timur. Secepat inikah musim berganti? Atau hanya bayangan belaka.

Kuhentikan langkahku sekali lagi. Aku berganti. Jiwa ilusi, memakanku habis-habisan. Dimana dan kapan. Siapa dan apa lagi. Remang-remang pandangan mataku. Tak bercahaya, hanya saja sinar yang menafsirkan sebuah memori. Aroma wangi telaga. Sehelai barga yang melarikan diri dari takdir. Karma. Aku yang membusuk. Atau rahim wanita jalang, membuatku beraroma busuk. Berpaling dari usikan roh jahat. Atau aku akan memilih menghabiskan Risperidone, yang kutenggak dalam ketegangan nyawa. Aku tertawa. Gila.

"Viola! Sadarlah!" jerit Roy. Dokter sinting, yang setiap hari menyuntikku dengan cairan sedatif. Hingga terlalap, tanpa jiwa.

Semuanya semakin jelas. Aku tersentak.

"Viola, ayo kita pulang!" desaknya. Ia mengguncang-guncang bahuku. Seolah aku baru saja kembali dari mabuk berat.

"Pulang?" aku sarkasme. "Apa maksudmu pulang! Segera setelah aku tertidur di kamarku. Kau akan membawaku ke ruangan putih bersama wanita itu! Ya kan? Jawab aku dokter gila! Jawab!"

"Aku bahkan tak ada niatan membawamu ke sana. Aku yang akan menjagamu bukan ibumu!"

"Jangan sebut dia ibuku!" aku meraung.

"Viola kumohon jangan begini," Roy mendekat. Aku mundur beberapa menjauh darinya. Berontak sekuat tenaga dari cengkeramannya.

Ia nampak frustasi menghadapiku.

Aku berlari. Meski napasku sesak. Tubuhku semakin dingin, pucat seperti mayat. Tapi aku tak mau terkapar di manapun lagi. Untuk kesekian kali. Segalanya menjadi jelas. Dunia menjadi runyam. Duri menyebar di mana-mana. Memanipulasi waktu, obat-obatan dan kenangan acak di otak. Aku berjalan kepayahan. Menyusuri suatu tempat. Terdengar suara berdengung dari kejauhan. Semacam besi yang saling bertabrakan.

Di stasiun kereta api. Aku melihat kursi panjang berjajar. Beserta papan nama di langit-langit, tertulis kota tujuan masing-masing. Entah stasiun Eroilor atau Craiova. Melengking menusuk gendang telinga. Aku berjalan ragu, berhenti di depan lintasan rel. Menunggu kereta, layaknya orang biasa. Lalu lalang orang dan kesibukannya, hanya aku, seorang yang hilang tanpa tujuan. Tersesat seperti anak ayam.

Kereta panjang datang. Berhenti tepat di hadapanku. Pintu masuk terbuka lebar. Sesaat aku bertanya lagi. Haruskah aku menaikinya? Orang asing disekitarku bergerak cepat. Memburu tempat duduk paling nyaman, menurutnya. Aku terdiam, seperti tak terlihat. Orang-orang itu menendang bahuku, tanpa maaf. Mereka berduyun-duyun masuk, tanpa memikirkan orang lain. Begitukah orang di luar sana? Aku hampir oleng.

Semua penumpang telah masuk ke dalam kereta. Pintu hampir tertutup, dan diriku masih meragu. Seseorang mendadak memanggilku dari dalam pintu. Aku terkejut melihatnya.

"Viola," teriaknya sembari melambaikan tangan. "Kenapa kau berdiri di sana. Ayo masuk."

Aku panik karena pintu hampir tertutup. Namun pria itu, Alfa. Meraih lenganku. Mengajakku masuk berhamburan ke sana. Sesaat sebelum pintu benar-benar tertutup rapat. Ia mendudukkanku di kursi memanjang yang ada di tiap sisi kanan dan kiri kereta. Tanpa kusadari, telapak tangannya saling bertautan denganku. Aku menatap genggaman itu. Bergantian menatap wajahnya yang damai, tentram. Ia tersenyum, paham dengan apa yang kumaksud.

"Mulai sekarang. Aku tidak akan melepas genggaman ini lagi. Aku janji."

"Jangan berjanji," aku tertawa setengah hati. "Orang-orang selalu saja mengatakan itu. Tapi mereka sendiri bahkan tak mengingat janji yang mereka buat. Jadi jangan berjanji."

"Baiklah." ujarnya santai.

Ia meraih kantong belanjaan di sampingnya. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana. Sepasang sepatu kets warna putih. Aku tidak terlalu paham. Namun ia tersenyum aneh sembari menatapku.

"Jangan keluar rumah dengan telanjang," katanya sembari membungkuk sopan di depanku. Aku hampir termakan pesonanya.

"Apa maksudmu telanjang! Dasar mesum!" pipiku memerah.

"Maksudku bertelanjang kaki. Kata-kataku belum selesai tadi," ia tertawa hingga sederetan giginya terlihat.

Senyumku mengembang. Baru teringat, aku tak memakai sepatu tadi. Aku tahu ia sedang menghiburku. Pelan-pelan Alfa memakaikan sepatu di kakiku. Meskipun lumayan canggung. Aku menatap wajahnya yang tengah sibuk melihat kebawah membenahi sepatu. Lagi-lagi aku merona. Ah perasaan macam apa ini? Gerutuku kesal.

"Sudah selesai." ia menunjukkan jari membentuk V dengan mengedipkan sebelah mata. Ia tampak sangat menikmatinya, menggodaku sedari tadi.

"Apa kau tidak malu dilihat banyak orang?" kesalku.

"Siapa? Tidak ada orang di sini."

"Eh..."

Aku mengedarkan pandangan. Terkejut bukan main. Benar-benar tak ada siapaun di dalam kereta. Hanya kami berdua. Apa ini?.

"Jangan khawatir, Nona. Ini bukan seperti di drama Korea. Si pria yang memblokade restoran demi si wanita. Karena itu sama sekali bukan gayaku," sahutnya cepat seolah mengetahui isi pikiranku.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C48
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login