Download App

Chapter 2: Bab 2 Perjuangan Diandra

Stasiun kereta api masih terlihat sepi, Diandra sudah tiba pagi-pagi sekali. Gadis mungil itu duduk di dekat gerbong. Dia menunggu para penumpang turun dari kereta. Diandra yakin akan mendapatkan rezeki hari ini. Teman-temannya yang sesama pedagang keliling belum datang.

"Pak, jam berapa kereta datang?" tanya Diandra pada petugas.

"Jam tujuh lewat lima belas menit. Sebentar lagi kereta akan tiba," jawab petugas ramah. Pria itu memakai baju dinas abu-abu.

Diandra kembali duduk dengan gelisah, dia tidak tidur semalaman. Gadis itu memikirkan ucapan Mardan--ayah tirinya.

"Apa benar aku bukan anak kandung Ibu dan Bapak. Mengapa Bapak selalu mengatakan aku ini anak haram," batinnya.

Lagi dia melamun, dari jauh bunyi suara kereta terdengar. Diandra tersentak, dia bangkit berdiri membawa kerupuk dalam karung. Berniat ingin menjual barang dagangan.

"Kerupuk, Bu, Pak. Harganya lima ribu saja." Diandra berteriak sambil masuki gerbong.

Beberapa penumpang turun dari gerbong. Diandra terus saja masuk menjual kerupuk kulit. Harga dirinya dia singkirkan demi sesuap nasi, yang akan dia berikan kepada ibu yang sedang sakit. Wanita yang sudah membesarkannya dengan penuh cinta, dan kasih sayang.

"Nak! Kerupuknya satu."

Diandra menoleh kebelakang. Seorang wanita paruh baya melambaikan tangan ke arahnya.

"Mau beli berapa, Bu?" tanya Diandra ramah.

"Berapa satu, Nak?"

"Lima ribu, Bu."

"Ibu ambil empat, ya."

"Iya, boleh, Bu."

Diandra membungkus kerupuk ke dalam kantongan plastik, lalu memberikan kembaliannya kepada wanita tadi.

"Ini, Bu kerupuknya."

"Oh, iya." Wanita paruh baya tadi memberi uang lembaran lima puluh ribu.

"Maaf, Bu. Saya tidak punya uang kembalian baru buka dasar."

"Ya sudah kalau gitu. Kamu ambil saja kembaliannya!"

"Tapi Bu …."

Ibu tadi hanya tersenyum, lalu dia turun dari gerbong. Diandra bergeming, ingin mengejar wanita pembeli tadi. Namun, wanita paruh baya itu sudah menghilang di antara para penumpang yang lainnya.

"Bu, tunggu!"

Diandra berusaha mengejar ibu cantik yang tadi membeli kerupuk. Hanya ada beberapa penumpang lalu-lalang memadati stasiun.

"Diandra, kamu cari siapa?" tanya Arman sahabatnya sesama penjual kerupuk.

"Aku sedang mencari Ibu cantik memakai baju gamis kuning. Kamu lihat gak?"

Arman melipat dahinya. Seraya memandang sekeliling stasiun. Mencari wanita yang dimaksud sahabatnya.

"Aku tidak tahu siapa wanita cantik yang kamu maksud, Diandra."

"Ya sudah kalau kamu gak ngerti. Aku mau melanjutkan jualan saja." Diandra berlalu meninggalkan Arman yang masih kebingungan.

Ada rasa bahagia dalam hati Diandra, ketika mendapatkan rezeki yang berlebih. Namun, dalam hati kecilnya dia juga menyesal. Diandra ingat akan nasehat sang ibu, biar pun orang miskin tidak boleh mencuri, merampok, atau mengemis.

Kereta api kembali melanjutkan perjalanan, setelah berhenti setengah jam. Diandra baru mengumpulkan uang lima puluh ribu, itu pun diberi wanita yang baik hati. Ini hanya cukup untuk membeli makan pagi dia, dan juga ibunya.

"Kamu mau kemana, Diandra?" tanya Arman.

"Aku mau pulang, Arman. Tolong jaga sebentar kerupuk ini. Aku mau pulang kasih makan ini ke Ibu. Sudah sejak tadi malam Ibuku belum makan," jawab Diandra menunjukan bungkusan dalam kantongan plastik.

"Iya, baiklah kalau begitu. Aku akan jaga barang dagangan kamu. Cepat kembali kalau kamu sudah selesai memberi makan ibumu ya."

Diandra mengangguk. Dia segera berjalan menuju ke belakang stasiun. Menyusuri jalan rel kereta untuk menuju ke rumah. Itu bukan sebuah rumah yang layak dihuni. Tapi lebih tepatnya sebuah gubuk, yang hanya tempat berteduh.

Kemiskinan tidak membuat Diandra patah semangat, walau air mata kadang menitik di pipi tirusnya. Gadis itu sadar, kalau ibunya tidak mampu memberi yang berlebih seperti ibu lainnya.

Sampai di depan pintu tirai plastik, Diandra mengucap salam. Dia berharap ibunya akan senang, dengan hasil yang dibawa pulang hari ini. Meski hanya sebungkus nasi untuk dinikmati makan berdua.

"Assalamualaikum."

Tidak ada jawaban dari dalam. Diandra masuk dan mendapati sang ayah, masih tertidur nyenyak di lantai beralas tikar. Suara dengkurnya terdengar jelas.

"Ibu!" panggil Diandra.

Di atas ranjang kayu, wanita kurus itu tidak ada di tempatnya. Diandra panik, mencari dimana keberadaan ibunya. Namun, ketika berada di kamar mandi, Diandra menemukan sang ibu dalam keadaan pingsan.

"Ibu, bangunlah!"

Hening. Ibunya masih diam belum membuka mata.

"Ibu, Diandra bawakan makan untuk Ibu. Ayo kita makan, Bu."

Ibunya bergeming. Napasnya terdengar pelan. Diandra takut akan terjadi sesuatu pada sang ibu.

"Ayah!" teriak Diandra keras.

Mardan masih terlelap dalam mimpinya, lelaki itu tidur seperti mayat hidup. Tidak mendengar teriakan Diandra, atau pun suara Laila yang terjatuh dari kamar mandi.

"Ayah, bangun! Ibu terjatuh di kamar mandi. Tolong Ibu, Ayah!" Diandra berusaha membangunkan ayahnya.

Mardan membuka mata, dia menguap saat mata itu mengerjap. Bau mulut ayahnya tercium aroma busuk. Mardan banyak minum alkohol.

"Dasar anak durhaka! Tidak tahu sopan-santun. Orang tua lagi tidur enak malah dibanguni," rutuk Mardan.

"Ayah, Ibu terjatuh di kamar mandi. Sekarang sedang tidak sadarkan diri."

Mardan terbelalak. Dia langsung bangkit dan melihat sang istri.

"Laila, bangunlah!" Mardan menepuk pipi sang istri.

"Ayah, kita harus membawanya ke rumah sakit. Ibu harus segera dirawat. Biar nyawanya segera tertolong."

"Apa kau sudah tidak waras, ha? Dari mana dapat biaya untuk membayar rumah sakit. Buat makan saja kamu hanya menjual kerupuk. Mana mungkin sanggup membayar biaya rumah sakit."

Diandra terdiam. Dia tahu betul keadaan ekonomi ini tidak mungkin sanggup membawa ibunya ke rumah sakit. Air mata Diandra menitik membasahi pipi, bagaimanapun juga ibunya adalah keluarga satu-satunya. Selama ini telah menjaga dan merawat sampai besar.

"Aku akan berusaha untuk mendapatkan dana itu, Yah. Ibu harus segera diobati. Meski aku harus menjual ginjal sekali pun aku rela."

"Terserah. Aku tidak peduli dengan hidupmu. Kalau kamu mau jual ginjal juga untuk wanita penyakitan ini tak apa-apa."

Diandra segera berlari keluar. Dia ingin mencari pertolongan, untuk meminta bantuan kepada para warga. Diandra akan meminta pada kepala lingkungan, agar membantu membawa ibunya ke rumah sakit.

Diandra tidak menghiraukan genangan air yang membasahi jalan. Dia terus saja berlari tanpa alas kaki. Jalan yang berlumpur dia tempuh, batu kerikil yang tajam pun tetap dipijak.

"Pak! Tolong Ibu--saya." Diandra berhenti di depan pintu Pak RT dengan napas tersengal-sengal.

"Diandra? Ada apa?" Seorang pria bertubuh tinggi keluar memandang ke arah Diandra.

Pak RT masih berdiri dengan tatapan heran. Diandra datang tanpa alas kaki, dan juga penuh lumpur. Baju gadis itu juga kotor terkena noda percikan air, yang menggenang di jalanan.

"Pak, a … aku." Diandra gugup ingin mengatakan pada ketua RT. Dia bingung harus memulai dari mana mengatakan pada Pak Irwan.

"Katakanlah. Jika bisa Bapak akan membantumu."

"Pak, saya mau pinjam mobil untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit. Tolong antarkan Ibu tadi dia jatuh di kamar mandi dan sekarang tidak sadarkan diri," pinta Diandra memelas.

"Ibumu jatuh?"

"Iya, Pak."

"Tunggu sebentar. Bapak mau pamit sama Ibu, ya."

"Iya, Pak," jawab Diandra cemas.

Dia masih menunggu di luar dengan penuh harap. Diandra berdoa agar Pak RT bersedia mengantarkan ibunya menggunakan mobil, yang dia punya.

Namun, harapan tinggal harapan. Diandra harus menelan kekecewaan. Istri--Pak Irwan tidak mengizinkan, mobil dipakai untuk mengantar ibunya ke rumah sakit. Istri--Pak Irwan takut ketukan penyakit paru-paru yang diderita Laila. Dari dalam rumah Diandra mendengar jelas Pak Irwan bertengkar.

"Pokoknya Ibu tidak setuju kalau Bapak mengizinkan Diandra menumpang mobil kita. Ibu tidak mau ketularan penyakit Laila yang menular itu. Ih … najis!" cetusnya dengan nada tak suka.

"Kasihan Diandra dan Laila, Bu. Mereka lagi membutuhkan bantuan kita. Sebagai kepala lingkungan Bapak harus memberi contoh yang baik untuk warga di sini."

"Tidak. Pokoknya Ibu tetap ndak setuju, Pak. Mereka mau numpang gratis kita yang rugi. Enak saja."

Pak Irwan menarik napas panjang. Bagaimanapun juga dia tidak bisa berbuat apa-apa, bila sang istri tidak menyetujui. Mobil itu adalah pemberian ayah mertuanya.

"Ya sudah. Kalau Ibu tidak mengizinkan Bapak bawa mobilnya tak apa-apa. Bapak akan membantu mengantarkan Laila pakai motor saja."

"Terserah Bapak saja. Tapi jika nanti pulang jauh-jauh dari Ibu. Aku ndak mau Bapak pulang membawa penyakit wanita itu."

Pak Irwan mengelus dada, menarik napas menghadapi sikap istrinya. Tidak mungkin dia membiarkan warganya dalam kesulitan tanpa bisa menolong.

"Maaf, Diandra. Ibu tidak mengizinkan Bapak bawa mobilnya," ucap Pak Irwan menunduk.

"Tidak apa, Pak. Saya mengerti kalau Ibu Mega tidak mau meminjamkan mobilnya. Ibu--saya memang penyakitan. Pasti dia jijik bila kami menumpang."

"Em … bukan begitu maksudnya, Diandra."

"Sudahlah, Pak. Tidak apa-apa. Saya mengerti kok. Permisi, assalamualaikum."

Diandra pamit beranjak pergi, gadis itu berjalan gontai menyusuri jalanan. Perut yang tadi terasa lapar, kini tidak lagi dia rasakan. Nyawa ibunya lebih penting diselamatkan, daripada harus memikirkan perut yang kelaparan.

Sampai di rumah, Diandra membawa ibunya ke rumah sakit. Dengan memakai becak dorong, yang dia pinjam dari tetangga sebelah rumah. Becak itu biasa digunakan, untuk mengangkat barang di stasiun. Tapi kali ini digunakan Diandra untuk membawa ibunya.

"Bu, sabar ya. Aku pasti akan membawa Ibu ke rumah sakit. Ibu harus bertahan tidak boleh menyerah." Diandra berbicara sendiri sambil mendorong becak itu.

Peluh membanjiri dahi serta wajah Diandra. Dia harus berjalan sejauh tujuh kilometer lebih, menuju rumah sakit Adam Malik. Rumah sakit umum milik pemerintah yang biasa menangani penyakit seperti ibunya.

Diandra tidak mempedulikan beberapa pasang mata, menatapnya dengan pandangan aneh. Dia terus saja melewati barisan para pengendara yang lain, untuk segera sampai ke rumah sakit.

"Dokter, Suster. Tolong Ibu--Saya." Teriak Diandra ketika tiba di ruang UGD.

Beberapa petugas medis menghampiri, Diandra diminta menjauh. Mereka akan segera menangani Laila yang terbaring lemah. Tubuh ringkih itu masih bergeming. Dokter dan para medis berusaha, untuk membantu dengan selang oksigen. Jarum infus juga sudah terpasang di tangan Laila yang kurus itu.

***

Bersambung.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login