Download App

Chapter 14: Tolak Dia, Dapat Dia

Es kelapa muda dengan gula merah menjadi teman terbaik di kala mengistirahatkan diri dari aktivitas olahraga, didukung oleh semilir angin yang datang menyapa tanpa permisi dan lalu pergi, membuat Galang merasa dirinya bisa merasakan rasa nyaman yang hakiki.

Ia terus memandang awan yang berarak di langit biru. Matanya terlihat sendu, ekspresinya pun sangat datar untuk coba mengatakan bila ia senang. Galang memikirkan dirinya yang merasa kecewa, namun dilain sisi ia juga merasa heran. Perasaan campur aduk yang membuatnya galau menjadikan harinya memburuk. Ia merasa ingin menyelesaikan semuanya hari ini dan kembali rebahan di kamarnya selama weekend besok.

"Hai, guys …." Nabil datang sambil berteriak dari kejauhan bersama Diki dan Zainal.

"Lah, Dena mana?" Ajo tidak melihat Dena di antara mereka.

"Dena lagi ada urusan. Perlu waktu berdua, jadi kita jalan dulu," ungkap Diki.

"Waktu berdua? Sama siapa?" Ajo nampak bingung.

"Sama si kelas satu." Nabil ikut memesan satu es kelapa muda.

"Lo kenapa main beli saja! Kita mau balik ke sekolah, Bil!" Diki membentak Nabil yang begitu rakus.

"Tenggorokan gue berasa gurun, kering!" Nabil mengambil es kelapa muda pesanannya.

Zainal duduk di samping Galang yang sedang sibuk menikmati awan di langit. Ia merasa tidak terganggu dengan kehadiran Zainal, Nabil dan Diki. Apalagi dengan cerita mengenai Dena yang menemui Rafa. Galang terkesan lebih memilih tidak peduli dan berpikir untuk masa bodoh.

"Dena dapat bungkusan coklat kemarin, itu dari lo?" Zainal menoleh ke arah Galang.

"Kenapa?" Galang melirik Zainal.

"Nggak, gue cuma penasaran," ungkap Zainal.

"Kenapa tidak tanya ke Dena langsung? Jadi tidak perlu sampai penasaran, 'kan?" Galang menyinggung halus.

"Nanti coba gue tanya, tapi sekarang gue merasa penasaran saat lo dan Rafa nonton di bioskop bersama Dena. Gue dengar ceritanya dari Anang. Lo tahu kenapa Dena tidak bilang ke Rafa di bioskop?" tanya Zainal.

"Bilang apa? Dena tidak suka Rafa?" Galang langsung to the point.

"Iya …." Zainal menatap Galang.

"Mungkin karena Rafa masih terlalu kecil, mini, bocah, childish, atau memang Dena yang mempermainkan Rafa dari awal dengan iming-iming kesempatan besar bisa diterima." Galang coba menebak, namun tebakannya itu berupa sindiran halus untuk Dena.

"Entahlah, gue juga bingung," jawab Zainal.

"Sama, gue juga!" Galang hanya bisa mengeluh di hati.

Dena berdiri di hadapan Rafa, ia coba merangkai beberapa kalimat yang tepat di benaknya. Melihat Rafa sampai begitu keras berjuang untuk dirinya, membuat Dena merasa kasihan. Tapi sayangnya, saat ini ia memiliki Zainal.

"Apa Kak Dena dan Kak Zainal sudah bersama?" Rafa yang melihat mereka berdua di belakang sekolah coba memancing kejujuran Dena.

"Iya, kami baru jadian kemarin." Dena merasa dirinya benar-benar harus jujur.

"Kenapa? Apa ada yang kurang dengan Rafa?" Rafa berusaha tegar disaat hatinya mulai hancur. Tangan kanannya mengepal dan rahangnya mengeras, ia sangat kesal dengan keputusan sepihak Dena.

"Rafa, Kakak minta maaf sebelumnya. Tapi masalahnya adalah Kakak tidak menyukai kamu." Dena berusaha senyaman mungkin menjelaskannya pada Rafa tentang hatinya.

"Lalu, apa Kakak suka dengan Kak Zainal?" Rafa bertanya balik.

Dena diam.

Dipikirannya langsung terbesit wajah Galang. Jauh di alam bawah sadar Dena, ia lebih memilih Galang. Tapi rasa yang dimiliki Dena untuk Galang pun masih berupa tunas. Masih bisa tumbuh membesar, namun juga bisa mati ditengah jalan. Ia merasa sedang mempermainkan hati banyak orang, walau ia berpikir hati yang paling sakit adalah miliknya sendiri.

"Suka …." Dena menjawab sambil tersenyum kecil.

"Benarkah?" tanya Rafa kembali.

"Intinya, Kakak meminta maaf untuk semuanya. Tapi kita masih bisa jadi teman, bila kamu mau?" Dena mengulurkan jari manisnya ke Rafa.

Rafa merasa hancur, ia tidak menginginkan status teman untuk bersama dengan orang yang ia suka. Akhirnya, Rafa memilih untuk pergi tanpa berkata apapun lagi ke Dena dengan ekspresi ketus.

Uluran tangan Dena tidak bisa membujuk bocah itu, ia merasa sudah menyakiti satu hati lagi setelah Galang.

"Dena lama banget, gue sampai nambah gorengan 4, tapi dia belum datang juga," pikir Nabil.

"Gendut! Itu lo yang rakus!" teriak Diki sambil tertawa.

"Hampir 30 menit, kita harus balik ke sekolah, atau Pak Macho bakal curiga." Galang membayar es kelapa muda miliknya. Ia dan yang lainnya memilih meninggalkan Zainal sendirian di warung es kelapa muda.

"Zainal mau tunggu Dena?" Ajo terus menoleh ke arah Zainal dari kejauhan.

"Iya, katanya kasihan kalau di tinggal sendirian." Galang memakai satu airpod di telinga sebelah kanan. 

Ia memilih untuk mendengarkan musik daripada harus memikirkan Dena.

Dena datang dengan wajah masam. Senyum kecil yang tersemat di bibirnya bukanlah untuk menjelaskan mengenai perasaan bila ia baik-baik saja. Melainkan, rasa kecewa pada dirinya karena terjebak di situasi yang rumit ini.

"Sudah?" tanya Zainal.

"Sudah, yuk, kita balik ke sekolah." Dena mengajak Zainal kembali berjalan menuju ke sekolah.

Saat sampai di lapangan sekolah, semua cowok berkumpul dan sedang melakukan tanding bola. Sedangkan, para cewek memilih bermain bola voli di pinggir lapangan. Dan Pak Macho menghampiri 4 serangkai ini dengan wajah kesal.

"Pada ke mana saja! Kenapa baru datang? Sudah hampir 30 menit," pikir Pak Macho.

"Maaf, Pak. Saya izin pulang, tidak enak badan." Tiba-tiba Galang memilih untuk pergi ke ruang kelas.

"Lah, dia kenapa?" Ajo bingung.

"Maaf, Pak. Tadi makan gorengan sama minum es kelapa muda dulu, mumpung di endorse sama penjualnya, Bu Mimi namanya. Ini Nabil posting di media sosial." Nabil coba membujuk Pak Macho yang terlihat kesal.

"Endorse bagaimana! Dasar semprul?" Pak Macho hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Nabil dan Diki tertawa terbahak-bahak saat melihat reaksi Pak Macho.

Ajo melihat Galang masuk ke dalam kelas, ia memilih untuk menghampirinya. Ajo melihat Galang sudah berganti baju seragam menjadi putih abu-abu. Galang juga membawa ransel miliknya. Wajahnya memang terlihat pucat, tapi Ajo tahu bila hatinya yang membuatnya bad mood seharian ini. 

"Lo mau izin pulang?" pikir Ajo.

"Sorry, kepala gue pusing. Gue mau ke ruang guru dulu buat minta surat izin sakit." Galang pergi, tapi saat di depan pintu ia berpapasan dengan Zainal dan Dena yang baru tiba.

"Haduh, dia alasan lagi …." Ajo hanya bisa menghela napas. Tingkah Galang seperti anak kecil.

"Lang? Lo mau ke mana? Pulang?" Dena merasa bingung.

"Em, maaf, permisi." Galang langsung pergi tanpa menjelaskan.

Dena merasa Galang mulai menjaga jarak darinya. Ia seperti berada di step awal lagi untuk bisa berteman dengan Galang.

Setelah mengisi keperluan surat izin, Galang langsung ke luar gerbang sekolah untuk kembali pulang ke rumah. Ia selalu seperti ini, disaat hatinya sudah berantakan satu hari penuh, maka healing untuk diri sendiri adalah menjauh dari keramaian.

"Dari tadi gue lihat lo cuma menunduk, memang di bawah ada apa?" Zahra memperhatikan tingkah lucu Galang.

"Hah? Oh, gue cuma lagi tidak enak badan." Galang menoleh ke arah Zahra.

Kok, sudah pulang? Izin sakit?" Zahra mendekat, ia menempelkan tangannya di dahi Galang. 

Zahra tersenyum sambil memandang Galang. Ia melihat penampilan Galang yang sudah memakai kacamata dan topi membuatnya seperti murid teladan. Atau mungkin bisa dibilang culun.

"Dari SMP lo tidak pernah berubah." Zahra tersenyum. Ia melepaskan tangannya dari dahi Galang.

Galang hanya diam dan menatap lurus ke wajah Zahra.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C14
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login