Download App

Chapter 7: Siapa yang meringkuk di pojok dapur?

Angin segar berembus dari celah dinding dan atap. Terasa dingin menepuk-nepuk pipi. aku menscroll layar ponsel dengan cepat lalu membantingnya di kasur. Tidak ada sinyal di kampung. Aku berdecak kesal. Tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang. Memejamkan mata pun susah, mengingat ini baru jam delapan malam, dimana jam segitu sudah jarang aktifitas di luar rumah. kebanyakan penduduk desa berdiam diri di rumah.

Aku tidur bersama ibu. Sementara bayi itu tidur sendirian di bekas kamarku yang bersebelahan dengan kamar ibu. Apa yang di lakukan bayi itu? batinku penasaran. Bayi itu terlihat lebih tenang sejak kehadiranku. Benar apa yang dikatakan ibu. Andai saja dia berwujud bayi manusia pada umumnya, pasti aku akan sangat menyayanginya. Tapi ini...?

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bayi itu seperti ada yang menghiburnya. Aku mengernyit dahi. Merasa penasaran, aku bangkit dari tempat tidur. Aku menoleh ke arah ibu sejenak lalu menggerakkan telapak tanganku di depan wajahnya memastikan dia sudah terlelap.

"Kamu kenapa To Nduk?" ujar ibu yang mengagetkanku.

"A..nu Bu, saya mau ke kamar mandi." Sahutku asal. Tentu aku tidak mau kalau kepergok menengok bayi itu. aku hanya penasaran saja.

"Oh, Ya sudah." Dia kembali ke posisi tidurnya.

Bale kayu berderit ketika aku beranjak dari tempat tidur. Lalu melangkah mengendap-endap.

Suasananya gelap. karena sudah menjadi kebiasaan ibu, mematikan semua lampu rumah ketika tidur, kecuali kamar bayi itu.

Bayi itu masih tertawa riang sekali. aku menahan nafas. Perlahan Tanganku menyikap korden pintu. semakin aku menariknya, semakin bayi itu tertawa riang. Gerak kepalaku berlawanan dengan tanganku, terlihat semakin jelas.

Aku mengernyit dahi. Bayi itu tertidur lelap. kok bisa? kalau bukan bayi itu lantas siapa yang tertawa riang tadi?

Sekelebat bayangan putih melintas dibelakangku. Seketika aku menoleh. Dengan mata membulat aku mengedarkan pandangan. cepat-cepat, aku masuk ke dalam kamar. Namun, ibu tidak ada di kamarnya.

Lantas aku menyalakan semua lampu rumah, dan memanggil ibu. Namun tidak kujumpai siapapun di sana. apa mungkin ibu di kamar mandi?

Sekedar informasi, kalau pada saat itu kamar mandi di desa itu terpisah dari rumah. di dekat kamar mandi itu ada sumur lengkap dengan katrolnya. Jadi kalau mau mengisi air, harus menimba dan meletakannya di lubang yang menghubungkan dengan bak kamar mandi.

Suara itu kembali terdengar dari arah belakang. Entah kenapa aku seperti terhipnotis untuk melangkah ke dapur. Suara campuran antara tawa dan tangis yang terdengar lirih, namun sangat jelas di keheningan malam itu.

Tepat di pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur, aku melongokan kepala sembari mengedarkan pandangan. Pandanganku terhenti tatkala melihat seorang wanita yang duduk menghadap sudut rumah. Menggunakan kebaya batik. Punggungnya tampak bergetar seperti menangis.

"Siapa kamu?" ujarku spontan. Antara takut dan nekad. Sosok itu berhenti menangis. Dengan posisi masih membelakangiku, dia berdiri. Kepalanya bergerak seratus delapan puluh derajat. Bola mata membesar dan kedua pipinya yang bolong. Aku menjerit histeris. Refleks tanganku menutup wajah.

"Nduk, ngapain kamu disini?" seseorang menepuk pundakku. Seketika aku menoleh, ternyata ibu berdiri di belakangku, pandangannya keheranan.

"Ada demit buk!" tanganku menunjuk ke arah pojok dapur. Dia celingukan sembari tersenyum tipis sekali, seakan ada sesuatu yang di sembunyikan.

"Mungkin kamu kecapekan, ayo lanjut tidur."

"Enggak buk! Tadi Dina lihat sendiri di situ ada demit!"

"Apa demitnya seperti ini? hihihihi!" kata ibu sembari berubah persis dengan demit yang kulihat tadi. salah satu matanya lepas dari kelopak matanya sampai bergelantungan di pipi. Nanah berceceran dimana-mana.

Aku mematung. Semakin dia mendekat, semakin bau anyir bercampur bangkai menyeruak mengaduk-aduk isi perut. Mulut ku terkatup rapat, ketika jarak kami hanya sepuluh centi saja.

Tiba-tiba, Bayi itu muncul dari ruang tengah. Dia merangkak dan berdiri layaknya orang dewasa. Matanya yang merah menatap nyalang ke arah mahluk di depanku. Dia meringis menampilkan giginya yang bertaring dan suaranya yang mengeram. Sontak mahluk itu mundur beberapa langkah dan menghilang.

Aku yang masih terpana hanya bisa memegang dada yang naik turun. mataku tertuju dengan bayi yang sedang berdiri itu. semakin lama tubuhnya semakin membesar.

Ahhhhhhh

Aku terbangun dari mimpi. dengan posisi terduduk, aku melihat ke penjuru ruangan ini. Kamar ibu. Sementara ibu masih terbaring di sampingku. Tampak nyenyak, bahkan tidak terganggu sedikitpun dengan teriakanku.

Selama tiga puluh menit, aku berusaha menata hati yang berantakan karena mimpi tadi. Bisa-bisanya aku mimpi seperti itu di saat malam pertama kepulanganku.

Kembali aku merebahkan tubuh sembari menarik selimut. Udara dingin yang masuk seakan meninabobokanku, sehingga aku terlelap kembali.

***

Keesokan harinya matahari sudah sepenggalah naik. Cahayanya menerobos celah diatas jendela, menyilaukan mata. Aku tergeragap. Saking lelapnya tidur, aku bangun kesiangan. Ini diluar kebiasaanku yang suka bangun pagi sekali.

Ibu sudah tidak ada disampingku. Langsung aku turun dari ranjang dan mencari ibu. Baik di dalam rumah maupun di pekarangan depan dan belakang. Tetapi tidak ada siapapun, lalu aku mengecheck kamar bayi itu meski enggan rasanya.

Tidak ada juga? kemana perginya mereka? batinku keheranan.

Tiba-tiba perutku berbunyi. Aku langsung ke dapur untuk mencari makanan. Siapa tahu ibu sudah masak tadi pagi. Benar dugaanku. Ketika aku membuka tudung, sudah ada berbagai makanan yang menggugah selera. Bakul yang terbuat dari bambu itu penuh dengan nasi hangat dengan uap yang masih mengepul, sepiring gereh atau ikan asin, sambel terasi, dan sayur asem. Khas pedesaan. Mulutku berair, terhipnotis untuk melahapnya. Padahal aku belum sempat cuci muka atau mandi, bahkan make up. hal yang selalu menjadi ritualku di pagi hari. Tapi, entah kenapa aku tidak bisa menahan diri. Langsung saja aku mengambil piring, meletakan makanan diatasnya dan melahapnya dengan nikmat.

"Nduk!"

Suara yang tiba-tiba membuatku tersedak.

"Uhuk..uhuk." aku meraih kendi dan menuangkannya ke dalam gelas. Langsung aku menegaknya. Seketika air itu seolah mendorong makanan yang tersangkut masuk ke dalam lambung.

"Ya Ampun, ibu ngagetin Dina saja."

"Ibu mau pergi ke kebun bersama satrio ya. Kamu di rumah saja." Dia sama sekali tidak merespon perkataanku tadi, setidaknya meminta maaflah karena sudah mengagetkanku. Tetapi ini?

"Bu!" aku berdiri dan mengejar ibu sampai teras rumah. ternyata dia sudah sangat jauh berjalan. Cepat sekali.

Yang lebih aneh lagi, biasanya Ibu pergi ke kebun itu naik sepeda karena jaraknya yang lumayan jauh.

Aku mengibas-ibaskan tanganku di depan wajah, menghilangkan pikiran buruk. Mungkin ibu lagi ingin jalan saja, sekaligus olahraga, gumamku. Aku lantas kembali ke dapur untuk melanjutkan sarapan.

Matahari sudah bergerak condong ke barat. Hari sudah hampir sore tapi ibu belum pulang juga. sementara aku lihat beberapa petani sudah laut alias istirahat pulang ke rumah masing-masing. Apa perlu aku menyusulnya ke kebun?

Enggak, enggak mungkin. Kalau aku keluar rumah. Tentu akan menjadi pusat perhatian semua orang. Tentu akan terdengar bisik-bisik mengenai anak setan yang bernama satrio itu. Tentu cacian pedas yang menghujam hatiku. Enggak aku enggak mau.

Note:

gimana bund ceritanya? tolong review-nya ya thanks


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C7
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login