Download App

Chapter 8: Apakah Bukti

"Ah sialan! Hebat juga dia mengarang cerita hingga runut dan detail," gumam Tasya saat Bik Rus telah berpamitan pergi beberapa detik yang lalu.

Dia lalu ke belakang dan mengambil air minum untuk menetralkan diri.

"Menurutmu beliau membual?" ujar Jine.

"Apa menurutmu kisah itu bisa dipercaya?" ujar Tasya balik.

Jine diam, dia lalu menggeleng.

"Putri Yang Tertukar, aku tahu itu adalah sinetron yang sangat digemari yang membawa dampak besar untuk kehidupan masyarakat terutama para ibu-ibu yang menyukainya. Namun kisah semacam ini di kehidupan nyata, apakah itu mungkin? Lagipula kenapa bayi ditukar dengan bayi lain yang sudah meninggal? Tapi akhirnya ditukar dengan bayi lain yang masih hidup dan ... dirawat hingga dewasa. Ahh itu sangat tidak masuk di nalarku." Tasya masih menggeleng berkali-kali. Kisah itu masih lekat di kepalanya.

Pandangan Jine terarah pada liontin Tasya. "Tapi kenapa beliau membahas tentang liontinmu?" tanyanya.

"Sebagai pemanis cerita. Tidak akan menarik jika dia hanya menyebutkan kalau aku adalah bayi yang tertukar, tentu saja dia membutuhkan bumbu agar ciamik."

"Ah benar juga. Kamu seorang penulis tentu saja banyak mengetahui tentang 'bumbu kisah' seperti ini."

"Ehmmm," angguk Tasya.

Belum beres pikiran keduanya tentang ibu asing yang nyeleneh tadi. Belum sempat juga mereka menyiapkan untuk malam, datanglah Tristan dengan membunyikan motornya nyaring senyaring-nyaringnya hingga membuat Tasya dan Jine keluar rumah. Itulah tujuan Tristan.

"Hey apa yang kalian lakukan di dalam hanya hanya berdua!" segera saja Tristan turun dan menghampiri Jine dan mencengkeram kerah bajunya.

Jine agak mundur, namun dia hanya berhasil menutup wajah dengan kedua tangannya saat tangan kepalan tangan Tristan siap mendarat di wajahnya.

"Aku berani bersumpah kami tidak melakukan apapun!" ucap Jine.

Napas Tristan masih tersengal, dia yang belum melepas helm itu hanya menatap adik perempuannya juga bocah yang ketakutan itu bergantian.

Huhh!!

Tristan melepaskan cengkeramannya pada Jine.

Tasya masih diam. Dia tahu dan memahami sang kakak yang lelah dan belum nyaman karena baru juga tiba.

Tasya membuatkan minuman untuk Tristan. Dia juga segera ke dapur untuk menyiapkan makanan pembuka seraya menunggu sang kakak membersihkan diri.

Sementara Jine, dia hanya duduk di ruang tengah menunggu Tristan dan memandangi Tasya dari kejauhan. Sialnya dia setakut itu dengan kakak dari kekasihnya.

Saat suasana memungkinkan untuk berbincang. Tasya menjelaskan mengenai ia dan Jine yang berada di dalam rumah. Ia juga menceritakan semuanya mengenai hal yang diceritkan oleh wanita yang mengaku sebagai Bik Rus tadi.

Tristan menyimak tidak begitu minat. Ia menyandarkan kepalanya pada kursi sambil memakan kue kering.

"Kurasa dia adalah komplotan penipuan. Abaikan saja," ujar Trsitan yang sedang dengan mode 'dingin'nya.

Tasya mengangguk. Dia lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Jine hendak membantu, namun tatapan Tristan membuatnya ragu.

"Aku akan membuat bumbu," ujar Tristan yang segera bangkit dari tempat duduknya menuju dapur.

"Kamu bisa memotong bawang? Hey bocah!" suara Tristan nyaring.

Segera saja Jine mengangguk dan menghampiri dua kakak beradik itu di dapur. Gotong royong, ketiganya berbagi tugas untuk menyiapkan menu makan malam.

Saat mereka sedang sibuk, tiba-tiba Tasya mengaduh karena jemarinya terluka terkena pisau. Jine khawatir, namun dia tidak lebih cepat dari Tristan yang segera memberikan lap pada adik perempuannya itu.

"Eh … golongan darah kak Tristan A, ya?" tanya Tasya tiba-tiba.

"Iya … kurasa. Aku tidak begitu ingat," sahut Tristan sambil memotong sayuran.

"Kamu?" Tasya menoleh pada Jine.

"Aku juga A, ayahku AB ibuku A," sahut Jine yang sedang mengaduk masakan diatas kompor.

"Memang mungkin ya kalau dalam satu keluarga memiliki golongan darah yang berbeda? Lalu bahkan tidak dapat memberikan donor pada orangtua atau saudara?" tanya Tasya lagi.

Tristan dan Jine diam, keduanya berpikir namun tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan itu.

"Ah sayangnya aku adalah sarjana teknik mesin," gumam Tristan.

"Aku juga anak hukum, tidak mengerti tentang hal seperti itu," imbuh Jine.

"Mungkin saja si anak tekanan darahnya sedang rendah lalu tidak bisa donor. Kurasa aku pernah mendengar alasan itu saat aku berada di PMR," ujar Tasya.

"Kamu memikirkan kisah bibi tadi?" tanya Jine.

"Ah hanya tiba-tiba kepikiran. Kisah yang sangat menarik, aku ingin mengambil sedikit potongan adegan untuk kumasukkan dalam novel terbaru," jawab Tasya.

"Tapi, Sayang ... bagaimana kalau ternyata beliau mengatakan yang sebenarnya?" ujar Jine.

"Sayang sayang pantat ayam! Jangan bersikap kalau kalian adalah pasangan sungguhan! Menggelikan!" Tristan menghentakkan pisaunya nyaring pada talenan hingga membuat Jine dan Tasya terkejut.

Tasya menatap kakak laki-lakinya itu, detik berikutnya Tristan merasa salah dan segera mencoba untuk merevisi.

"Kalian masih belum menikah! Jadi, bersikaplah biasa saja. Panggil nama, setidaknya saat aku ada di dekat kalian. Mengerti?!" ujar Tristan lagi.

"Ah baik, Kak. Maafkan aku, aku hanya kebiasaan." Jine sedikit menyeringai kaku. Dia benar-benar kesal dengan pria gondrong itu yang selalu membuatnya senam jantung.

"Aku sama sekali tidak berpikir kalau itu hal benar. Jadi … aku tidak tahu bagaimana-bagaimananya," jawab Tasya untuk pertanyaan terakhir Jine tadi.

"Kak Tristan ada urusan ya ke kota? Apakah itu hanya sekedar main? Kukira kota sangat jauh sehingga harus menginap disana," ujar Jine.

"Kamu ingin aku menginap di kota lalu kalian hanya berdua di rumah?"

"Tidak," sahut Jine segera. "Aku hanya bertanya karena akupun terkadang jika sudah berada di kota tidak ingin bolak balik karena jauh."

"Kamu orang kota, tidak masuk akal untuk berkata seperti itu."

"Ah benar. Tapi selama aku tinggal disini, aku sama sekali tidak merasa sebagai orang kota."

"Begitukah? Maka kembalilah ke kota," ujar Tristan.

Jine diam. Dia hanya tertawa kecil karena tidak menemukan jawaban yang tepat untuk kalimat Tristan.

Ketika mereka semua telah selesai dan hendak menikmati makan malam. Mereka kembali kedatangan tamu yang mengharuskan mereka menunda makan.

Sebuah mobil terparkir di depan rumah, terdengar suara seorang pria asing yang mengetuk dan memanggil dari luar.

Tristan dan Tasya keluar untuk melihat, sementara Jine hanya di dalam dan memilih untuk mengintip dari dapur.

"Permisi, apakah kalian Tristan dan Tasya?" sapa seorang pria paruh baya nan kurus berambut tipis yang berpenampilan rapi, semi formal.

"Benar, siapa ya?" tanya Tristan mengamati pria itu.

"Saya Beno, teman lama almarhum pak Djayaksa. Kami rekan saat masih sama-sama berbisnis showroom. Saya mampir kemari karena saya membawakan kue untuk kalian, tadi dari kampung sebelah ada urusan."

Tristan dan Tasya menyambut ramah, namun keduanya masih berpikir karena sama sekali belum pernah bertemu dengan pria kurus itu.

"Masuk dulu pak saya buatkan minum," ujar Tasya.

"Ah sayangnya sudah malam. Saya langsung pulang saja, lagipula di dalam mobil ada anak saya yang sudah tertidur. Besok kalau saya kemari lagi saya akan mampir lebih lama, Dek."

Jine masih mengintip, dia sedikit mengangguk karea mendengar samar percakapan di depan pintu.

Dia lalu mehela napas panjang. Merasa sedikit kesal karena kedatangan Tristan mengacaukan hayalannya mengenai makan malam romantisnya bersama dengan sang kekasih.

.

.

Bersambung


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C8
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login